Mohon tunggu...
Muhammad Alif Ridwan
Muhammad Alif Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan (PKTJ) Tegal

Seorang pemikir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Negara Demokrasi Rasa Otoriter

10 Januari 2024   17:05 Diperbarui: 10 Januari 2024   17:35 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan rakyatnya kebebasan berpendapat. Sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berpendapat sudah menjadi sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. 

Namun, realita yang terjadi saat ini kebebasan berpendapat masih memiliki banyak kendala. Masyarakat yang mengkritik pemerintah sering kali mendapat respon buruk bahkan kecaman dari pemerintah tersebut. Padahal, masyarakat dikenakan berbagai macam pajak untuk membayar gaji pemerintah. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa rakyat membayar pemerintah untuk bekerja membuat aturan aturan yang mensejahterakan rakyat. Maka dari itu, rakyat berhak untuk mengkritik apapun itu jika kinerja dari pemerintah tersebut dinilai tidak menguntungkan rakyat. 

Namun anehnya, saat rakyat mengkritik pemerintah sering kali mendapatkan berbagai respon negatif. Contohnya saja, rakyat mengkritik keras kebijakan A yang baru disahkan dan menginginkan pengganti kebijakan yang lebih baik, namun pemerintah menjawab “kebijakan yang kami buat sudah sesuai dengan ketentuan, jika ada masalah bawa saja langsung ke komisi yudisial (KY).” Itu sama saja dengan produsen mobil yang baru saja  meluncurkan mobil baru dan mereka bilang jika mogok bawa saja ke bengkel terdekat. 

Tentu saja hal ini sangat tidak sesuai dengan prinsip demokrasi kebebasan berpendapat. Pemerintah juga sangat sering meluncurkan penyataan bahwasannya jika rakyat ingin mengkritik, maka sediakan solusinya juga. Padahal, rakyat membayar pemerintah untuk membuat peraturan dan ketentuan yang membuat rakyat lebih sejahtera dan dipermudah dalam menjalani kehidupan di negara sendiri. Namun, jika pemerintah tidak sanggup dan meminta solusi dari “ bos” nya sendiri, solusinya ialah turun dari jabatan. Tidak ada yang lain. Hal itu menandakan bahwa pemimpin yang dipilih menjadi wakil rakyat tidak memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai.

Kemudian, para wakil rakyat juga sangat sensitif terhadap kritikan yang cenderung keras dari masyarakat. Banyak dari mereka yang bahkan tega memenjarakan rakyatnya karena merasa sakit hati dan tidak terima dikritik secara langsung. Para pemimpin tersebut mematokkan suatu syarat jika ingin mengkritik, salah satunya harus dengan sopan santun, pemilihan kata yang baik, nada yang lembut, dan syarat lainnya yang tidak masuk akal. Padahal sopan santun itu adalah BAHASA TUBUH. Pikiran, kritikan, maupun saran yang disopan santunkan ialah sebuah KEMUNAFIKAN. 

Hampir seluruh wakil rakyat kita tidak paham akan hal itu. Mereka hanya ingin bekerja sejalan dengan apa yang mereka inginkan tanpa mau mendengarkan rakyat, tidak ingin jalannya diganggu oleh keinginan rakyat, dan membuat tembok penghalang tinggi yang membatasi pergerakan rakyat untuk mengkritik kebijakan yang mereka buat. Namun perlu diingat, dalam mengkritik ada beberapa halyang harus diingat. 

Kita bebas mengkritik namun bukan mengkritik personalnya, namun kritiklah kebijakan, organisasi, majelis, dan lain lain yang tidak menyenggol fisik seseorang. Contohnya, kita bebas mengkritik Presiden Jokowi sesuai dengan pasal 28E ayat (3), apapun isi dari kritik tersebut harus mengarah ke jabatan, kebijakan, dan langkah yang beliau ambil sebagai seorang presiden, bukan kearah seorang Bapak Jokowi itu sendiri. Contoh lainnya, pada suatu kesempataan ada seorang ibu-ibu berumur menghina tukang bakso, tukang bakso tidak marah karena tukang bakso paham bahwa ibu tersebut menghina profesinya, bukan personalnya.

Maka dari itu, generasi muda harus menjadi generasi yang bawa perubahan, bukan bawa perasaan. Jika rakyat takut mengkritik pemerintah karena tau akan adanya sanksi yang akan diterima, dapat disimpulkan demokrasi gagal total, pemerintahannya keji, bahkan dapat dikatakan negara ini bukan lagi menjadi negara demokrasi, melainkan negara diktator.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun