Argumennya, para pakar fiqh dalam kitab klasik menggunakan redaksi "jika melakukan puasa qadha, nazar, atau puasa sunnah seperti puasa senin pada bulan Syawal menurut pendapat kuat bisa memenuhi kesunahan puasa Syawal tetapi keutamaan pahalanya tidak."
Redaksi seperti ini menurut penulis memiliki konsekuensi pemahaman bahwa jika niatnya puasa Syawal maka keutamaannya pun dapat dihasilkan.Â
Selain itu, pendapat penulis pun akan memudahkan orang-orang yang memiliki udzur seperti perempuan ketika puasa Ramadan.
Selanjutnya, terkait waktu pelaksanaan puasa Syawal penulis membaginya menjadi tiga.
Pertama, dilakukan satu hari setelah 'idul fitri dan berturut-turut selama 6 hari.
Kedua, dilakukan pada tengah atau akhir bulan dan juga berturut-turut.
Ketiga, dilakukan secara terpisah selama masih di bulan Syawal.
Kesunahan puasa Syawal merupakan pendapat madzhab Syafi'I---semoga Allah swt meridhainya. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah---semoga Allah swt meridhai keduanya, berpendapat bahwa puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya makruh secara mutlak baik dilakukan berturut-turut ataupun terpisah.
Dalam kitabnya Muwatha', Imam Malik beralasan karena tidak ada ahli ilmu yang dikenalnya mengamalkan puasa Syawal dan agar tidak dipahami oleh masyarakat awam sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. (Nawawi, 1972)
Ada juga Imam Abu Yusuf---semoga Allah meridhainya, yang menyatakan hukum makruh ketika dilakukan berturut-turut, tetapi jika tidak berturut-turut maka tidak makruh. (Al-Manawi, 1937)
Pendapat yang paling kuat ialah disunahkannya puasa Syawal karena sumbernya berdasarkan hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah. Kendati demikian, perbedaan haruslah selalu disikapi dengan bijak.