Mohon tunggu...
Muhammad Alif Alauddin
Muhammad Alif Alauddin Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Penerima Beasiswa Rumah Kepemimpinan Angkatan 9

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Batik, Hari Kritik!

2 Oktober 2018   17:14 Diperbarui: 3 Oktober 2018   10:26 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini rakyat Indonesia sedang asik merayakan Hari Batik Nasional. Seluruh elemen masyarakat berlomba-lomba mengenakan batik terbaiknya. Tak pelak, sebagian rektor kampus negeri pun mengeluarkan surat edaran tentang penggunaan pakaian batik untuk seluruh jajaran birokrat, tenaga pendidik dan mahasiswa.

Ah, apalagi sekarang memasuki era digital, anak-anak muda tak lagi malu memakai batik dan membagikannya di sosial media. Entah didorong jiwa nasionalis atau sekedar panjat sosial belaka. Namun sayang, hanya segelintir yang mengetahui asal-usul batik dan sejak kapan mulai dipakai luas oleh masyarakat.

Adalah Kerajaan Majapahit dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang pertama kali memperkenalkan batik di bumi Nusanatara. Dalam perjalanannya, batik hanya dikenakan oleh para pembesar pemerintahan seperti keraton, namun outfit batik yang dikenakan zaman itu berbeda dengan sekarang. Bagi kaum laki-laki selalu memakai kemeja polos dan kain jarik (bawahan).

Kain jarik merupakan seni nonbendawi yang kemudian hari terkenal sebagai kain batik. Hingga suatu ketika muncul golongan yang memprakasai penggunaan kain jarik sebagai kemeja bagi kaum adam tersebut.  

Timbul penolakan dari sebagian masyarakat karena dianggap melanggar adat-istiadat leluhur. Memang demikian, tapi perilaku deviasi ini dianggap sebagai terobosan baru yang mengantarkan kepada proses kebaruan. Selanjutnya penyimpangan itu menjadi kebanggaan setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, yang saat ini telah diakui dunia Internasional.

Pesan yang tersirat dari potongan sejarah ini menunjukan kesaktian semangat melawan stigma ke-kuno-an yang selama bertahun-tahun dianggap sebagai warisan leluhur. Kritikan yang diimplementasikan denga aksi kebaruan itu justru berhasil menghapus hegemoni kelawasan budaya. Kita belajar bahwa batik merupakan simbol kritik yang telah diakui. Selamat hari batik, selamat hari kritik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun