Indonesia terkenal sebagai negara dengan kepemilikan kendaraan bermotor yang cukup besar, terutama sepeda motor. Bagaimana tidak, harganya yang relatif murah dan terjangkau bagi sebagian besar kalangan, membuat sepeda motor banyak dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Budaya menggunakan sepeda motor sudah mengakar kuat dalam mobilitas masyarakat Indonesia. Entah itu pergi ke tempat kerja, sekolah, kampus, pasar, atau sekedar jalan-jalan. Bahkan saat fenomena tahunan seperti mudik, banyak pencari nafkah di kota besar pulang ke kampung halamannya dengan menaiki sepeda motor. Alasannya karena sepeda motor lebih fleksibel saat di jalan raya. Dengan sepeda motor, mereka bisa dengan mudah mendahului kendaraan besar seperti mobil, bus, truk, kontainer, dan yang lain-lain. Saat terjebak macet pun, sepeda motor dapat meliuk melewati sela-sela sempit antara kendaraan dan keluar dari kemacetan lebih cepat dari kendaraan yang lebih besar.
  Alasan lain mengapa sepeda motor populer di Indonesia adalah harganya yang relatif terjangkau dengan rentang harga yang bervariasi tergantung model dan spesifikasi sepeda motor. Dengan penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia yang cenderung menengah ke bawah ditambah dengan tuntutan mobilitas yang tinggi, membuat daya beli masyarakat terhadap sepeda motor juga tinggi. Merek sepeda motor yang populer di Indonesia kebanyakan adalah merek-merek Jepang. Sangat ironis memang. Disaat negara Jepang terus-terusan menjual produknya di Indonesia, jumlah pengguna sepeda motor di negara asalnya malah sedikit. Sedangkan di Indonesia, tiap rumah setidaknya memiliki satu atau lebih sepeda motor. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi di kedua negara. Di Jepang, jarang ada orang yang memiliki kendaraan bermotor disebabkan pajak yang tinggi dan lahan yang terbatas mengingat sebagian besar wilayah Jepang adalah pegunungan. Untuk mengatasi rintangan geografi tersebut, pemerintah Jepang sangat gigih dalam membangun sistem transportasi yang dapat mendukung mobilitas warganya semaksimal mungkin. Hasilnya, kita bisa menemui komuter melintasi desa-desa kecil terpencil di Jepang. Selain itu, kebanyakan kota-kota di Jepang ramah bagi pejalan kaki. Budaya jalan kaki adalah budaya yang mengakar kuat pada masyarakat Jepang sampai-sampai Jepang masuk ke dalam salah satu negara dengan pejalan kaki tercepat.
  Berbeda dengan Jepang, kondisi geografis Indonesia cenderung lebih baik. Tidak begitu bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Dataran datarnya juga jauh lebih luas dibandingkan Jepang. Akan tetapi, entah bagaimana kondisi geografis yang lebih baik tersebut tidak menjadikan kualitas baik dari segi sumber daya manusia atau dari segi infrastruktur lebih baik dari Jepang. Orang Indonesia cenderung malas untuk berjalan kaki. Saat ingin pergi ke warung yang jaraknya lumayan dekat, bukannya berjalan kaki mereka malah menggunakan sepeda motor. Kota-kota di Indonesia pun tidak ramah bagi pejalan kaki. Jarak antara satu infrastruktur dengan infrastruktur yang lain cenderung jauh. Contohnya saat ingin pergi kuliah dengan menaiki kereta komuter dan turun di Stasiun Palur, seorang mahasiswa masih harus menaiki bus untuk bisa sampai ke kampus. Betapa tidak efisiennya sistem transportasi di salah satu daerah di Indonesia ini. Padahal pemerintah bisa saja membangun satu stasiun yang dekat dengan universitas sehingga mahasiswa yang menaiki kereta komuter tidak harus menaiki kendaraan umum lagi.
  Di salah satu daerah di belakang kampus atau yang orang biasa sebut daerah gerbang belakang, yang mana merupakan area populer bagi mahasiswa perantauan sebagai area kos, banyak mahasiswa yang menetap di sana dan membawa sepeda motor. Hal itu membuat jalan raya di area gerbang belakang tersebut nyaris selalu ramai dan tidak bisa diseberangi. Penulis sendiri merasa takut bila harus menyeberang ke sisi yang lain karena arus kendaraan yang seperti tidak ada hentinya. Selain itu, jumlah sepeda motor yang begitu banyak membuat suasana siang hari terasa lebih panas dan semrawut.
  Fenomena yang seperti ini disebabkan oleh perbedaan pola pikir antara Indonesia dan Jepang. Seperti halnya pepatah yang mengatakan bahwa masa sulit menghasilkan generasi yang kuat, generasi yang kuat menghasilkan masa yang mudah, masa yang mudah menghasilkan generasi yang lemah, dan generasi yang lemah menghasilkan masa yang sulit. Pepatah tersebut dapat kita aplikasikan pada kondisi geografis Indonesia dan Jepang. Indonesia yang sejak dulu hidup di daerah yang serba melimpah menghasilkan pola pikir yang menginginkan segala sesuatu secara instan tanpa mengindahkan akibat yang terjadi. Akibatnya, banyak masalah yang terjadi terutama di kota-kota besar seperti Kota Jakarta yang mengalami penurunan muka tanah yang signifikan, kondisi semrawut dan kumuh yang ada di sebagian kota-kota besar, kualitas udara yang buruk, dan masih banyak lagi. Berbeda dengan Jepang yang biasa hidup di lingkungan yang keras, setiap langkah dan kebijakan yang mereka buat benar-benar harus dipertimbangkan demi kebaikan masa kini dan masa hadapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H