Sangat penting untuk memeriksa kesamaan dan perbedaan antara gerakan perlawanan Barat dan Islam. Keduanya mencakup konsepsi keadilan dan penolakan terhadap tirani, tetapi cara dan pendekatan yang dipakai berbeda. Misalnya, pengertian perang yang sah dalam Islam memiliki parameter yang lebih kuat dibandingkan dengan tradisi Barat. Analisis komparatif harus mencakup latar belakang sejarah, sosial, dan budaya dari masing-masing tradisi. Penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana gagasan pemberontakan telah dipersepsikan dan diterapkan dalam gerakan sosial dan politik yang nyata.
Tokoh sosiolog Muslim Ibnu Khaldun pada abad ke-14, memperkenalkan konsep "Ashobiyyah" solidaritas kelompok yang menjadi motor penggerak bagi perubahan sosial dan politik. Dalam karyanya "Muqaddimah," Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekuasaan cenderung merosot karena korupsi dan kelemahan internal, yang pada akhirnya memicu pemberontakan oleh kelompok yang lebih memiliki solidaritas tinggi.
Dari perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana gerakan pemberontakan kontemporer seperti gerakan petani, buruh, atau masyarakat adat yang berjuang melawan ketidakadilan struktural adalah wujud nyata dari “Ashobiyyah” yang membangkitkan kesadaran kolektif terhadap penindasan. Mereka bergerak berdasarkan solidaritas dan rasa kebersamaan dalam menghadapi penguasa yang cenderung memperkuat oligarki dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.
Gerakan-gerakan seperti Black Lives Matter atau protes perubahan iklim berupaya mengubah narasi dan simbol yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan. Mereka menantang bahasa yang digunakan oleh institusi untuk menggambarkan masalah sosial, memaksa masyarakat untuk melihat realitas yang lebih jujur dan menyakitkan tentang ketidakadilan yang terjadi. Era post-truth, di mana fakta sering kali terdistorsi oleh informasi palsu, telah mempersulit upaya pemberontakan terhadap kekuasaan.
Konsep filsafat pemberontakan di era ini penting dan perlu di pakai agar mempertajam analisis terhadap bagaimana kebenaran dibentuk dan didistribusikan oleh kekuasaan. Konteks Indonesia, misalnya, pemberontakan intelektual menjadi semakin penting untuk menantang narasi yang dibentuk oleh media dan elit politik. Fakta-fakta sejarah yang diubah, manipulasi informasi politik, dan penekanan terhadap aktivis menunjukkan bahwa pemberontakan bukan hanya masalah fisik tetapi juga masalah epistemik – yaitu, siapa yang memiliki kuasa untuk mendefinisikan kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI