Mari kita sejenak menelaah dinamika kampus, yang sering disebut sebagai miniatur negara. Kampus atau universitas dikenal sebagai tempat menimba pendidikan tinggi, tidak hanya untuk memperdalam pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang belajar tentang sistem pemerintahan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kampus kerap menjadi ajang perbaikan kehidupan, meskipun penuh dengan dinamika dan tantangan.
Namun, ada ironi yang sulit diabaikan. Di balik idealisme kampus sebagai miniatur negara, terdapat praktik penarikan upeti yang seolah menjadi "tradisi wajib" bagi mahasiswa. Dalihnya, penarikan ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan fasilitas dan akomodasi kampus. Namun, kenyataannya, dana tersebut sering kali tidak terlihat manfaatnya bagi mahasiswa, bahkan disinyalir menjadi celah bagi praktik korupsi di level birokrasi kampus.
Ketidak jelasan alokasi dana ini menjadi momok bagi mahasiswa. Fasilitas kampus yang seharusnya menjadi prioritas perbaikan justru terbengkalai. Gedung-gedung yang bocor, laboratorium yang tidak tersedia, perpustakaan minim koleksi yang relevan untuk mahasiswa, dan tidak adanya lapangan olahraga atau sarana untuk Unit Kegiatan Kemahasiswaan dan Mahasiswa (UKK-UKM) hanyalah sebagian kecil dari permasalahan. Kampus, yang seharusnya menjadi tempat ideal untuk berkembang, justru lebih mirip seperti institusi "komersial" yang mengeksploitasi mahasiswanya.
Penarikan upeti ini juga tidak memandang kondisi ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah sering kali terpaksa mengorbankan kebutuhan lainnya demi membayar biaya yang terus naik setiap tahun. Bahkan, ancaman sanksi jika terlambat membayar semakin menunjukkan bahwa kampus lebih peduli pada pendapatan dibandingkan kepentingan mahasiswanya. Ini sangat ironis, mengingat pendidikan seharusnya menjadi hak yang dijamin, bukan sebuah beban yang menindas.
Kritik pedas harus kita arahkan kepada penguasa kampus. Transparansi dana adalah hal fundamental, namun hingga kini justru menjadi misteri besar. Alokasi dana yang diklaim untuk perbaikan infrastruktur jelas tidak terlihat hasilnya. Mahasiswa berhak bertanya: apakah dana yang kami bayar benar-benar digunakan untuk kampus atau hanya menjadi lahan basah untuk memperkaya birokrat kampus?
Praktik ini tidak hanya menunjukkan lemahnya pengelolaan kampus, tetapi juga memperlihatkan wajah asli dari penguasa kampus yang lebih mementingkan keuntungan pribadi dibandingkan kesejahteraan mahasiswanya. Mahasiswa yang kritis terhadap kondisi ini sering kali dicap sebagai pembangkang, bahkan mendapatkan ancaman secara tidak langsung. Ini semakin membuktikan bahwa kebebasan akademik di kampus, yang sering diagung-agungkan, hanyalah retorika kosong belaka.
Lebih parahnya lagi, penarikan upeti yang tidak transparan ini terus dibiarkan tanpa adanya mekanisme kontrol dari pihak eksternal. Penguasa kampus seolah menjadi otoritas absolut yang tidak bisa digugat. Padahal, mahasiswa adalah stakeholder utama yang seharusnya memiliki hak suara paling besar dalam pengelolaan kampus. Apakah kampus masih layak disebut sebagai miniatur negara, jika praktik di dalamnya lebih menyerupai rezim otoriter yang hanya memeras rakyatnya?
Kita harus menuntut perubahan! Mahasiswa bukan sekadar sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan seenaknya. Kita berhak mendapatkan fasilitas yang layak, transparansi anggaran yang jelas, dan pengelolaan kampus yang berpihak pada kepentingan mahasiswa. Jika tidak, kampus hanya akan menjadi institusi yang menjual mimpi kosong, meninggalkan generasi muda dengan beban hutang dan kekecewaan yang mendalam.
#Logika Hancur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H