Mohon tunggu...
Muhammad Ahyar
Muhammad Ahyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Palangkaraya

Pelajar, seniman, traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Maraknya Kaum Penganggur dari Gen z

6 Desember 2024   10:44 Diperbarui: 6 Desember 2024   10:44 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BPS (Badan Pusat Statistik) pernah merilis data yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan, bahkan memicu kekhawatiran pemerintah. Data tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 10 juta generasi Z di Indonesia tidak bekerja dan tidak melanjutkan pendidikan. Dari total 75 juta generasi Z di Indonesia, 10 juta di antaranya berada dalam kondisi "menganggur" atau tidak produktif. Fenomena semacam ini merupakan persoalan serius. Sebab, kemajuan suatu bangsa sering kali diukur dari tingkat produktivitas kelompok usia produktifnya. Jika 10 juta dari generasi Z di Indonesia tidak produktif, hal ini dapat berdampak buruk terhadap masa depan bangsa. Oleh karena itu, fenomena ini perlu dikaji lebih dalam agar dapat ditemukan solusi yang tepat. Dalam artikel ini, saya akan membahas persoalan tersebut berdasarkan opini pribadi yang didukung oleh data-data yang telah saya kumpulkan.

Kembali pada isu utama, yakni mengapa 10 juta generasi Z di Indonesia tidak bekerja atau melanjutkan pendidikan? Setelah melakukan analisis, saya menemukan beberapa penyebab utama yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar:  

1. Disebabkan oleh Zaman

Generasi Z saat ini berada pada masa transisi setelah krisis besar yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Pandemi ini memberikan dampak besar pada perekonomian global, yang pada tahun 2020 mencatat kontraksi hingga -4,3%. Di Indonesia, sekitar 88% perusahaan mengalami dampak negatif, yang mencakup penutupan usaha, penurunan pendapatan, dan PHK massal. Contohnya, restoran tidak dapat beroperasi secara normal karena pembatasan aktivitas, dan sistem pendidikan juga terganggu karena pembelajaran tatap muka dihentikan. Krisis ini menciptakan gelombang besar pengangguran karena perusahaan-perusahaan kesulitan bertahan dan banyak yang tidak mampu membuka lowongan pekerjaan baru.  Meskipun pandemi telah berakhir, dampaknya masih terasa. Banyak perusahaan yang baru mulai bangkit, sementara sebagian lainnya tidak mampu pulih sama sekali. Hal ini menyebabkan keterbatasan lapangan kerja, yang menjadi salah satu faktor utama mengapa 10 juta generasi Z di Indonesia masih menganggur hingga saat ini. Faktor lain yang turut menyebabkan banyaknya generasi Z di Indonesia menganggur adalah fenomena disrupsi teknologi. Zaman disrupsi ditandai dengan percepatan penemuan-penemuan baru yang, ironisnya, tidak selalu dapat diadaptasi secara cepat oleh manusia.  Sebagai contoh, seseorang dapat menciptakan mobil dengan teknologi mutakhir, tetapi tak lama kemudian muncul inovasi yang lebih canggih, membuat teknologi sebelumnya menjadi usang. Hal ini mencerminkan bahwa perkembangan teknologi jauh lebih cepat daripada kemampuan manusia untuk beradaptasi.  Dalam konteks dunia kerja, disrupsi ini menyebabkan banyak jenis pekerjaan menjadi usang atau tergantikan. Keahlian-keahlian baru memang sangat dibutuhkan untuk menghadapi perubahan zaman, tetapi ketika keahlian tersebut mulai diaplikasikan, sering kali sudah muncul keahlian lain yang lebih relevan. Misalnya, profesi seperti teller bank kini mulai tergeser oleh teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelligence).  T eknologi ini memungkinkan nasabah untuk mengontrol transaksi secara mandiri melalui aplikasi atau perangkat otomatis tanpa perlu bantuan manusia. Selain lebih efisien, penggunaan teknologi ini juga dianggap mampu mengurangi risiko kesalahan manusia, seperti potensi korupsi. Akibatnya, pekerjaan-pekerjaan tradisional seperti teller bank menjadi semakin jarang dibutuhkan. Fenomena disrupsi ini menciptakan tantangan besar bagi generasi Z, karena mereka tidak hanya harus memiliki keahlian tertentu, tetapi juga harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat. Ketidakmampuan untuk mengikuti perkembangan ini menjadi salah satu alasan utama tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda. 

2. Disebabkan oleh Pemerintah

Faktor dari pemerintah juga tidak jauh berbeda dengan tantangan zaman. Salah satu persoalan utamanya adalah ketidakmampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang mampu beradaptasi dengan zaman disrupsi. Sebagai contoh, di China, sekitar 90% kendaraan telah beralih ke mobil listrik berkat kebijakan pemerintah yang secara konsisten diarahkan untuk mendukung energi ramah lingkungan. Sebaliknya, di Indonesia, pendidikan kejuruan seperti SMK jurusan teknik mesin sebagian besar masih berfokus pada kendaraan berbahan bakar bensin. Meskipun mungkin ada beberapa SMK yang mulai mempelajari teknologi mobil listrik, jumlahnya sangat kecil. Hal ini terjadi karena fokus pendidikan di Indonesia lebih pada kebutuhan saat ini, bukan pada persiapan masa depan. Karena mayoritas konsumen di Indonesia masih menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin, maka kurikulum SMK juga cenderung mengikuti pola tersebut. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita tidak menatap ke depan, tetapi terjebak pada kebutuhan jangka pendek. Akibatnya, ketika teknologi seperti mobil listrik semakin berkembang, lulusan SMK sulit bersaing karena keterampilan yang diajarkan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Masalah ini tidak hanya terjadi pada pendidikan kejuruan. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa sekitar 80% lulusan universitas di Indonesia tidak bekerja sesuai dengan program studi yang diambil. Menteri Pendidikan mungkin menilai hal ini sebagai sesuatu yang positif karena dianggap menunjukkan fleksibilitas lulusan untuk bekerja di berbagai bidang. Namun, dalam konteks ini, saya justru menilai bahwa hal tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang mampu mencetak tenaga ahli di bidang tertentu. Pendidikan di Indonesia sering kali tidak relevan dengan realitas kebutuhan dunia kerja. Hal ini menyebabkan lulusan universitas tidak memiliki keahlian spesifik yang sesuai dengan permintaan pasar. Akibatnya, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan atau harus berpindah-pindah bidang yang sama sekali tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan mereka. Selain relevansi, masalah lain dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah tingginya biaya pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Untuk menjadi mahasiswa yang benar-benar ahli di bidang tertentu, seseorang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pendidikan tinggi menjadi akses yang sulit dijangkau oleh mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa atau memiliki kemampuan finansial yang cukup besar. Memang, pemerintah telah menyediakan beasiswa, tetapi distribusi beasiswa ini sering kali bermasalah, seperti salah sasaran atau bahkan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, terdapat kasus beasiswa yang diterima oleh anak-anak pejabat, meskipun mereka sebenarnya tidak membutuhkan bantuan tersebut. Sebagai pembanding, meskipun biaya pendidikan di negara maju seperti Amerika Serikat juga tinggi, kesejahteraan mahasiswa di sana lebih terjamin. Setelah lulus, sistem di negara-negara tersebut sudah dirancang untuk mendukung lulusan, baik yang ingin menjadi akademisi maupun yang masuk ke dunia kerja. Di Indonesia, dukungan semacam ini hampir tidak tersedia, sehingga lulusan universitas sering kali kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Sebagai contoh, lulusan jurusan kimia di Indonesia menghadapi tantangan besar saat melamar pekerjaan. Peluang kerja yang tersedia sangat terbatas, sementara proses melamar pekerjaan sering kali tidak transparan dan memakan waktu lama. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di kalangan generasi muda.  

3. Disebabkan dari dirinya sendiri

Penyebab gen z banyak menganggur dikarenakan dari diri mereka sendiri suka menganggur atau rebahan dibandingkan terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia. secara umum orang Indonesia sudah kecanduan HP dengan menghabiskan waktu rata-rata lebih dari 6 jam sehari dengan smartphone-nya. Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara yang menghabiskan waktu terlama dalam menggunakan perangkat mobile per harinya.

Sekian itu saja artikel yang bisa saya tulis semoga bermanfaat terimakasih.

Sumber referensi:

1. Survei BPS Ungkap 10 Juta Gen Z Menganggur, Apa Penyebabnya?

Cicin Yulianti - detikEdu

2. The Age of Disruption: Technology and Madness in Computational Capitalism

3. GEN Z WILL BE DIFFICULT TO GET A JOB StratX Insight

4. Profesi Akuntan di Era Revolusi Industri 4.0, Akankah Menghilang?

5. Noor Annisa Falachul Firdausi, UKT PTN Indonesia Makin Mahal, Mending Kuliah ke 5 Negara Ini Aja. Biaya Kuliah Murah dan Kualitasnya Lebih Baik

Mocok.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun