Ayat ini memerintahkan kita sebagai umat Islam agar bersyukur dan tidak mengkufuri nikmat yang diberikan Allah swt.
Namun, bagaimana cara kita bersyukur?
Ada banyak perspektif syukur yang berseliweran dalam kitab-kitab klasik, diantaranya ialah:
- Syukur merupakan pengakuan nikmat yang diberikan oleh Allah dengan cara merendahkan diri; (Al-Qusyairi, 1867: 311)
- Memuji Dzat yang telah berbuat baik (memberi nikmat) dengan menyebutkan kebaikannya(Al-Qusyairi, 1867: 312).
Imam Ghazali menilai dua pandangan ini tidak komprehensif. Adapun pandangan pertama hanya meninjau syukur melalui lisan dan sedikit keadaan hati. Sementara pandangan kedua murni meninjau syukur melalui lisan.Â
Kedua pandangan ini meskipun bisa dikatakan benar, tetapi berpotensi mereduksi esensi syukur itu sendiri.
Syukur menurut Imam Ghazali harus memenuhi 3 rukun, ilmu, hal, dan amal (Al-Qasimi, 1995: 285)
Ilmu ialah seorang hamba harus mengetahui bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah swt, bukan hal diluar-Nya termasuk segala media yang mengantarkan nikmat tersebut pada seorang hamba.
Hal adalah rasa senang yang ditujukan kepada Allah, bukan atas dasar nikmat dan pemberian.
Analogi sederhananya adalah ketika seorang pekerja diberi mobil oleh majikan, maka ada kemungkinan ia senang sebab ia mendapatkan mobil yang tentunya bernilai.Â
Seandainya ia mendapatkan mobil dengan cara lain, rasa senang yang timbul pun akan sama seperti ketika diberi majikan. Rasa senang tersebut tidak dapat dikategorikan syukur karena fokusnya adalah apa yang ia dapat, bukan siapa yang memberi.