Pandemi Covid-19 yang merupakan krisis kesehatan global dengan kasus terkonfirmasi lebih dari 3 juta orang dengan kematian lebih dari 200.000 ini berdampak pada banyak hal.Â
Di balik dampak negatif yang ditimbulkannya, masih ada dampak positif dari pandemi ini, di antaranya ialah penurunan emisi gas rumah kaca sebagai implikasi dari penurunan rata-rata permintaan energi hingga sebesar 18-25 % di negara-negara yang menerapkan lockdown, tergantung pada durasi dan seberapa ketat kebijakan lockdown di suatu negara. Â
Sementara itu penggunaan batu bara dunia menurun drastis sebesar 8 % dibandingkan caturwulan pertama 2019. Di antara penyebabnya adalah kondisi Tiongkok sebagai negara paling terdampak Covid-19 merupakan negara yang sangat mengandalkan batu bara untuk menopang industri-industrinya.Â
Selain itu penggunaan minyak bumi berkurang sebesar 5 % disebabkan menurunnya aktivitas transportasi dan penerbangan sebagai sektor yang menggunakan hampir 60 % minyak bumi global. Pada caturwulan pertama 2020 ini juga terjadi penurunan penggunaan gas bumi sekitar 2 %.
Di sisi lain energi baru terbarukan (EBT) adalah sumber daya yang permintaannya justru meningkat seiring semakin canggihnya teknologi EBT dan besarnya kapasitas yang telah terpasang serta lebih sedikitnya biaya operasional dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.Â
Permintaan penyediaan listrik menurun lebih dari 20% di beberapa negara yang menerapkan lockdown. Penyebab utamanya adalah menurunnya aktivitas industri, sedangkan penggunaan listrik domestik tidak terlalu terlihat. Hal ini menyebabkan naiknya persentase bauran EBT karena produksi energinya tidak seperti batu bara atau minyak bumi yang sangat bergantung pada permintaan.
Target Indonesia
Dalam PP 79/2004 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang didukung oleh Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah ditetapkan beberapa poin bahwa Indonesia akan menjalankan kebijakan berikut:
- Memaksimalkan penggunaan energi bersih/terbarukan
- Meminimalkan penggunaan minyak bumi
- Mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru
- Menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional
- Memanfaatkan nuklir sebagai pilihan terakhir
Indonesia menargetkan pemanfaataan EBT sebesar 23 % sebagai bauran energi primer pada tahun 2025. Sedangkan bauran energi primer pada tahun 2018 baru sebesar 8,55 %. Ini artinya Indonesia harus melakukan banyak sekali langkah yang jelas dan teliti untuk mempercepat tercapainya target ini.
Sebagai negara yang dilalui ring of fire yang memiliki banyak gunung vulkanik, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi panas bumi sebesar 27.000 MW, namun dengan segala pertimbangan  pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik geothermal hanya sebesar 7.200 MW yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi base load atau beban dasar yang bisa dikombinasikan dengan PLTU.Â
Selain itu Indonesia sebagai negara yang terletak di khatulistiwa juga memiliki potensi tenaga surya yang sangat besar. Ditargetkan Indonesia bisa memanfaatkan potensi tenaga surya ini sebesar 6.500 MW, namun dari data Draft Handbook Energy Economy Statistic Indonesia kapasitas yang terpasang masih berada di kisaran 135 MWp.
Selain target ini, pada Persetujuan Paris atas konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim pada tahun 2015 Indonesia telah menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 %. Hal ini juga menjadi latar belakang Indonesia harus lebih memperhatikan pembangunan pengolahan EBT yang lebih ramah lingkungan.
Indonesia juga memiliki target akan memasang kapasitas tambahan sebesar 35.000 MW yang diharapkan bisa memicu produktivitas. Meskipun target ini sempat diperbaharui, karena dianggap terlalu tinggi. Per Agustus 2019 saja pembangunan yang masih harus direalisasikan masih lebih dari 30.000 MW yang secara bertahap akan dipenuhi.
Penyaluran energi ini bisa diarahkan ke sektor industri yang berperan menaikkan nilai tambah suatu barang, terutama barang tambang mineral. Melihat ini, pemerintah telah merencanakan untuk mengembangkan bahan baku nikel untuk diproses menjadi baterai lithium yang permintaannya meningkat seiring berkembangnya trend penggunaan mobil listrik di berbagai negara.
Energi Baru Terbarukan Lebih Murah
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh International Renewable Energy Agency (IRENA), harga EBT terus menerus turun dan akan menjadi sumber daya pembangkit yang paling murah ke depan. Pembangkit listrik dari energi baru terbarukan seperti tenaga air, biomassa dan geothermal akan semakin kompetitif.
Tren harga listrik yang dihasilkan dari panel surya dan turbin angin dari tahun 2010 hingga 2020 juga terus mengalami penurunan. Harga listrik dari panel surya dan turbin angin sudah dapat bersaing atau bahkan sudah dapat mengalahkan harga listrik konvensional dari bahan bakar fosil.Â
Dalam rata-rata dunia listrik dari onshore wind pada tahun 2021 mencapai 0,043 USD/kWh, sedangkan panel surya mencapai 0,039 USD/kWh, sekitar 5 kali lebih murah daripada 2010. Ini artinya, dengan investasi yang sama maka bisa dihasilkan kapasitas pembangkitan yang 5 kali lebih besar.
Momen pandemi ini memang membawa banyak masalah, namun di balik masalah itu tentu terdapat hikmah. Jika Indonesia ingin mengejar target-target yang telah ditetapkan, maka kita semua harus bekerja lebih keras lagi.Â
Harapan kita bersama untuk para cendekiawan dan teknokrat untuk dapat menguasai teknologi sebaik mungkin untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang kita miliki. Selain itu agar pemerintah memiliki kebijakan dan regulasi yang jelas dan senantiasa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan keterjagaan lingkungan.
Sumber:Â
International Energy Agency (IEA), Global Energy Review 2020
International Renewable Energy Agency (IRENA), Power Generation Cost 2019
esdm.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H