"Pernahkah Anda merasa pajak lebih sebagai beban ketimbang kontribusi?" Bagi sebagian besar orang, pajak sering kali dianggap sebagai kewajiban yang berat, sesuatu yang, jika memungkinkan, ingin dihindari. Pernahkah Anda merasa bahwa pajak lebih sebagai beban ketimbang kontribusi? Bagi banyak orang, pajak sering dianggap sebagai kewajiban yang berat, sesuatu yang, jika memungkinkan, ingin dihindari. Hal ini tercermin dalam data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2023 yang menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia hanya mencapai 61,80% dari target nasional sebesar 83%. Namun, bayangkan jika membayar pajak terasa sebagai tindakan yang logis, bahkan menguntungkan, tidak lagi sekadar kewajiban yang menekan, tetapi kontribusi nyata yang manfaatnya langsung terasa bagi masyarakat. Bagaimana jika kita dapat melihat pajak sebagai bentuk investasi bersama dalam membangun masa depan kita? Dengan pendekatan yang tepat, pemerintah bisa menciptakan kepatuhan pajak yang lebih alami, bukan karena paksaan, melainkan karena masyarakat melihat pajak sebagai sesuatu yang bernilai. Mari kita telusuri beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan di Indonesia agar pajak menjadi pilihan cerdas bagi setiap warga, bukan lagi sekadar kewajiban yang ingin dihindari.
Gary Becker, seorang ahli ekonomi, dalam bukunya Crime and Punishment: An Economic Approach, menyatakan bahwa orang lebih cenderung patuh pada aturan jika manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Keputusan seseorang untuk mengikuti atau melanggar aturan sering kali didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Dalam konteks pajak, jika konsekuensi dari menghindari pajak terasa ringan, banyak orang mungkin merasa tidak masalah untuk tidak membayar. Karena itu, pemerintah dapat meningkatkan konsekuensi ketidakpatuhan, seperti denda yang lebih besar atau pembatasan pada layanan tertentu. Misalnya, kemudahan dalam mengurus perizinan atau dokumen administrasi lainnya bisa lebih mudah diperoleh oleh mereka yang sudah patuh membayar pajak. Dengan langkah ini, masyarakat akan merasa bahwa membayar pajak adalah keputusan yang lebih aman dan lebih bermanfaat daripada mengambil risiko ketidakpatuhan.
Namun, ancaman sanksi saja tidak cukup untuk membangun kepatuhan yang bertahan lama. Banyak masyarakat merasa skeptis tentang pajak karena tidak selalu jelas ke mana uang pajak yang mereka bayarkan sebenarnya digunakan. Jika orang hanya membayar pajak karena takut hukuman, kepatuhan yang terbentuk biasanya hanya sesaat dan kurang kuat. Di sinilah teori "Slippery Slope" dari Erich Kirchler memberikan pemahaman yang lebih dalam. Teori ini menjelaskan bahwa kepatuhan yang kokoh akan tercapai jika ada keseimbangan antara aturan yang tegas dan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Aturan pajak yang ketat memang membuat masyarakat merasa perlu mengikuti aturan. Namun, yang lebih penting adalah bahwa masyarakat akan lebih rela membayar pajak jika mereka merasa uang pajak mereka dikelola dengan baik untuk kepentingan bersama. Transparansi, seperti laporan tahunan penggunaan pajak yang dapat diakses publik, membangun kepercayaan publik dan menciptakan kepatuhan yang lebih alami. Di negara-negara Skandinavia, yang terkenal dengan tingginya tingkat kepatuhan pajak, transparansi dalam pengelolaan pajak menjadi hal yang sangat penting. Di Norwegia otoritas pajak secara rutin membuka data Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) setiap tahun, termasuk daftar pembayar pajak tertinggi. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Dengan akses publik terhadap informasi pajak, masyarakat dapat melihat bagaimana dana pajak dikelola, sehingga mendorong rasa tanggung jawab dan partisipasi aktif dalam mendukung layanan publik. Apabila masyarakat Indonesia juga dapat melihat dampak nyata dari pajak mereka, seperti perbaikan jalan, pembangunan rumah sakit, atau renovasi sekolah, mereka akan lebih bersedia membayar pajak, bukan hanya karena takut sanksi, tetapi karena mereka percaya bahwa kontribusi mereka memberikan manfaat yang nyata bagi banyak orang.
Selain sanksi, insentif juga bisa memotivasi masyarakat untuk membayar pajak. Pemerintah dapat memberikan penghargaan atau fasilitas khusus bagi wajib pajak yang selalu patuh, seperti potongan tarif pajak atau prioritas dalam akses ke layanan publik tertentu. Insentif semacam ini membuat wajib pajak merasa dihargai dan memberikan keuntungan langsung bagi mereka yang taat. Di samping itu, edukasi berkelanjutan juga penting agar masyarakat menyadari bahwa pajak mereka membiayai fasilitas umum yang mereka gunakan sehari-hari, seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan. Ketika masyarakat memahami manfaat nyata dari pajak, tingkat kepatuhan pun cenderung meningkat. Di Negara Inggris, sejak tahun 2014, HM Revenue and Customs (HMRC) mengirimkan "Annual Tax Summaries" di mana wajib pajak menerima pemberitahuan yang menunjukkan bagaimana pajak mereka digunakan untuk mendanai layanan publik. Dengan pendekatan ini, masyarakat memahami bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan sumber daya yang menopang kesejahteraan bersama.
Salah satu alasan banyak orang merasa enggan membayar pajak adalah prosesnya yang sering kali dianggap rumit dan memakan waktu. Jika prosedur pembayaran pajak lebih sederhana, maka kepatuhan juga cenderung meningkat. Pemerintah bisa menyediakan aplikasi atau layanan daring yang intuitif dan mudah digunakan, sehingga wajib pajak dapat mengurus pembayaran dari rumah tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Prinsip ini sejalan dengan hasil penelitian psikologi perilaku yang menunjukkan bahwa ketika sesuatu lebih mudah dilakukan, orang lebih cenderung melakukannya. Di Estonia, sebagai contoh, melalui platform "e-Tax" sekitar 98% dari semua deklarasi pajak di Estonia diajukan secara elektronik, dengan waktu rata-rata pengisian hanya sekitar 3 menit. Selain itu, proses pembayaran pajak juga sebagian besar berbasis digital dan dapat diselesaikan cepat. Indonesia juga dapat mengambil inspirasi dari pendekatan ini, dengan berkolaborasi bersama bank atau platform digital agar pemberian layanan dan pembayaran pajak dapat dilakukan dengan lebih mudah, seperti pembayaran tagihan bulanan. Dengan sistem yang lebih ramah pengguna, masyarakat akan merasa lebih nyaman dan terdorong untuk menjalankan kewajiban mereka.
Membangun kepatuhan pajak yang berkelanjutan di Indonesia bukanlah soal menghukum atau memaksa, melainkan menciptakan lingkungan yang membuat masyarakat merasa bahwa pajak adalah kontribusi positif yang mereka lakukan untuk negara. Pajak bukan sekadar potongan dari penghasilan, melainkan investasi bersama dalam membangun masa depan kita. Ketika pemerintah mampu menyeimbangkan aturan yang tegas dengan kepercayaan, transparansi, dan kemudahan proses, kepatuhan pajak akan tumbuh secara alami. Pada akhirnya, masyarakat yang patuh membayar pajak akan mendukung pembangunan negara yang lebih kuat dan sejahtera, di mana semua pihak merasakan manfaat dari kontribusi bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H