1//
Nad, pertama kali kusampaikan padamu perihal kerinduanku yang menggebu dan mengoyak-oyak relung dada, kerisauan yang lengkap dengan senyap di ujung sepi saat malam hari, dan sesuatu apapun tentangmu yang membuat hatiku bergetar, berdebar.Â
Sering kali kubayngkan di saat semua orang tidak lagi peduli padaku yang ringkih benar, kau menatapku nanar, mengusap ubunku pelan. Perlahan-lahan kau cakup sebagian rambut bagian atasku lalu kau gerai membiarkannya diterpa dan diembus-embuskan angin.
Kurasai sekujur tubuhku hangat sekali. Tanganmu yang lembut dan jemarimu yang lentik itu perlahan meruntuhkan segala kekerasan dan kenaifanku pada apapun yang sifatnya deskruktif. Hidupku menjadi kembali terpacu. Sabana-sabana hati yang semula penuh api, seketika menjadi hamparan samudera yang tawar airnya.
2//
Nad, entah mengapa lama-lama aku semakin mentajuki semua isyarah-isyarah di relung hatiku yang menjentera Kaulah aku dalam wujud lain. Apa yang kurasa, batinku mengatakan bahwa Kau pun merasakannya. Entah, Nad, aku tidak tahu. Wallahu a'lam.
3//
Nad, kusebut Kau dalam sajak-sajak dan syair-syair puisi setiap kali aku menulis sajak-sajak dan syair-syair. Kudawamkan Kau dalam setiap rajutan kalimat-kalimat yang kusowanpersembahkan kepada Allah. Tidakkah Kau seperti itu pula, Nad?
4//
Bagaimana kabarmu, Nad? Kau kira di Jakarta aku bahagia dengan segala macam fasilitas dan ketentraman biaya hidup? Tidak, Nad. Bagaimanapun aku akan tetap seperti ini. Kau tidak tahu? Yaudah, tidak masalah. Semuanya adalah kehendak dari Sang Maha Kuasa, bukan?Â
5//