Mohon tunggu...
Muhammad Asmar Joma
Muhammad Asmar Joma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sunan Klijaga

setidaknya kita pernah mengisi dunia ini dengan kata-kata perlawanan terhadap kekuasaan bahwa masih ada ketidakadilan di negara ini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Metafisika Politik Dan Pendidikan Dalam Guncangan Post-Truth Serta Polarisasi Sosial di Maluku Utara

6 Desember 2024   10:28 Diperbarui: 6 Desember 2024   12:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi Ai: Benturan metafisika politik identitas di era post-truth)

Politik pasca-kebenaran (disebut juga politik pasca-fakta) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Selain itu, poin topik pidato ditegaskan berkalikali tanpa mendengarkan balasan yang berbobot. Pasca-kebenaran berbeda dengan kebiasaan menantang dan mencari kelemahan kebenaran. Pasca-kebenaran justru menempatkan kebenaran di posisi kedua. Meski pasca-kebenaran dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. 

 Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar pas dengan tujuan propaganda saat itu. Fenomena ini begitu kuat terjadi di Maluku Utata. Politik pasca-kebenaran (atau post-truth) disinyalir merupakan penyesuaian dari kata 'truthiness' yang kali pertama diciptakan Stephen Colbert dan terpilih sebagai Word of the Year tahun 2005 menurut American Dialect Society (ADS). Istilah Post-truth ini sebagian besar digunakan untuk hal yang merujuk pada dua momentum politik paling berpengaruh pada 2016, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Post-truth di definisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal

Zaman saat ini telah mengantarkan manusia pada puncak teknologi yang massif di konsumsi oleh masyarakat perkotaan dan tidak sedikit terjadi normalisasi ini juga dirasakan oleh masyakarat pedesaan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Maluku Utara salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah, telah menghadapi sebuah tatangan besar yang cukup serius di era post-truth, terutama dalam konteks pendidikan. Apalagi dalam perhelatan kontestasi politik di beberapa minggu kemarin. Guncanagan post-truth tidak bisa terelakan dan hal yang kompleks terjadi. Fenomena post-truth- dimana data dan fakat objektif tidak lagi menjadi ukur, yang terjadi adalah masyarakat menerimah informasi dengan dorongan emosional tampa memverifikasi apakah informasi benar atau akurat, dengan fenomena secama ini terjadi pertarungan opini yang bertebaran di platfon media sosial. Pergeseran isu-isu strategis menjadi massif terjadi digunakan oleh kelompok, ataupun individu. Isu SARA menjadi propaganda strategis yang digunakan untuk saling serang menyerang. 

Revolusi industri mengantarakan eropa-barat untuk terlibat aktif dalam narasi populer tentang post-truth, bahwa kita hidup di era pasca-kebenaran (post-truth), dimana masyarakat tidak lagi melihat data dan fakat sebagai bukti informasi. Saya mengajak kita semua, kepada gen Z dan milenial dan dan khususnya masyarakat, untuk mengenal bagaimana latar belakang dan oreintasi munculnya post-truth dengan demikian dapat kita temukan kedepan seluruh masyarakat mampu memverifikasi serta mengfilter informasi-informasi sebelum menyebarkan informasi , dan tau bagaimana bertindak, serta meletakan informasi pada ruang yang sudah ada secara mendalam dan kritis. 

Masyarakat abad 21 ini memiliki kecenderungan untuk mudah terpolarisasi akibat arus balik informasi yang hampir tak terpetakan  dan tanpa kendali. Dalam arus seperti ini, polarisasi dihiasi politik identitas menjadi pesona yang makin menguat dengan proses yang cukup jelas. Hal ini tak terhindarkan karena gejala post-truth menandai adanya benturan peradaban yang memungkinkan terbukanya ruang perebutan atas pengakuan akan identitas kolektif, yang dengan sistematis diampli kasi secara cepat lewat bantuan teknologi informasi digital, yang juga merenggut sikap kritis dan rasionalitas.

Mengapa post-truth berbahaya? Karena sesuatu yang tidak benar dan memberikan dampak negatif malah mendapatkan dukungan yang besar. Padahal, keyakinan personal sangat subjektif dan tidak mewakili kebenaran. Apa yang menurut keyakinan seseorang benar, belum tentu benar pula bagi orang lain, malah bisa jadi sebetulnya informasi itu memang salah untuk semua orang. Keyakinan personal seseorang atau suatu kaum rentan menimbulkan konflik yang seharusnya tidak terjadi, karena sejatinya tidak ada yang salah dari kedua belah pihak. Pendidikan literasi media kepada masyarakat secara umum menjadi langka-langka ikhtiar yang harusnya dilakukan, untuk memberikan pemahaman dan metode yang muda pada masyarakat. Sinergitas  antara lembaga-lembaga negara terkait juga seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam praktik pendidikan literasi media yang bertujuan membangun kecerdasan emosinal dan kesadaran aktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun