Mohon tunggu...
Muhammad Ardiyan
Muhammad Ardiyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

Menulis seputar Ilmu Ekonomi dan Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Penerapan Good Governance, Apa yang Sudah Kuat dan Apa yang Masih Lemah?

6 November 2024   11:44 Diperbarui: 6 November 2024   11:44 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bagaimana Penerapan Good Governance pada Level Pemerintahan Pusat: Apa Saja yang Sudah Dilakukan dan Apa Saja yang Masih Lemah?

Good governance atau tata kelola yang baik merupakan konsep penting dalam pemerintahan yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya publik. Menurut kajian Simamungsong dan Sinuraya dalam (Nurhidayat, 2023), good governance mencakup sembilan prinsip utama yaitu, partisipasi, keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, keadilan, responsivitas, kepastian hukum dan visi strategis. Penerapan prinsip-prinsip ini di level pemerintahan pusat sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan mencapai tujuan pembangunan nasional. Berbagai upaya untuk mencapai good governance telah dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, masih banyak ditemukan berbagai kelemahan yang menghambat proses mencapai goodgovernance itu sendiri. Berikut apa yang sudah dilakukan pemerintah guna menjangkau setiap aspek good governance.

1. Aspek Partisipasi Masyarakat and consesus orientation( setiap keputusan harus dilakukan melalui proses musyawarah)

Di Indonesia, partisipasi masyarakat telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, meskipun kerangka hukum telah ada, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.

Pemerintah pusat Indonesia telah melakukan berbagai inisiatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Contohnya, dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah mengadakan musyawarah yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan organisasi non-pemerintah.

Sementara itu, di level pemerintah daerah, salah satu upaya menggait partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik adalah program Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang dilaksanakan di tingkat desa, kecamatan, dan kota. Program ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan usulan pembangunan yang mereka anggap penting. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah dapat mencerminkan apa yang memang benar-benar rakyat butuhkan.  

Meskipun ada upaya untuk melibatkan masyarakat, masih terdapat tantangan dalam hal aksesibilitas informasi dan partisipasi yang merata. Banyak masyarakat di daerah terpencil yang tidak memiliki akses yang memadai untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan.. Selain itu, masyarakt masih memiliki kesadaran dan pengetahuan yang rendah terkait hak mereka untuk berpatisipasi. Menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2020, hanya 40% masyarakat yang mengetahui tentang mekanisme partisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Selain itu, masyarakat desa cenderung apatis, lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada memilih meluangkan sedikit waktu untuk bermusyawarah (Salangka, 2020)

Selain itu, pemerintah beberapa kali mengambil keputusan kontroversial, bahkan parahnya lagi melalui proses yang tiba-tiba. Keputusan ini juga terkadang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. contohnya, revisi UU KPK pada 2019 memunculkan kontroversi besar karena dianggap melemahkan kapasitas, mengurangi indepensi dan efektivitas KPK sehingga menghambat upaya pemberantasan korupsi. Dalam konteks good governance, proses pengambilan kebijakan semacam ini tidak mencerminkan aspek partisipasi masyarakat dan buah keputusan ini membuat akuntabilitas dan transparansi pemerintah yang baik sulit tercapai.

2. Akuntabilitas dan Transparansi

Di tingkat pemerintahan pusat, berbagai inisiatif telah diambil untuk meningkatkan akuntabilitas. Salah satu contohnya adalah penerapan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini mengharuskan badan publik untuk menyediakan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat, sehingga meningkatkan transparansi. Namun, meskipun ada kemajuan, masih terdapat sejumlah badan publik yang tidak sepenuhnya mematuhi undang-undang ini, yang menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat.

Pemerintah pusat juga telah mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), yang membantu mengevaluasi kinerja instansi pemerintahan dan memberikan insentif kepada instansi yang memenuhi standar akuntabilitas. Pelaksanaan sistem ini melibatkan perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan kinerja yang wajib dilakukan oleh setiap instansi pemerintah

Selain itu, pemerintah pusat juga telah menerapkan sistem e-government yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi publik. Misalnya, portal Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) yang diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi tentang anggaran dan penggunaan dana di tingkat daerah.

Meskipun terdapat berbagai upaya untuk meningkatkan akuntabilitas di tingkat pusat, masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kurangnya sanksi yang tegas bagi pejabat publik yang tidak memenuhi kewajiban akuntabilitas. Hal ini menyebakan masih maraknya praktik korupsi di Indonesia. Menurut Corruption Perception Index, Indonesia menduduki peringkat 102 dari 180 negara ("STAGNAN: Skor 34, Corruption Perception Index (CPI) IndonesiaTahun 2023," 2024). Tidak hanya di pusat, di daerah pun demikian.

Di tingkat daerah, implementasi akuntabilitas juga mengalami perkembangan yang signifikan. Salah satu contohnya adalah penerapan sistem laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (LPKD) yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. LPKD bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas tentang penggunaan anggaran daerah kepada masyarakat.

Contoh menarik dari Pemerintah Kota Surabaya, yang dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi. Melalui program "Surabaya Smart City"-nya, pemerintah kota ini menyediakan platform digital yang memungkinkan warga untuk mengakses informasi tentang anggaran, proyek pembangunan, dan layanan publik lainnya. Namun, meskipun ada contoh positif seperti Surabaya, masih banyak daerah lain yang belum menerapkan praktik akuntabilitas yang baik.

kelemahan utama dalam implementasi akuntabilitas di tingkat daerah juga bisa dilihat dari rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan keuangan. Pegawai belum pemahaman pengelolaan keuangan yang memadai karena peraturan perundang-undangan mengenai keuangan daerah selalu berubah. Selain itu adanya ketidaksesuaian antara latar belakang Pendidikan dengan jabatan yang diemban juga menjadi tantangan(Bachtiar, 2020). Hal ini berdampak pada kualitas laporan keuangan dan transparansi yang dihasilkan.

3. Efektivitas dan Efisiensi
Efisiensi dalam pelayanan publik berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan APBN di lapangan. Sejalan dengan itu, Kementerian PANRB melakukan evaluasi atas implementasi SAKIP pada seluruh kementerian, Lembaga, dan Pemda. Evaluasi ini bertujuan untuk keberhasilan maupun kendala dalam pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai oleh APBN. Melalui evaluasi SAKIP, kementerian dan Lembaga didorong untuk melakukan perbaikan secara terus menerus, sehinnga pemerintah memiliki harapan bisa menekan potensi pemborosan anggaran.

Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah ialah memanfaatkan teknologi digital untuk mengatas ketidakefisienan birokrasi. Pemerintah meluncurkan sitem E-government untuk memberikan informasi dan pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan minim biaya. Sistem ini juga meningkatkan pelayanan karena masyarakat bisa memperoleh pelayanan tanpa harus datang secara fisik. Salah satu contoh e-government, melalui portal layanan publik satu pintu Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP), masyarakat dapat mengakses berbagai layanan pemerintah secara online. Adapun produk-produk E-government lainya  disebut e-service, antara lain, KTP elektronik, BPJSTKU Mobile, Mobile JKN, dan lain lain.

Akan tetapi, masih banyak kelemahan untuk menggunakan e-government pada pemerintah daerah. Berdasarkan penelitian oleh (Wahyudi, 2010), tantangan implementasi e-government adalah sumber daya manusia yang masih minim dari segi skill dan manajerial dalam pengelolaan situs pemda. Akhirnya, sumber daya low skill ini terpaksa mengelola e-government, dan pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan. Kemudian, dari sisi aturan, beberapa pemerintah kabupaten dan kota masih meraba tentang implementasi e government karena belum adanya sosialisasi terkait standar e-government.

Sementara itu, Efektivitas dalam pelayanan publik merujuk pada sejauh mana layanan yang diberikan oleh pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contoh nyata dari efektivitas pelayanan publik di Indonesia adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan data BPJS Kesehatan, jumlah peserta JKN per tahun 2022 mencapai lebih dari 230 juta jiwa, yang menunjukkan bahwa program ini berhasil menjangkau sebagian besar populasi Indonesia.Namun, meskipun program ini efektif dalam menjangkau masyarakat, tantangan dalam hal kualitas pelayanan kesehatan tetap ada. Menurut laporan dari Ombudsman RI, terdapat banyak keluhan mengenai antrean yang panjang dan kurangnya fasilitas di beberapa rumah sakit yang berpartisipasi dalam program JKN.  

4. . Kesetaraan
Keadilan dalam konteks ini berarti pemerintah memperlakukan masyarakat secara setara dalam memenuhi hak-hak untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menerapkan prinsip keadilan dalam good governance. Salah satunya adalah melalui program-program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).  Namun, masih banyak tantangan yang harus di hadapi, seperti akurasi data penerima, ketidakmerataan penyaluran BLT, ketidakjelasan prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan, adanya praktik pungutan liar berupa pemotongan jumlah bansos, bahkan blt yang dijadikan komoditas politik (Pambudi, 2023).

Tantangan dalam keadilan dalam distribusi anggaran

Salah satu contoh nyata dari tantangan keadilan dalam implementasi good governance adalah terkait distribusi anggaran daerah. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa terdapat disparitas yang signifikan dalam alokasi anggaran antara daerah kaya dan daerah miskin. Misalnya, Provinsi DKI Jakarta menerima alokasi anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Provinsi Papua, meskipun Papua memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.

Kondisi ini menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal masyarakat di Papua memiliki akses yang jauh lebih rendah terhadap layanan kesehatan dibandingkan dengan masyarakat di Jakarta. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem alokasi anggaran untuk memastikan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Implementasi di Level Pemerintahan Daerah dan tantangannya.

Di level pemerintahan daerah, banyak inisiatif yang telah dilakukan untuk meningkatkan keadilan. Salah satu contohnya adalah program pembangunan infrastruktur yang berfokus pada daerah terpencil dan tertinggal. Pemerintah daerah di beberapa provinsi, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, telah melaksanakan proyek pembangunan jalan dan fasilitas kesehatan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan dasar.

Namun, dalam praktiknya, implementasi program-program tersebut sering kali terkendala oleh korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tingkat korupsi di tingkat daerah masih cukup tinggi, dengan banyak kasus penggelapan anggaran pembangunan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan keadilan, tantangan besar dalam hal transparansi dan akuntabilitas masih harus diatasi.

5. Kepastian Hukum
Kepastian hukum diharapkan menciptakan iklim investasi yang kondusif, melindungi hak-hak individu, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat teradap pemerintah.

Di Era Jokowi, Pemerintah pusat dan daerah telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kepastian hukum, salah satunya adalah program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Program ini bertujuan untuk memberikan sertifikat hak milik tanah kepada masyarakat secara gratis. Program ini diharapkan dapat mengurangi sengketa tanah dan memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah.

Namun, pelaksanaan PTSL masih memiliki beberapa hambatan.  Biaya Pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) memberatkan masyarakat berpenghasilan renndah tidak mampu membayar. Meski ada opsi penundaan pembayaran, aturan teknis belum jelas, sehingga masyarakat masih merasa terbebani. Kemudian, PTSL menghadapi keterbatsn jumlah kapasitas SDM di lapangan, terutama pulau jawa, Ketersediaan petugas yang kurang memadai memperlambat proses sertifikasi tanah karena tidak sebanding dengan banyaknya bidang tanah yang perlu didaftarkan.selannjutnya, proses pengumuman data fisik dan yuridis sering membutuhkan waktu lama seperti ketidaklengkapan data dan kurangnya transparansi. (Muhammad et al., 2022)

6. Responsiveness
Responsiveness berarti kemampuan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan cepat dan efektif.
Pengembangan sistem pengaduan masyarakat. contohnya, aplikasi LAPOR! (Layanan Pengaduan Online Rakyat) diluncurkan th 2014. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhan atau aspirasi secara langsung kepada pemerintah. ORI memainkan peran penting dalam memastikan bahwa pemerintah merespons keluhan masyarakat secara efektif dan cepat, terutama terkait dugaan pelanggaran administratif yang mengganggu hak-hak warga negara. ORI melakukan pelayanan di setiap provinsi. Selain menangani laporan, ORI juga memberikan rekomendasi kepada lembaga pemerintahan untuk memperbaiki layanan publik yang tidak memadai, mengurangi praktik maladministrasi, serta mencegah terjadinya pelanggaran yang sama di masa depan

Di tingkat daerah, beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten meluncurkan program untuk meningkatkan responsivitas. Contohnya, Pemprov DKIJ meluncurkan aplikasi Jakarta Kini (JAKI) yang memungkinkan masyarakat melaporkan masalah seperti kemacean, kebersihan, dan keamaanan secara langsung pada pemerintah.

Kelemahan
-Respons aduan melalui aplikasi Jakarta Kini (JAKI) dinilai lambat
- Ombudsman Tenaga kerja yang kurang memadai, fasilitas terbatas, anggaran terbatas.
- Pemerintah daerah atau lembaga pemerintah yang diawasi ombudsman tidak selalu kooperatif. (Pambudi, 2023)

Daftar Pustaka
Bachtiar, S. (2020). Pengelolaan Keuangan Daerah (Studi pada Pemerintah Kota Tasikmalaya). Syntax Idea, 2. https://jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-idea/article/view/162/243
Muhammad, Y. F. W., Haryanto, H., Amiludin, & Ahmad, D. N. F. (2022). Hambatan Dalam Pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Jurnal Inovasi Dan Kreativitas (JIKa), 2(1), 49--68. https://doi.org/10.30656/jika.v2i1.5082
Nurhidayat, I. (2023). Prinsip-Prinsip Good Governance Di Indonesia. Journal E-Gov Wiyata: Education and Goverment, 1(1), 40--52. https://journal.wiyatapublisher.or.id/index.php/e-govHalaman40
Pambudi, A. S. (2023). Permasalahan Pelayanan Publik dan Peran Ombudsman Perwakilan Dalam Pendampingan Aparatur Sipil Negara. Ombudsman Republik Indonesia.
Salangka, W. P. R. (2020). Partisipasi Masyarakat dalam Musrenbang di Desa Malola Kecamatan Kumelembuai Kabupaten Minahasa Selata. Politico: Jurnal Ilmu Politik, 9(3), 1--9. https://ejournal.unsrat.ac.id/plugins/generic/pdfJsViewer/pdf.js/web/viewer.html?file=https%3A%2F%2Fejournal.unsrat.ac.id%2Findex.php%2Fpolitico%2Farticle%2FviewFile%2F30760%2F29552
STAGNAN: Skor 34, Corruption Perception Index (CPI) IndonesiaTahun 2023. (2024). Sustain. https://sustain.id/2024/02/05/stagnan-skor-34-corruption-perception-index-cpi-indonesia-tahun-2023/
Wahyudi, K. (2010). (pemerintahan elektronik) barangkali dianggap kurang relevan. Bagaimana mungkin kita bicara tentang kegagalan. Agenda, 1--16.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun