Setengah mati kamu membanting tulang mencari nafkah untuk keluargamu. Maka, Mulia sudah di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa kamu datang kepadaNya?
Yang ada hanya cinta.
Seseorang bilang bahwa mereka mencari dan menunggu solusi atas masalah-masalah. Mu’min sudah kamu itu. Hamba Tuhan yang memperjuangkan keamanan. Keamanan dirinya dan keluarganya dari segala problematika. Dan kelak kamu perjuangkan juga keamanan masyarakat dan bangsamu, keamanan dari kemiskinan, keamanan dari batas kemerdekaan di hadapan Tuhan.
Tapi kenapa kamu datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku tidak hanya cinta, tetapi lebih 'imajinier' dan bikin pecah kepala, adalah cinta sejati.
Tentu saja itu terlalu muluk. Kamu mendambakan penyelesaian praktis, aku hanya mampu siapkan siksaan.
Itupun problematis. Kalau kamu sebut ‘cinta’ saja, itu sudah terlalu dipersempit, disalahsangkakan, terlalu dipasti-pastikan atau sebaliknya ia terlampau dimitologisasikan, didramatisirkan, berujung di perkawinan tahayul, campur aduk LGBT.
Sedemikian rupa sehingga kalau kamu coba mengkritisinya, mengevaluasinya, mengukur jarak antara denotasi dengan konotasinya, hasilnya tidak lain kecuali menambah pembiasannya, bahkan melahirkan kemungkinan-kemungkinan salah paham baru, yang memecah belah hati antara manusia.
Sementara ketika setengah terpaksa aku pakai istilah yang agak mewah, yakni cinta sejati, aku yakin bahwa kamu akan menemukan ia lebih memerdekakan penafsiran dan penghayatan.
Daripada kamu menggenggam dunia tanpa cakrawala, Suatu saat kamu akan tahu bahwa yang lebih nyata adalah meraih cakrawala meskipun tidak mendapat dunia.
Akal yang minimalis juga mengerti atau sekurang-kurangnya memiliki naluri untuk peka bahwa sudah pasti dunia ini akan meninggalkan kita dan kamu sendiri pasti meninggalkannya. Untuk pergi, kembali atau pindah ke mana?
Ke suatu wilayah yang sementara kita sebut, ialah cakrawala.
Sekurang-kurangnya ia terbiarkan abstrak, tidak mudah diterapkan, tidak mudah dipakai. Ia lebih cenderung dekat ke ‘tiada’, dan aku lebih milih itu, daripada terlanjur mengambil ‘nyata’ yang kenyataannya belum pernah benar kenyataannya.
Lebih serasa hidup dengan ‘tidak’ yang benar-benar ‘tidak’, daripada ‘iya’ tetapi pada hakikinya tidak ‘iya’. Ibarat orang dalam Agama, aku memilih posisi “la illaha”, posisi tidak atau belum menemukan (ada dan berlakuNya) Tuhan, daripada terlalu konstan “illallah” padahal pada kenyataannya ternyata bukan Tuhan yang disembah, sehingga masih dan tetap sanggup membenci, menyakiti, mencaci atau bahkan membunuh sesama manusia.
Terkadang aku terdorong untuk menjelaskan cinta sejati itu misal melewati pembedaan sangat mendasar antara ‘cinta’ dengan ‘mencintai’.
Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Satu situasi yang berguling-guling di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan sosial. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam dirimu. Ia sebuah Gelora yang keluar dari diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan, kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesama manusia.
Kamu bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa kamu ambil energinya dari nilai sosial yang bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau kamu ambil landasan dari Tuhan 'aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di dalam diriku sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya'.
Kamu bisa memasuki kedalaman makna cinta dan mencintai dengan berpindah-pindah pintu untuk memasukinya. Kamu bisa menyelami lubuk-lubuk cinta dan mencintai dengan merangsang terbukanya berbagai pori-pori nilai untuk kamu buka dan telusuri.
Cinta itu adalah suatu potensi, suatu keadaan, sebuah situasi batin, mungkin berwujud ruang yang membutuhkan waktu, atau bisa jadi ia terasa sebagai energi atau terefleksikan sebagai semacam frekuensi. Seluruh kemungkinan itu terletak di dalam diri manusia, ia ada dalam kesunyian dirinya, ia belum fakta bagi selain dirinya.
Adapun ‘mencintai’ adalah sikap sosial. Keputusan dari dalam diri ke luar diri dan untuk yang bukan dirinya sendiri. Apabila ‘cinta’ diaplikasikan, diterapkan menjadi tindakan ‘mencintai’, maka begitu ia mensosialkan wujudnya, bentuknya, formulanya, nada dan iramanya, sudah ‘bukan’ cinta itu sendiri. Sang cinta ada di balik itu semua.
Mencintai itu wajahnya seakan-akan tidak ada hubungannya dengan cinta, karena ia bisa berupa kerja keras membanting tulang di pasar dan jalanan untuk keluarga. Ia bisa berwujud kepengurusan dalam keluarga, kepemimpinan dalam bermasyarakat, kearifan mengurusi kesejahteraan rakyat.
Bahkan bisa berwujud apapun yang dikenal oleh manusia sehari-hari tanpa mereka pernah menyadari bahwa itu semua bersumber dari keputusan dan tindakan mencintai.
Ada kalanya suatu masalah diselesaikan tidak dengan berhadapan dengan masalah itu. Bisa juga dengan berpindah konsentrasi, memikirkan atau melakukan sesuatu yang lain sama sekali dan tidak ada kaitannya dengan masalah itu.
Semakin kamu berkenalan dengan sifat-sifat kehidupan yang hampir tak terbatas keluasannya dan tak terukur kedalamannya, semakin kamu lincah dan kreatif untuk tidak berhenti mengurung diri atau dikurung oleh ruang sempit masalah yang sedang menimpamu.
Nanti, di tengah-tengah istirahat dari gemerlap perjuangan duniamu, di tengah hiruk-pikuk peperangan melawan masalah-masalahmu, kamu duduk bahkan tergeletak dengan nafas kembang kempis.
Tiba-tiba, semoga, kamu di sapa oleh ‘cinta illahiyah’, ia tiba-tiba saja hadir seakan sebuah sosok yang terbaring di sisimu. Ia menerbangkanmu dari dunia yang hampir bikin pecah kepalamu dan hancur lebur jiwamu. Kamu dibawa menyelam ke lubuk ‘uluhiyah’ atau melebar meluas ke semesta ‘rububiyah’, di mana segala fakta pertumbuhan, harmoni, pernikahan pada inti universalnya, dan apapun yang merupakan indikator persatuan, penyatuan, kebersatuan, kemenyatuan, manunggal, dan apapun kumpulan huruf yang dibangun dan disusun untuk nilai dan makna, datang mendaftarkan diri mereka masing-masing, satu persatu dan bareng-bareng, kepada ilmu dan pengetahuanmu mengenai Cinta.
(Bersumber dari segala ketidatahuanku, meneruskan pesan cinta dari Guruku (Mbah Nun)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H