Mohon tunggu...
Muhammad Apriliansyah
Muhammad Apriliansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

Ambitious

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi Semu dalam Kebebasan Berpendapat di Indonesia Saat Ini dalam Teori Libertarianisme

22 April 2021   15:06 Diperbarui: 22 April 2021   16:47 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sendiri, dalam dasar negaranya sudah menyatakan akan memberikan hak penuh kepada setiap individu warga negaranya untuk memberikan pendapat dan ekspresinya dalam ruang lingkup apapun, hal ini sejalan dengan ideologi demokrasi yang digunakan oleh Indonesia. Dalam konsep libertarian sendiri, setiap individu dari kita memiliki hak yang tak terbatas, yang menjadi dasar hak nya ialah bagaimana setiap individu mampu hidup sesuai pilihannya dan tidak dipaksakan selama tidak menganggu hak orang lain (David Boaz, 2015:85).

Hal tersebut termasuk kedalam salah satu hak kebebasan yaitu hak kebebasan berpendapat. Setiap individu berhak mengutarakan pendapatnya, berhak berekspresi sesuai kehendaknya, tanpa ada pembatasan yang mengekang hak manusia itu. Dalam pemerintahan orde baru, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi pun telah hilang, telah dirampas oleh pemerintah, dalam kenyataannya, setiap individu masyarakat yang mengkritik pemerintah, dibungkam dengan nyata hingga menghilangkan nyawa, agar tidak terjadi gejolak politik, karena tujuannya ialah menjaga kestabilan pemerintahan agar pemerintah mampu terus menjalankan kebijakannya tanpa ada hambatan dari masyarakat. Tetapi, era tersebut sudah berakhir, kini kita sudah memasuki era reformasi, dimana pemerintah sudah menjamin kebebasan pers dan kebebasan berpendapat individu sebagai perlawanan terhadap trauma yang diberikan pada zaman orde baru.

            Paham libertarianisme muncul sebagai reaksi penolakan terhadap paham otoriterisme pada akhir abad ke-17. Kaum libertarian berpendapat bahwa sifat alami individu untuk mencari kebenaran untuk mendapatkan kehidupan pribadi dan sosial yang lebih baik. Pencarian kebenaran ini harus diwujudkan melalui kebebasan berpendapat dan berdebat mengenai "truth" ini sendiri melalui proses self-righting (Baran & Davis, 2012: 103).

Libertarianisme sendiri mengusung konsep kebebasan yang berbeda dengan liberalisme. Perbedaan ini terletak bagaimanan konsep liberalisme yang mungkin sekarang dipakai oleh Amerika menjadikan arti dari kebebasan itu sendiri menjadi semu, banyak intervensi pemerintah masuk kedalam hak-hak individu masyarakat sehingga akan kembali di pertanyakan bagaimana arti kebebasan itu sendiri, seperti contoh bagaimana pemerintah mengintervensi keuangan individu masyarakat agar membayar pajak yang tinggi demi jaminan sosial yang merata, konsep liberalisme semu ini mengarah kedalam konsep sosialisme, berbeda dengan libertarian yang bagaimana usaha-usaha individu diberikan kebebasan berkembang dengan sendirinya tanpa intervensi pemerintah dalam membuat lingkungan sosial.

Di dalam buku On Liberty, John Stuart Mill mengajukan satu prinsip sederhana mengenai kebebasan individu dan batasan yang menyertainya. Prinsip tersebut dikenal sebagai the harm principle. Pada dasarnya, harm principle menyatakan bahwa setiap individu boleh melakukan apapun yang ia mau selama tidak menimbulkan harm (kerugian material) kepada orang lain (John Stuart Mill, 1865: 6). Kebebasan individu ini, juga tetap memiliki batasannya sendiri, agar menciptakan keharmonisasian sosial dan tidak menganggu ranah hak orang lain.

John Locke mendefinisikannya secara apik melalui norma hukum, yang menyatakan individu yang bebas tidaklah tunduk pada kehendak orang lain. Individu yang bebas adalah mereka yang bisa melakukan apa saja selama yang itu terhadap diri dan propertinya sendiri. Dan kita hanya bisa memiliki kebebasan-kebebasan ini hanya jika ada hukum yang mampu melindunginya. (John Locke, 1689:57) Hak dasar yang dimiliki oleh tiap individu dalam sebuah negara tercantum pada konstitusi hukumnya, salah satunya kebebasan untuk berpendapat.

