Mohon tunggu...
Muhammad Aji Lampang
Muhammad Aji Lampang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Introvert, bodoh, dan tidak berbakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kondisi Perekonomian Indonesia Pasca Pandemi Covid-19

20 Mei 2023   16:17 Diperbarui: 20 Mei 2023   16:16 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dilihat secara global, masa dimana Covid-19 melanda membuat aktivitas perekonomian diseluruh dunia terganggu. Pandemi Covid-19 telah menyebar dengan cepat di seluruh dunia sejak awal tahun 2020. Tak luput juga bahwa perekonomian di Indonesia pun juga ikut terganggu. Untuk menghentikan penyebaran virus, pemerintah Indonesia menerapkan langkah-langkah pengendalian yang meliputi lockdown, pembatasan perjalanan, penutupan bisnis non-esensial, dan pembatasan sosial.

 Langkah-langkah ini berdampak langsung pada aktivitas ekonomi dengan menurunkan produksi, konsumsi, dan investasi. Namun, puncaknya adalah Indonesia berhasil keluar dari kondisi tersebut. Setelah pandemi Covid-19, kondisi perekonomian negara Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun dampak pandemi masih terasa, ada beberapa tanda pemulihan ekonomi yang muncul. 

Bersumber pada Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami kenaikan pada hampir seluruh wilayahnya pada tahun 2021, kecuali di Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang mengalami kontraksi pertumbuhan 0,09 persen. Namun walaupun begitu, Pulau Jawa dengan kontribusi sebesar 57,55 persen mencatat pertumbuhan sebesar 3,03 persen. Jika dilihat berdasarkan pada Produk Domestik Bruto (PDB) negara mencapai Rp4.325,4 triliun. Ditahun 2022 perekonomian Indonesia naik sebesar 5,44 persen. Dalam hal produksi, sektor Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan ekonomi terbesar sebesar 21,27 persen. Dilihat dari sisi produksi negara, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang berada pada angka 13,15 persen. Dan pada tahun sekarang yaitu 2023 perekonomian Indonesia tanggal 5 mei mengalami kenaikan lagi sebesar 5,03 persen yang dimana dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 15,93 persen walaupun demikian kondisi tersebut berada ditengah ancaman resesi 2023, Indonesia diprediksi akan mengalami kenaikan pada perekonomiannya. Dalam pidato pengungkapan rincian APBN 2023 dan nota keuangan, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa tujuan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 telah ditetapkan sebesar 5,3%. Keputusan tersebut telah memperhitungkan perubahan ekonomi nasional yang sedang berlangsung, prioritas pembangunan, serta kemungkinan risiko dan hambatan yang akan dihadapi. Namun walaupun begitu, dalam sebuah Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua kementerian, lembaga, serta kepala daerah agar waspada terhadap situasi tahun ini. Meskipun perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan positif, Jokowi menekankan pentingnya tetap berhati-hati. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Kristina Georgieva, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF), yang memprediksi bahwa sepertiga ekonomi dunia menghadapi potensi resesi.

Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa meskipun negara-negara tertentu tidak mengalami resesi secara langsung, dampaknya dapat dirasakan oleh ratusan juta penduduk. Hal ini menunjukkan pentingnya kewaspadaan dalam menghadapi situasi global yang tidak stabil. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2023 menunjukkan tren yang positif, dengan prediksi kisaran antara 4,5 hingga 5,3 persen. Dalam konteks ini, diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap kuat dan berpotensi meningkat. Faktor utama yang mendorong pertumbuhan tersebut adalah peningkatan ekspor dan perbaikan permintaan domestik, terutama dalam hal konsumsi swasta.

Dalam hal ekspor, kinerjanya diyakini akan melebihi perkiraan awal, terutama karena adanya pengaruh positif dari pemulihan ekonomi China. Sementara itu, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya keyakinan pelaku ekonomi dan kembalinya mobilitas masyarakat setelah dicabutnya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

Berdasarkan data, pada bulan Februari 2021, nilai ekspor Indonesia mencapai US$15,27 miliar, mengalami penurunan sebesar 0,19 persen dibandingkan bulan Januari 2021. Namun, jika dibandingkan dengan Februari 2020, terjadi kenaikan sebesar 8,56 persen. Sektor ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari-Februari 2021 mengalami peningkatan sebesar 10,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Demikian pula, ekspor hasil pertanian meningkat sebesar 8,81 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 12,19 persen. Pada bulan Februari 2021, Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor nonmigas terbesar Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$2,95 miliar. Diikuti oleh Amerika Serikat dengan ekspor senilai US$1,86 miliar dan Jepang dengan ekspor senilai US$1,20 miliar. Ketiga negara tersebut secara kolektif memberikan kontribusi sebesar 41,77 persen terhadap total nilai ekspor nonmigas Indonesia. Sementara itu, ASEAN juga menjadi pasar yang signifikan dengan ekspor sebesar US$2,99 miliar, sedangkan Uni Eropa menerima ekspor senilai US$1,13 miliar dari Indonesia pada bulan yang sama. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada bulan Februari 2021 mencapai US$13,26 miliar, mengalami penurunan sebesar 0,49 persen dibandingkan Januari 2021 atau kenaikan sebesar 14,86 persen dibandingkan Februari 2020. Produk farmasi mengalami penurunan impor terbesar pada bulan tersebut, dengan jumlah sebesar US$96,9 juta atau 38,03 persen. Sementara itu, terjadi peningkatan terbesar dalam impor mesin dan perlengkapan elektrik sebesar US$172,8 juta atau 10,03 persen. Pada bulan Februari 2021, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$1,00 miliar, yang berasal dari sektor nonmigas sebesar US$2,44 miliar, sementara di sektor migas terjadi defisit sebesar US$0,44 miliar. Pada bulan Februari 2022, ekspor Indonesia mencapai nilai sebesar US$20,46 miliar, mengalami peningkatan sebesar 6,73 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Januari 2022. Selain itu, terjadi peningkatan signifikan sebesar 34,14 persen dibandingkan dengan bulan Februari 2021. Pertumbuhan terbesar terjadi pada ekspor nonmigas, khususnya pada komoditas bahan bakar mineral dengan nilai ekspor sebesar US$1.756,4 juta atau meningkat 141,45 persen. Namun, terdapat penurunan yang signifikan dalam ekspor besi dan baja, dengan nilai penurunan sebesar US$372,9 juta atau 16,67 persen.

Sementara itu, impor Indonesia pada bulan Februari 2022 mencapai US$16,64 miliar, mengalami penurunan sebesar 8,64 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Januari 2022. Namun, jika dibandingkan dengan bulan Februari 2021, terjadi peningkatan sebesar 25,43 persen. Ketika dilihat dari golongan penggunaan barang, terjadi peningkatan nilai impor pada periode Januari--Februari 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya pada barang konsumsi sebesar US$109,0 juta atau 4,08 persen, bahan baku/penolong sebesar US$6.866,3 juta atau 34,69 persen, dan barang modal sebesar US$1.279,4 juta atau 31,01 persen.

Pada bulan April 2023, nilai ekspor Indonesia mencapai US$19,29 miliar, mengalami penurunan sebesar 17,62 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Maret 2023. Selain itu, terjadi penurunan signifikan sebesar 29,40 persen jika dibandingkan dengan bulan April 2022. Ekspor nonmigas pada bulan April 2023 mencapai US$18,03 miliar, mengalami penurunan sebesar 18,33 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2023. 

Jika dibandingkan dengan bulan April 2022, terjadi penurunan sebesar 30,35 persen. Berdasarkan provinsi asal barang, nilai ekspor terbesar Indonesia pada periode Januari--April 2023 berasal dari Jawa Barat dengan nilai sebesar US$11,45 miliar (13,26 persen), diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur menempati posisi teratas kedua dalam hal nilai ekspor pada periode Januari--April 2023, mencapai US$10,35 miliar atau sekitar 11,99 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Diikuti oleh Jawa Timur, yang juga memberikan kontribusi yang signifikan dengan nilai ekspor sebesar US$7,76 miliar atau sekitar 8,98 persen. 

Pada bulan April 2023, impor Indonesia mencatat nilai sebesar US$15,35 miliar, menunjukkan penurunan sebesar 25,45 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2023, atau mengalami penurunan 22,32 persen jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2022. Pada bulan April 2023, nilai impor migas Indonesia mencapai US$2,96 miliar, menunjukkan penurunan sebesar 1,98 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2023, atau mengalami penurunan 22,52 persen jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2022. 

Dalam kategori golongan penggunaan barang, terjadi penurunan nilai impor pada periode Januari--April 2023 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya untuk golongan bahan baku/penolong sebesar US$6.818,0 juta (11,52 persen) dan barang konsumsi sebesar US$174,5 juta (2,77 persen). Namun, terjadi peningkatan nilai impor untuk golongan barang modal sebesar US$720,9 juta (6,51 persen).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun