Mohon tunggu...
Muhammad Arifin
Muhammad Arifin Mohon Tunggu... -

lahir di Yogyakarta, 11 Mei 1950. Sarjana Biologi (Drs) UGM (1977), Sarjana Utama (SU) Ilmu Hama Tumbuhan, Program Pascasarjana UGM (1983), dan Doktor (Dr) Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana UGM (1993). Mengikuti pelatihan Insect Pathogens di National Agriculture Research Center, Tsukuba, Japan (1987) dan Radiation and Isotopes in Entomology di University of Florida, USA (1992). Sejak 1979 bekerja sebagai peneliti pada Badan Litbang Pertanian. Pangkat terakhir Pembina Utama IV/e (2010), jabatan fungsional terakhir Ahli Peneliti Utama Bidang Hama Tanaman (2001), dan sebagai Profesor Riset Bidang Entomologi (2010). Ada 108 karya ilmiah yang dihasilkan; 45 buah sebagai penulis tunggal, 37 buah sebagai penulis utama, dan 26 buah sebagai penulis pendamping. Menjabat ketua PEI Cabang Bogor (1997-2003), Pengurus Pusat PEI (2003-2007).

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tingkat Kerusakan Ekonomi Hama Kepik Punggung Bergaris, Piezodorus hybneri pada Kedelai

27 April 2011   11:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:20 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muhammad Arifin1 dan Wedanimbi Tengkano2

ABSTRACT.Economic Injury Level of The Red-banded Shield Bug, Piezodorus hybneri on Soybean. The red-banded shield bug is an important insect pest in soybean pod, which often resulted in harvest failures. Control of this pest using insecticides should be based on an economic injury level (EIL) to reduce the high production costs and environmental disruption. This study was aimed to determine the EIL of the red-banded shield bug as a decision-making criterion to control the pest using insecticides on soybean. The EIL was determined by applying break-even point principle for pest control, i.e., a balance between the value of potential yield losses that were saved by the pest control action and the cost of control measures. EIL values of the red-banded shield bug were indicated in the following multiple regression equations: y(nimfe)= 0.5332 + 0.0017 x1 – 0.076 x2 and y(imago)= 0.5988 + 0.0018 x1 – 0.084 x2, where x1= cost of control (x IDR 1,000/ha), x2= price of soybean (x IDR 1,000/ha), and y= EIL value of the bug (bugs/10 hills). Thus, if the cost of control was IDR 300,000/ha and the price of soybean was IDR 6,000/kg, then the EIL values of the nimfe and imago were 0.63 and 0.58 bugs/10 hills, respectively. A control measure using insecticides should be applied before the red-banded shield bug population reached the EIL or after it exceeded the economic threshold, that was 0.5 bugs/10 hills (= 1.0 bugs/20 hills). Based on the EIL value, control of the red-banded shield bug pest could reduce the indiscriminate use of insecticides.

Key words: Red-banded shield bug, Piezodorus hybneri, soybean, economic injury level

ABSTRAK.Kepik punggung bergaris merupakan serangga hama pengisap polong penting pada kedelai yang sering mengakibatkan gagal panen. Pengendalian hama ini dengan insektisida harus didasarkan atas tingkat kerusakan ekonomi (TKE) untuk mengurangi tingginya biaya produksi dan terganggunya lingkungan.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan TKE kepik punggung bergaris sebagai kriteria pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida pada kedelai. TKE ditentukan dengan menerapkan prinsip impas pengendalian hama, yakni kesetaraan antara nilai potensi kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya pengendalian hama. Nilai TKE kepik punggung bergaris dinyatakan dengan persamaan regresi berganda: y(nimfa)= 0,5332 + 0,0017 x1 – 0,076 x2 and y(imago)= 0,5988 + 0,0018 x1 – 0,084 x2, di mana x1= biaya pengendalian (x Rp 1.000/ha), x2= harga kedelai (x Rp 1.000/ha), dan y= nilai TKE (ekor/rumpun). Apabila biaya pengendalianRp 300.000/ha dan harga kedelai 6.000/kg, maka nilai TKE-nya sebesar 0,63 and 0,58 ekor/10 rumpun, masing-masing untuk stadium nimfa dan imago. Tindakan pengendalian dengan insektisida harus segera dilakukan sebelum populasi kepik punggung bergaris mencapai TKE atau setelah melampaui ambang ekonomi, yakni 0,5 ekor/10 rumpun (=1,0 ekor/20 rumpun). Pengendalian hama kepik punggung bergaris berdasarkan TKE dapat mengurangi pengunaan insektisida yang berlebihan.

Kata kunci:Kepik punggung bergaris,Piezodorus hybneri, kedelai, tingkat kerusakan ekonomi

Kepik punggung bergaris, Piezodorus hybneri (Gmelin) (Hemiptera: Pentatomidae) merupakan salah satu serangga hama pengisap polong penting yang mengakibatkan kehilangan hasil, bahkan dapat menggagalkan panen pada kedelai. Hama ini menyerang polong muda dan tua sehingga menyebabkan polong dan biji kempis, polong gugur, biji keriput, biji hitam membusuk, biji berbercak hitam, dan biji berlobang. Serangan pengisap polong pada biji menyebabkan daya tumbuh biji berkurang. Kehilangan hasil akibat serangan hama pengisap polong dapat mencapai 79% (Tengkano et al. 1992).

Sampai saat ini, pengendalian hama oleh sebagian besar petani didasarkan atas ada-tidaknya hama atau tingkat serangan hama, dan satu-satunya bahan pengendali yang tersedia dan siap pakai adalah insektisida. Pengendalian dengan insektisida dilakukan secara berkala mulai tanaman muda hingga tanaman menjelang panen, dengan selang waktu 2 minggu, dan dengan dosis sesuai rekomendasi yang tertera pada kemasan (Marwoto 1992). Cara ini dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain bertambahnya biaya produksi dan terganggunya kelestarian lingkungan hidup. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, pengendalian hama dengan insektisida harus didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Dalam konsep PHT, pengendalian hama merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan agroekosistem dengan penekanan pada upaya mengintegrasikan semua teknologi pengendalian hama yang cocok dan mendorong berfungsinya proses pengendalian alami untuk mempertahankan populasi pada tingkat keseimbangan rendah. Tujuan PHT adalah: a) meningkatkan efisiensi pengendalian hama dengan cara menerapkan teknik pemantauan untuk menjamin bahwa insektisida hanya digunakan bila diperlukan saja, b) melakukan substitusi insektisida kimiawi dengan biokontrol, biopestisida, atau varietas transgenik, dan c) melakukan disain ulang sistem pengelolaan tanaman, antara lain dengan melakukan rotasi tanaman dalam areal yang luas (IRRI 2009. Tujuan PHT juga a) menurunkan status hama, b) menjamin keuntungan pendapatan petani, c) melestarikan kualitas lingkungan, dan d) menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo dan Higley 1992). Penggunaan insektisida sebagai sarana pengendalian dibenarkan bila dari segi ekonomi, manfaat yang diperoleh sekurang-kurangnya sama dengan biaya pengendalian hama, dan dari segi ekologi, bila komponen ekosistem, baik fisik maupun biologis, tidak mampu menekan populasi hama dan mempertahankannya pada tingkat keseimbangan rendah. Kedua dasar penggunaan insektisida tersebut melahirkan konsep tingkat kerusakan ekonomi (TKE; economic injury level).

TKE adalah tingkat populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman (Stern et al. 1959). Konsep tersebut telah dikembangkan oleh para pakar sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama dengan insektisida secara rasional. Komponen penting dalam menentukan TKE adalah informasi mengenai tingkat kehilangan hasil panen karena serangan hama. Informasi tersebut diperoleh dari model persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi hama dan persentase kehilangan hasil panen.

Penelitian TKE kepik punggung bergaris pada kedelai ini dilakukan berdasarkan pertimbangan pentingnya nilai TKE sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai TKE kepik punggung bergaris pada kedelai.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dalam kurungan lapang di lahan Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Mojosari, Jawa Timur pada bulan Juni sampai dengan Desember 2006. Ada 14 seri percobaan infestasi kepik punggung bergaris pada beberapa umur tanaman kedelai, masing-masing menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima taraf populasi sebagai perlakuan, yakni 0, 2, 4, 6, dan 8 ekor/10 rumpun. Tiap perlakuan diulang empat kali. Ke-14 seri percobaan tersebut, yakni: (1) imago pada 42 hari setelah tanam (HST), (2) imago pada 49 HST, (3) nimfa instar III pada 49 HST, (4) imago pada 56 HST, (5) nimfa instar III pada 56 HST, (6) nimfa instar IV pada 56 HST, (7) imago pada 63 HST, (8) nimfa instar III pada 63 HST, (9) nimfa instar IV pada 63 HST, (10) nimfa instar V pada 63 HST, (11) imago pada 70 HST, (12) nimfa instar III pada 70 HST, (13) nimfa instar IV pada 70 HST, dan (14) nimfa instar V pada 70 HST. Dasarnya adalah saat kehadiran berbagai stadia serangga tersebut yang mempengaruhi hasil panen kedelai. Tiap petak perlakuan berisi 10 rumpun contoh.

Imago kepik punggung bergaris diperoleh dari lapang kemudian dibiakkan secara alami dengan kacang panjang dalam kurungan kain kasa. Kapas digunakan sebagai tempat imago meletakkan telur. Telur-telur dikumpulkan setiap hari kemudian dipelihara dalam cawan petri sampai menetas. Untuk mempertahankan kelembaban tinggi, dalam cawan petri tersebut disediakan sepotong kacang panjang segar. Nimfa yang keluar dari telur dipelihara dalam kurungan plastik milar dan diberi pakan kacang panjang yang telah berisi biji. Pakan diperbaharui 3 hari sekali.

Lahan seluas lebih-kurang 3000 m2 ditanami kedelai varietas Wilis dengan jarak tanam 40 cm X 20 cm, 3 biji per lobang. Pada saat tanam, tanaman dipupuk urea, SP-36, dan KCl, masing-masing dengan dosis 50 kg/ha, 100 kg/ha, dan 75 kg/ha. Tanaman diberi pupuk daun dengan dosis 2 g/l air pada umur 14 dan 21 HST dan pupuk bunga dengan dosis 2 g/l air pada umur 35 dan 42 HST. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 14 dan 30 HST. Pengairan dilakukan pada sebelum dan sesudah tanam kemudian dilanjutkan 10 hari sekali. Dua minggu sebelum infestasi serangga dan seminggu setelah infestasi serangga, tanaman disemprot dengan insektisida deltametrin dosis 25 g/l untuk mengatasi serangan hama yang tidak diinginkan. Residu penyemprotan insektisida selama 2 minggu tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap kepik punggung bergaris yang akan diinfestasikan.

Kehilangan Hasil

Tanaman contoh sebanyak 10 rumpun per perlakuan disungkup dengan kain kasa berukuran 100 cm X 100 cm X 100 cm pada 12 jam sebelum infestasi. Tanaman dalam sungkup diinfestasi dengan kepik punggung bergaris sesuai perlakuan. Sungkup dilepas pada 7 hari setelah infestasi kemudian tanaman disemprot dengan insektisida setiap minggu sampai tanaman berumur 77 HST. Panen dilakukan pada 90 HST.

Parameter yang diamati adalah jumlah polong dan biji terserang, serta bobot biji hasil panen. Data dianalisis dengan sidik ragam kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Tingkat kerusakan polong atau biji dihitung dengan menggunakan rumus umum sebagai berikut:

Nilai kehilangan hasil untuk tiap perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus:

13039056771963740693
13039056771963740693

Model kehilangan hasil untuk hubungan antara populasi serangga dan kehilangan hasil panen pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi linier:

1303906061390858793
1303906061390858793

Setelah berbagai persamaan regresi linier tersebut diduga, dilakukan pengujian homogenitas terhadap berbagai koefisien regresinya. Apabila ada dua atau lebih koefisien regresi yang dinyatakan homogen, dibuat satu persamaan regresi yang mewakili beberapa persamaan regresi dengan koefisien regresi yang homogen.

Penentuan TKE

Penghitungan nilai TKE kepik punggung bergaris didasarkan atas prinsip titik impas pengendalian hama, yakni kesetaraan nilai antara biaya pengendalian dan kehilangan hasil panen yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama. Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:

Urutan langkah tersebut di atas mengikuti metode yang telah diterapkan oleh Arifin (1994) berdasarkan hasil modifikasi metode Stone dan Pedigo (1972) dengan mempertimbangkan efektivitas pengendalian yang diinginkan (Pedigo dan Higley 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kerusakan Polong dan Biji

Data hasil pengamatan tingkat kerusakan polong dan biji kedelai varietas Wilis setelah diinfestasi dengan kepik punggung bergaris pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 1. Kerusakan polong dan biji mulai terjadi pada 42 HST, namun tingkat kerusakannya mulai nyata oleh kepik stadia nimfa instar III, IV, dan V, serta imago pada 63 HST. Hal ini diduga karena kepik punggung bergaris dan kepik pengisap polong lainnya lebih menyukai polong yang sudah berisi biji daripada polong muda (Arifin dan Tengkano 2008). Pada 63 HST, tingkat kerusakan polong dan biji mulai nyata setelah diinfestasi dengan 2 ekor kepik punggung bergaris per 10 rumpun kemudian meningkat secara proporsional dengan meningkatnya populasi kepik punggung bergaris. Tingkat kerusakan tertinggi diperoleh setelah tanaman diinfestasi dengan 8 ekor kepik punggung bergaris per 10 rumpun.

1303907094832093906
1303907094832093906

Persamaan regresi hubungan populasi kepik punggung bergaris dengan tingkat kerusakan polong dan biji pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis disajikan dalam Tabel 2. Berbagai persamaan regresi tersebut memiliki koefisien regresi yang bersifat heterogen, sehingga tidak dapat dibuat persamaan regresi tunggal yang mewakili keseluruhan persamaan regresi tersebut. Berbagai persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa makin tinggi populasi kepik punggung bergaris, makin tinggi pula tingkat kerusakan polong dan bijinya.

1303907431457975276
1303907431457975276

Tingkat kerusakan polong dan biji pada perlakuan nimfa instar V dan imago lebih tinggi daripada nimfa instar III dan IV. Sebagai contoh, berdasarkan persamaan regresi dalam Tabel 2, bila pada 63 HST, tanaman kedelai diinfestasi dengan nimfa instar III, IV, dan V, serta imago, masing-masing sebanyak 2 ekor/10 rumpun, maka tingkat kerusakan polongnya untuk keempat stadia/instar tersebut, berturut-turut sebesar 0,37%, 0,31%, 0,75%, dan 0,51%. Demikian juga tingkat kerusakan bijinya, berturut-turut sebesar 0,15%, 0,13%, 0,28%, dan 0,23%. Sebagaimana yang terjadi pada kepik pengisap polong pada umumnya (Arifin dan Tengkano 2008), perbedaan tingkat kerusakan polong dan biji ini disebabkan oleh perbedaan perilaku kepik punggung bergaris dalam mengisap polong pada berbagai stadia serangga. Kepik punggung bergaris stadia nimfa instar V dan imago bergerak lebih bebas bila dibandingkan dengan stadia nimfa instar III dan IV. Makin leluasa kepik punggung bergaris bergerak, makin besar peluangnya mengisap polong dan makin banyak polong danbiji yang dirusak.

Pada tingkat populasi relatif rendah, kepik punggung bergaris dan kepik pengisap polong lainnya (Arifin dan Tengkano 2008) hanya menyebabkan pelukaan (injury), belum mengakibatkan kerusakan (damage) polong dan biji. Tanaman kedelai biasanya mampu mentoleransi, bahkan mengkompensasi pelukaan kecil dengan cara menyalurkan energi atau sumberdaya yang lebih banyak ke ujung bagian tanaman yang sedang tumbuh atau ke bagian pembentukan buah (Meyer 2003). Oleh karena itu, pada tingkat pelukaan rendah, tidak cukup alasan untuk diberlakukannya tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian kepik punggung bergaris baru dapat dibenarkan bila kehilangan hasil yang akan terjadi sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelamatkan kehilangan hasil tersebut.

Hasil dan Kehilangan Hasil Panen

Data hasil panen dan kehilangan hasil panen kedelai varietas Wilis setelah diinfestasi dengan kepik punggung bergaris pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 3. Kehilangan hasil panen mulai terjadi pada 42 HST setelah diinfestasi dengan 2 ekor kepik punggung bergaris per 10 rumpun kemudian meningkat secara proporsional dengan meningkatnya populasi kepik punggung bergaris. Tingkat kehilangan hasil tertinggi diperoleh setelah tanaman diinfestasi dengan 8 ekor kepik punggung bergaris per 10 rumpun.

1303907802624489616
1303907802624489616

Data kehilangan hasil panen yang disajikan dalam Tabel 3 digunakan untuk menentukan model hubungannya dengan populasi kepik punggung bergaris pada berbagai umur tanaman kedelai varietas Wilis. Hubungan yang dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier tersebut (Tabel 4) memiliki beberapa koefisien regresi yang bersifat homogen, terutama untuk imago serta instar III, IV, dan V pada tanaman umur 42, 49, 56, 63, dan 70 HST sehingga dapat dibuat dua buah persamaan regresi tunggal yang mewakilinya (Gambar 1). Kedua persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen kedelai berbanding langsung dengan tingkat kepadatan populasi kepik; kepadatan tinggi meningkatkan kerusakan dan kehilangan hasil. Sebagai ilustrasi, bila tanaman umur 42 HST diinfestasi dengan kepik punggung bergaris stadium imago sebanyak 2 ekor/10 rumpun, maka kehilangan hasilnya sebesar 7,75% atau setara dengan 198,09 kg/ha (potensi hasil kedelai varietas Wilis setempat sebesar 2.556 kg/ha) atau senilai Rp 1.188.540,-/ha (harga kedelai Rp 6.000,-/kg). Demikian juga bila tanaman umur 42 HST diinfestasi dengan nimfa instar III, IV, dan V sebanyak 2 ekor/10 rumpun, kehilangan hasilnya sebesar 8,34% atau setara dengan 213,17 kg/ha atau senilai Rp 1.279.020,-/ha.

Gambar 1.Hubungan populasi kepik punggung bergaris stadia nimfa dan imago dengan tingkat kehilangan hasil pada tanaman kedelai varietas Wilis umur 42-70 HST

Penentuan TKE

Penghitungan nilai TKE kepik punggung bergaris didasarkan atas data (a) persamaan regresi hubungan antara populasi kepik punggung bergaris dan tingkat kehilangan hasil pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis (Gambar 1), (b) potensi hasil panen kedelai varietas Wilis diperoleh dari rata-rata hasil panen pada perlakuan kontrol (= 0 ekor/10 rumpun) pada 42, 49, 56, 63, dan 70 HST (Tabel 2), yaitu sebesar 204,47 g/10 rumpun atau 2.556 kg/ha (1 ha= 125.000 rumpun), (c) harga kedelai varietas Wilis Rp 6.000,-/kg, (d) harga insektisida deltametrin Rp 180.000/l/ha, (e) biaya aplikasi insektisida Rp 120.000/4 orang/hari/ha, dan (f) efektivitas pengendalian hama 0,8. Sebagai contoh, berdasarkan data tersebut di atas dan rumus penghitungan TKE (dikemukakan dalam Bahan dan Metode), maka diperoleh nilai ambang perolehan sebesar 62,5 kg/ha, nilai kehilangan hasil sebesar 2,45%, dan nilai TKE hama kepik punggung bergaris sebesar 0,58 ekor/10 rumpun untuk stadium nimfa dan 0.63 ekor/10 rumpun untuk stadium imago.

Penentuan nilai TKE di atas bersifat kurang dinamis karena hasilnya valid untuk situasi harga pasar tertentu. Apabila harga pasar berubah, maka nilai TKE juga berubah. Untuk menentukan nilai TKE yang lebih dinamis, biaya pengendalian dibuat bervariasi antara Rp 300.000,-/ha hingga Rp 340.000,-, dan harga kedelai dibuat bervariasi antara Rp 6.000,-/kg hingga Rp 8.000,-/kg. Hasil penghitungan nilai TKE pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai tersebut disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan data dalam Tabel 5 tersebut, diperoleh model persamaan regresi berganda TKE kepik punggung bergaris pada tanaman kedelai varietas Wilis sebagai berikut:

Model persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa nilai TKE bervariasi menurut perubahan biaya pengendalian dan harga kedelai. Meningkatnya biaya pengendalian akan meningkatkan nilai TKE, tetapi meningkatnya harga kedelai akan menurunkan nilai TKE. Jadi, berdasarkan persamaan regresi berganda tersebut di atas, bila biaya pengendalian kepik punggung bergaris Rp 300.000,-/ha dan harga kedelai konsumsi Rp 6.000,-/kg, maka nilai TKE kepik punggung bergaris pada berbagai umur tanaman sebesar 0,581 ekor/10 rumpun untuk stadium imago dan 0,629 ekor/10 rumpun untuk stadium nimfa. Dengan demikian, hasil penghitungan TKE kepik punggung bergaris tersebut cocok dengan penghitungan TKE kepik punggung bergaris yang bersifat statis.

Pengambilan Keputusan Pengendalian

Sejak Stern et al. (1959) mengemukakan konsep TKE, para pakar bersepakat untuk mengembangkannya sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Dalam hal ini, petani sebagai pengambil keputusan tidak boleh menunggu hingga populasi hama mencapai TKE, tetapi harus segera memulai tindakan pengendalian dengan insektisida sebelum populasi hama mencapai TKE. Maksudnya, agar tersedia waktu bagi petani untuk mempersiapkan diri sebelum tindakan pengendalian dilakukan. Apabila populasi hama telah mencapai TKE sementara petani baru mulai mempersiapkan diri, tindakan pengendaliannya akan terlambat karena populasi hama telah melampaui TKE. Tingkat populasi hama sebelum mencapai TKE tersebut dikenal sebagai ambang ekonomi (economic threshold) atau ambang kendali (action threshold).

Nilai TKE kepik punggung bergaris pada berbagai umur tanaman sebesar 0,58 ekor/10 rumpun untuk stadium nimfa dan 0,63 ekor/10 rumpun untuk stadium imago tersebut sulit dijadikan dasar pengendalian bagi petani. Untuk itu digunakan kriteria ambang ekonomi sebagai dasar keputusan pengendalian. Besarnya nilai ambang ekonomi untuk keping punggung bergaris diperkirakan lebih-kurang 0,5 ekor/10 rumpun. Jadi, bila populasi kepik punggung bergaris mencapai 0,5 ekor/10 rumpun atau 1,0 ekor/20 rumpun (diasumsikan musuh alami tidak ada di pertanaman), petani harus segera mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan pengendalian. Dengan cara ini diharapkan saat petani melakukan tindakan pengendalian, populasi hama belum mencapai TKE.

Untuk menentukan apakah populasi hama kepik punggung bergaris telah mencapai TKE, kegiatan pemantauan populasi hama tersebut harus dilakukan secara berkala. Umumnya, kepadatan populasi hama tidak ditentukan dengan cara menghitung banyaknya individu serangga hama secara keseluruhan, tetapi dengan cara penarikan contoh pada beberapa unit tanaman, baik secara acak maupun sistematik, bergantung pola sebaran populasi serangga (Ruesink 1980).

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada kisaran kepik 1-8 ekor/rumpun, kehilangan hasil panen kedelai varietas Wilis karena kepik punggung bergaris dapat diduga dengan persamaan regresi linier hubungan antara populasi kepik dan kehilangan hasil pada stadia nimfa dan imago. Makin tinggi populasi kepik, makin tinggi pula kehilangan hasilnya.

Nilai TKE kepik punggung bergaris pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai dapat ditentukan dengan model persamaan regresi berganda. Makin tinggi biaya pengendalian, makin tinggi pula nilai TKE-nya. Makin tinggi harga kedelai, makin rendah nilai TKE-nya.

Disarankan untuk mensosialisasikan nilai TKE kepik punggung bergaris dalam Sekolah Lapang PHT kedelai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Atok Subuh Yulianto, SPd dan Drs. Bedjo, MP yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 1994. Economic injury level and sequential sampling technique for the common cutworm, Spodoptera litura (F.) on soybean. Contr. Centr. Res. Inst. Food Crops Bogor. 82: 13-37.

Arifin, M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(1): 47-54.

IRRI. 2009. Key concepts or tools for thinking about IPM. IRRI Rice Knowledge Bank. http://www.knowledgebank.irri.org

Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani, p. 37-43. Dalam: Marwoto et al. (penyunting). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang.

Meyer, J.R. 2003. Economic Injury Level. http://www.cals.nscu.edu/course/ent425/ tutorial/economics.html

Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1): 12-21.

Ruesink, W.G. 1980. Introduction to sampling plans for soybean arthropods, p. 61-78. In: M. Kogan and D.C. Herzog (eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.

Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia. 29: 81-101.

Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1970. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.

Tengkano, W., M. Iman, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai, p. 117-139. Dalam: Marwoto et al. (penyunting). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. 183 p.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun