Nama: Muhammad Alfi Ni'am
Fakultas: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Prodi: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mata kuliah: Pancasila
Dosen pengampu: Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.
Pekerjaan menjadi momok tersendiri bagi orang orang yang telah memilih untuk menyelesaikan pendidikannya, entah itu mulai jenjang SD maupun sampai jenjang S3. Tapi tidak menutup kemungkinan, semakin tinggi seseorang dalam menempuh jenjang pendidikan, semakin mudah pula dalam mencari sebuah pekerjaan.Â
Disisi lain kenal terhadap seseorang di sebuah instansi kerja juga berpengaruh terhadap mudah tidaknya dalam memasuki sebuah isntansi tersebut. Kenalan tersebutlah yang biasa di sebut orang dalam. Memang tidak ada salahnya jika mempunyai teman di sebuah instansi teretentu, tapi jika dia membuat diri kita dengan mudahnya untuk masuk ke instansi teresebut, itu sudah bukan hal yang wajar lagi.Â
Dalam artian sudah ada perjanjian bahwa dia pasti akan meloloskan kita tanpa harus serius dalam mengerjakan tes-tes yang akan di ujikan. Tentu ini akan sangat merugikan bagi pelamar kerja yang lain. Mereka berjuang dengan keras agar bisa lolos di instansi tersebut, sedangkan mereka yang ada orang dalam hanya duduk-duduk manis saja.
Fenomena orang dalam bukan lagi menjadi rahasia perorangan saja, teatapi sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Kedoknya pun berbeda- beda, ada yang pakai uang pelicin (suap materi) dan ada juga yang memang punya kerabat atau bahkan keluarga di sana (suap non materi /nepotisme).Â
Suap dan orang dalam ini merupakan dua kasus yang hampir sama yaitu jalur tikus untuk mempermudah seseorang memasuki sebuah instansi maupun mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Suap dan orang dalam sudah seperti menjadi budaya di kehidupan masyarakat Indonesia. Rasanya kurang lengkap jika hanya mengandalkan kemampuan diri saja. kedua hal tersebut bisa terjadi dimana saja. Bukan hanya di lingkup pekerjaan saja, melainkan dalam dunia pemerintahan bahkan sekolah maupun perguruan tinggi.
Memang tidak ada kasus di media-media cetak maupun elektronik yang membicarakan tentang orang dalam. Tetapi pastinya kita pernah mendengar satu atau dua kali atau bahkan berkali-kali tentang orang dalam.Â
Seperti halnya ketika akan memasuki instansi pekerjaan, kita tau orang tersebut kurang dalam pengalaman, kurang dalam akademik, bahkan santai dalam mengikuti tes masuk kerja tetapi orang tersebut bisa masuk dengan mudahnya di instansi tersebut. Atau ada lagi ada seorang yang mendaftar beasiswa kurang mampu.Â
Padahal jika di lihat dari pekerjaan serta kehidupannya itu cukup-cukup saja. Atau bahkan mereka dengan pdnya terkadang bercerita sendiri bahwa mereka masuk mendapatkan beasiswa itu di bantu oleh salah satu anggota keluarganya atau kenalan dekat keluarganya.
Ada juga contoh kasus lagi yaitu tentang hakim agung sudrajat yang menerima suap terkait pengurusan sebuah perkara. Penetapan hakim agung sudrajat sebagai tersangka terjadi pada tanggal 23 september 2022. Ada 10 tersangka dalam kasus ini.Â
6 tersangka dari mahkamah agung sendiri yaitu Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Panitera Pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu, 2 pegawai negeri sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta 2 PNS MA Albasri dan Redi. Sedangkan dari pihak suasta ada 4 tersangka yaitu Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID). Pada kasus ini ada uang sekitar 205.000 dolar singapura dan uang 50 juta yang berhasil di amankan oleh pihak KPK. Hakim Agung sudrajat sendiri menerima uang sebanyak 800 juta.
Dari kasus tersebut mereka terancam beberapa undang-undang. Sudrajad Dimyati, Desi, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangka dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.Â
Sementara Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan melanggar Pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Kasus-kasus tersebut sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila. Pancasila pertama secara tidak langsung mengatakan bahwa kita harus menjalankan perintahnya dan meniggalkan larangannya. Suap sendiri merupakan uang yang di hasilkan dari sesuatu yang batil. Allah Swt telah mengatur hal tersebut dalam surat al-baqoroh 2:188 yang berbunyii:
Terjemahan
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa pelarangan menerima atau bahkan menggunakan harta hasil dari suatu perkerjaan yang batil atau yang tidak di benarkan. Sepertihalnya mencuri, merampas, menipu, dan suap.
 Pancasila kedua dan kelima juga mengatakan bahwa konsep keadilan itu ada bagi seluruh manusia khususnya rakyat Indonesia. Dengan adanya kasus orang dalam dan suap ini menyebabkan Pancasila seperti tersingkirkan. Mereka yang telah berjuang dengan kerasnya harus mundur karena hal tersebut. Suatu hal yang menyakitkan di hati kerna harus kalah dengan orang yang tidak melakukan apa-apa. Dengan uang memang kita bisa memiliki segalanya, tetapi segalanya tidak harus kita beli dengan uang.
 Sayangnya konsep KKN (Kolusi, korupsi dan nepotisme) juga seperti membudaya di kalangan bangsa indonesia. Melihat uang sepertihalnya melihat tuhan, tanpa uang kehidupan tidak tentram. Mungkin seperti itulah pemikiran-pemikiran orang besar yang haus akan jabatan. Sudah selayaknya kita bangsa indonesia mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hanya dengan patuh dengan lima sila saja insyaallah kehidupan kita akan merasa aman dan nyaman.
 Melihat kasus-kasus yang terjadi di indonesia kususnya suap dan penggunaan orang dalam, sepertinya mentri pendidikan sekarang sudah benar dalam mengambil langkah yaitu dengan menerapkan pendidikan karakter dalam kurikulumnya. pendidikan karakter sejak dini memanglah penting untuk di terapkan, agar generasi penerus bangsa sejak dini tau akan karakter bangsa indonesia yang hidupnya itu berketuhanan, mencintai keadilan, berperikemanusiaan, bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan cinta akan persatuan. Bukan karakter yang haus akan kekuasaan sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Sepertihalnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah jelas-jelas di larang oleh agama maupun peraturan pemerintah karena imbasnya dapat merugikan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H