Keypoints:
Konsep Syukur Nabi Musa as
Riwayat Dari Abdullah bin Wahab dari Hisyam bin Sa'ad dari Zaid bin Aslam bahwasannya Nabi Musa as pernah bertanya pada Tuhannya (Allah), Wahai Tuhanku, bagaimanakah caraku bersyukur pada-Mu? Tuhannya menjawab, Dengan mengingat-Ku dan tidak melupakan-Ku. Jika engkau ingat pada-Ku sejatinya engkau telah bersyukur dan jika engkau melupakan-Ku, maka engkau telah mengkufuri nikmat-Ku (Ibn Katsir, 2012)
Mengetahui betapa romantisnya cara bersyukur yang disyariatkan kepada Nabi Musa as, benar-benar mengoyak dimensi batiniahku hingga membuat diri bertanya kembali selama ini bagaimanakah caraku bersyukur kepada-Nya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konsep diartikan sebagai (1) Rancangan; (2) Ide atau Pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) dan gambatan mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.
Maka, berdasarkan riwayat yang dicantumkan Ibn Katsir di atas dalam kitabnya Tafsir Ibn Katsir bisa dikatakan bahwa konsep syukur Nabi Musa as adalah Mengingat Tuhan yang telah mencurahkan kenikmatan dan tidak melupakan-Nya.
Namun, apakah kita bisa mengamalkan konsep syukur Nabi Musa as---menimbang ada beberapa syariat Nabi Muhammad saw yang tidak sama dengan syariat-syariat sebelumnya, atau malah syukur dalam syariat kita justru senafas dengan konsep syukur Nabi Musa as?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep syukur yang dikemukakan Imam Ghazali rahmatullah alaih.
Syukur dalam Perspektif Imam Ghazali
Allah swt berfirman dalam Al-Qur'an, "Ingatlah Aku maka Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian mengkufuri nikmat-Ku." (Q.S. Al-Baqarah: 152)