Perkara hukum yang menimpa Sitok Srengenge mengemuka lagi. Akhir November 2013 Sitok dilaporkan perempuan berinisial RW dan pengacaranya ke POLDA Metro Jaya dengan tuduhan perkosaan. Namun karena pelapor tak menyertakan bukti, tanpa visum dan saksi maka polisi menerapkan pasal 335 KUHP (Perbuatan tidak menyenangkan) dengan status Sitok sebagai Saksi.
Penyelidikan kasus itu berlangsung hampir setahun. Pasal yang dikenakan kepada Sitok tetap 335 KUHP dan status Sitok sebagai Saksi. Dua pembesar POLDA Metro Jaya, Direskrimum Kombespol Heru Pranoto dan Kabid Humas Kombespol Rikwanto mengumumkan bahwa kasus Sitok akan dihentikan dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) alasannya: Tidak ditemukan alat bukti,unsur-unsur pidananya tidak terpenuhi, dan pendapat para saksi ahli tidak mendukung, sehingga tuduhan sangat lemah.
Ternyata pernyataan dua pejabat kepolisian itu tidak dilaksanakan. Status hukum Sitok justru dinaikan jadi tersangkan dengan dua pasal tambahan, yaitu pasal 286 dan 294 ayat 2 KUHP. Saat ini berkas perkara Sitok sudah dilimpahkan ke kejaksaan.
Saya teringat tulisan Ade Armando di akun kompasiana miliknya pada 03 desember 2013 “Tanpa bukti-bukti yang dibutuhkan, tak aka nada perkara hukum yang bias dikenakan…jadi realistis aja, Sitok mungkin tidak akan bias dituntut oleh si mahasiswi.”
Menurut Ade Armando, Sitok hanya bisa dimintai tanggung jawabnya terkait dengan kewajibannya untuk bertanggung jawab atas anak yang dilahirkan RW. Menurut Faris Haidar S.H pasal-pasal yang dikenakan pada Sitok sangat dipaksakan dan tidak sesuai dengan hukum positif kita. Karena itu kasus hukum sitok srengenge harus dihentikan demi hukum. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah praktek pengadilan sesat yang mencederai hukum positif kita dan mengkhianati keadilan.
Saya sepakat dengan Ade Armando dalam cara memandang persoalan ini, bahwa persoalan kehamilan RW adalah persoalan tanggung jawab Sitok kalaupun “persetubuhan” itu terjadi. Bukan lagi persoalan hukum yang dibesar-besarkan dan terkesan dipaksakan hanya untuk memenjarakan Sitok Srengenge. Ingat adagyum hukum: lebih baik membebaskan 100 (serratus) orang bersalah dari pada menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah.
Akid Aunulhaq
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H