Di Indonesia sendiri, kebebasan untuk berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang bunyinya sebagai berikut : "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" selain itu pada pasal 28F Undang Undang Dasar 1945, berbunyi : "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Selanjutnya juga diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi : "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara."

Dalam dasar hukum Indonesia sendiri, sudah menjamin kebebasan berpendapat, tetapi hal ini menjadi tulisan belaka dalam Undang-Undang jika kita mengkaitkannya dengan kondisi saat ini. Kebebasan berpendapaat kembali dipertanyakan, seolah-olah demokrasi yang dibentuk saat ini menjadi tersumbat oleh pemerintah itu sendiri. Hal ini dilihat dari kilas balik 1 tahun kebelakang atau tepatnya tahun 2020. Pemerintahan sekarang, membatasi kritik dan saran terhadap pemerintah, melarang demonstrasi, dan hadirnya UU ITE yang seakan-akan terlihat berat sebelah, penangkapan secara besar ialah orang-orang yang kontra terhadap pemerintah. Hal ini menguatkan kecurigaan terhadap pembungkaman kebebasan berpendapat.

Menurut pemantauan Amnesty International Indonesia, sepanjang tahun 2020, kasus pencemaran nama baik terhadap pemerintah dan menyebarkan berita bohong meningkat dengan jauh. Amnesty menilai penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaski Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sewenang-wenang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Berdasarkan catatan Amnesty, sepanjang 2020 tercatat setidaknya 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan bereksresi yang dihukum dengan menggunakan UU ITE, yang menjadi kasus terbanyak selama 6 tahun terakhir.

Langkah publik dalam menyampaikan aspirasi melalui aksi demonstrasi pun dibatasi. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana polisi mengubah kebijakan pemberitahuan menjadi izin bagi pihak yang akan menggelar aksi demonstrasi. Dari sekedar pemberitahuan menjadi sebuah izin yang mampu polisi tolak perizinannya menjadi salah satu faktor penghambat demokrasi dan tidak sejalan dengan konsep libertarian dimana setiap individu berhak mengatur hidupnya sendiri salah satunya kebebasan berpendapat, hal ini pun tidak dengan cara merampas hak orang lain sehingg masih dalam batasan yang dimaksud libertarian. Selain itu polisi juga mengancam menggunakan SKCK dengan tujuan untuk orang tua melarang anaknya turun berdemonstrasi. Polisi juga menjegat dan melakukan penangkapan terhadap peserta aksi di berbagai tempat sebelum sampai di lokasi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja.

Dengan bukti-bukti diatas bisa dilihat, demi menjaga kestabilan pemerintah, pemerintah menggunakan kekuasannya untuk membungkam pendapat-pendapat masyarakat yang kontra dengan pemerintah, secara tidak langsung mengingatkan kita tentang bagaimana pemerintahan orde baru berjalan maju dengan menutup pendapat masyarakat yang kontra. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan ideologi demokrasi dan Undang-Undang yang sudah dijamin oleh negara Indonesia sendiri, dan bagaimana libertarian ini sangat menentang hal ini karena sejatinya setiap individu memiliki hak nya masing-masing, hak-hak yang tidak terbatas yang pemerintah harus mampu mewadahi hak tersebut, maka dari itu dengan ada nya demonstrasi dan penyampaian pendapat serta aspirasi, pemerintah jadi mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan bagaimana masyarakat idnvidu tersebut bertindak, kembali lagi kepada kebebasan individu tersebut tanpa harus menghancurkan atau merusak hak orang lain, yang mana selama ini dengan mengkritik pemerintah, melakukan demonstrasi damai, sama sekali tidak melanggar hak orang lain, tetapi aparat beserta pemerintah masih bersikap arogan terhadap pihak oposisi ataupun kontra dengan pemerintah dan membungkam setiap individu yang mencoba menghalangi kebijakan pemerintah. Pada akhirnya, Demokrasi menjadi semu dan lemah dalam kondisi Indonesia saat ini.

Referensi :

David Boaz. 2015. The Libertarian Mind. New York: Simon & Schuster

Baran, Stanley J. dan Dennis K. Davis. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan, Edisi Kelima. Jakarta: Salemba Humanika

John Stuart Mill. 1865. On Liberty. Longman: Green & Co.

John Locke. 1689. Two Treatise of Government. London: Awnsham Churchill

Indonesia Amnesty International. 2020. Tahun 2020 adalah Tahun Pelemahan Perlindungan Hak Asasi Manusia. https://www.amnesty.id/tahun-2020-adalah-tahun-pelemahan-perlindungan-hak-asasi-manusia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun