Kapan akan kita sadari, betapa dunia ini adalah kefanaan yang nyata? Dan dengannya, akal kita terpaut dan tertambat tiada jeda, Nak.
Sampai-sampai, Nabi bersabda: " ." (Cinta dunia adalah pokok dari segala kejelekan/keburukan). Entah, Kasih, masih belum juga aku mengerti esensi hadist itu. Terlalu munafik kiranya, bilamana aku mempresentasikannya di hadapanmu.
Kapan kita akan bangkit dari keterpurukan yang telah kita nikmati ini, Sayang? Dan dengannya, kita tidak akan bisa berkembang dan menggapai cita-cita.
Kenapa kau yang masih seumur jagung iti seakan telah menjadi orangtua dengan banyak harta dan telah menggapai cita-cita? Rebahan melulu setiap detik, menit, jam; berlarut-larut dalam kenikmatan semu, berjam-jam membahas masa depan dengan doi.
Lalu pada saatnya, ketika kamu melihat teman seusia, sepantaranmu sedikit sukses, kau mengalami quarter life krisis; mentalmu down, lemah, tidak semangat, nglomos. Bukankah kamu sendiri yang menyengaja untuk itu, Nak? Kenapa baru sekarang kau sadari?!
Kataku padamu: "Jangan menyerah! Seburuk apapun keadaanmu, sedown apapun mentalmu. Ingat pesan Tuhan: "Wala taiasu min rawhil Lah." (Jangan putus asa dari nikmat Allah). Sabar, Nak, ini ujian. Semakin besar dan berat ujianmu, semakin cerah dan menyenangkan kau pada akhirnya. Insya Allah.
Bukankah janji Allah setelah kesukaran pastilah ada kemudahan? Inna ma'al 'usri yusron. Dua kali dikiatkan firman itu di Al-Qur'an. Masihkah kau ragu?
Nak, yakinku, sekarang yang kau risaukan adalah uang, bukan? Berkorespondensilah dengan dirimu, Nak. Berekonsiliasilah kau dengan nafsumu. Ajak ia agar sesekali saja mendukungmu. Temukanlah nikmat-nikmat yang masih nadhir digapai manusia-manusia lainnya.
Kuceritai kau satu cerita, Nak. Ini cerita aku dapat dari sebuah buku yang entah Bapak lupa judulnya. Carilah sendiri besok bilamana kau tahu.
Tapi, besar kemungkinan kau tahu. Karena telah kuketahui ---dengan mata kepalaku sendiri--- bahwa kau gemar benar membaca, bukan? Mulai dari buku-buku filsafat hingga tanda-tanda kiamat, semua kau bacai.
Dulu, ada seseorang dalam keadaan terikat tali sekujur tubuhnya di hutan belantara, Nak. Coba bayangkan, siapa yang akan kasih ia makan di hutan belantara? Besar kemungkinan dia mati, bukan? Juga di pikirmu dan logikamu mungkin begitu: ia akan mati kelaparan.
Namun kenyataannya adalah demikian, Nak: Orang itu setiap hari didatangi oleh burung elang yang kakinya erat mengcengkeram roti, lalu disuapkan pada mulut orang itu. Jika timbul di pikirmu pertanyaan: "Lalu kalau haus dan dahaga, bagaimana, Bapak?", maka Bapak jawab: Jadi setiap orang itu haus, Tuhan mencurahkan air hujan dari langit, Nak. Itulah konsep rezeki.
Bilamana kau mengimani konsep seperti orang itu secara powerfull, maka tiada salahnya. Tapi harus kau ketahui, seberapa dekat kau dengan Maha Pemberi Rezeki, Nak? Apa pantas kau meminta, katakan, sekadar roti saja, pada seorang yang belum sepenuhnya kau kenal? Jadi, yang urgen sebelum meniru konsep itu, kau harus mendekatkan diri (taqarrub) kepada Maha Pemberi Rezeki! Itu kausalitas, Nak. Jangan aneh-aneh buat hukum.
Kamu capekkah, Nak?
Sebentar. Berhentilah sejenak dari kepayah-capekanmu saat ini. Coba, sesekali kita terka-terka, betapa lacut dan pengecutnya kita ini, Sayang? Ketahuilah olehmu: tidak mungkin aku mengirimkan surat ini tanpa perasaan sayang dan cinta yang dalam benar padamu!
Kepadamu, Nak.
Bila kau dapati kepayahan yang benar-benar menggoyahkan imanmu, segeralah kembali pada Tuhan, Nak. Ingati lagi, bagaimana janji-Nya: .
Berdoalah, Nak.
Semoga hari-harimu menyenangkan.
Aqib Muhammad Kh
Idul Fitri 1443 H
Rumah: Surga Kata-kata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H