Mohon tunggu...
Muhammad Ahsanul Hidayat
Muhammad Ahsanul Hidayat Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

sebaik baik amal ialah yng bermanfaat buat orang lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makan Nasional dan Islam di Indonesia

26 Oktober 2023   10:36 Diperbarui: 26 Oktober 2023   11:05 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme dalam konteks sejarah kontemporer Indonesia tampaknya dimaknai sebagai kepercayaan dan tindakan politik untuk mengubah secara radikal status Indonesia sebagai bangsa terjajah agar menjadi bangsa merdeka. Dalam kalimat lain, nasionalisme Indonesia bertujuan untuk meruntuhkan sistem kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun dan dari mana pun asalnya. 

Dalam Alinea pertama UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 menegaskan rumusan kepercayaan dan tindakan itu sebagai mana berikut: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”1 

Kemudian Islam sebagai doktrin dan tindakan pembebasan telah mendorong dan mengilhami mayoritas penduduk nusantara untuk melawan penjajahan demi mempertahankan kemerdekaan, jauh sebelum nasionalisme dikenal orang. Adapun ternyata umat Islam tidak berjaya menghalau penjajahan itu sampai dengan masa proklamasi 17 Agustus 1945 semata-mata karena persoalan sejarah yang terkait dengan kelemahan dalam penguasaan persenjataan dan teknik perang modern. Makalah ini akan mencoba melihat hubungan Islam dan nasionalisme di Indonesia, baik dalam konsep maupun dalam wilayah praksisme. 

Dibicarakan pula keberatankeberatan pihak Islam terhadap nasionalisme dalam arti ideologi dan filsafat politik. Islam dan Nasionalisme: Doktrin dan Kekuatan Pembebasan Menurut Soekarno, nasionalisme atau perasaan nasionalistis itu “menimbulkan rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaankeadaan, yang mau mengalahkan kita.”2 Dikatakan juga bahwa “Nasionalisme itu ialah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu ‘bangsa’!”3 Dalam perkembangannya, nasioalisme Indonesia tidak saja ditujukan untuk melawan kolonialisme Barat, tetapi untuk melawan semua bentuk kolonialisme, tidak peduli Barat atau Timur. 

Di sini Islam sebagai kekuatan pembebas tidak saja bergandengan dengan nasionalisme itu, tetapi sekaligus memberikan fondasi spiritual yang kokoh kepadanya. Watak ini selama Perang Dunia II tidak dipahami dengan baik oleh Jepang yang masih berpikir bahwa nasionalisme Indonesia hanyalah anti Barat, tidak anti Jepang. Kesalahapahaman ini telah menempatkan pasukan Jepang pada posisi ruwet dan rumit dalam berhubungan dengan tokoh-tokoh nasionalis yang sebagian besar menganut Islam. Islamlah selama berabad-abad yang mengobarkan semangat anti penjajahan ini, baik dalam teori maupun dalam praktik, seperti telah disinggung di atas. 

Sebelum diurai lebih jauh tentang hubungan nasionalisme dengan Islam, kita perlu terlebih dahulu mempunyai pemahaman yang memadai tentang Islam sebagai kekuatan pembebas berhadapan dengan kebijakan kolonial Belanda terhadap gerakan-gerakan Islam selama empat dekade pertama abad ke-20. 

Bahkan sebenarnya bila ditelusuri lebih mendalam tentang akar sejarah perlawanan Islam terhadap sistem penjajahan, kita dapat memulainya sejak munculnya V.O.C. (Vereenigde Oost-Indische Companie, Kompeni Hindia Timur) pada permulaan abad ke-17. V.O.C. sebagai usaha dagang yang telah mengeksploitasi sumber-sumber pribumi “melalui cara perniagaan (a mercantile way)”4 bahkan telah sejak semula mendapat permusuhan dari umat Islam di Indonesia.5 Permusuhan itu sudah bercorak laten yang sewaktu-waktu akan muncul ke permukaan. Secara doktrin, Islam dan sistem penjajahan adalah dua sisi sangat berlawanan. 

V.O.C. memulai debut perdagangannya di nusantara pada 1602 dan berakhir pada 1799. Selama hampir 200 tahun ini, aparatus kolonial Belanda tidak pernah merasa tenang bila berurusan dengan komunitas-komunitas Muslim di Indonesia. “Pada berbagai kejadian”, tulis Benda, “konsolidasi bagi perluasan kekuasaan mereka terancam oleh ledakan-ledakan perlawanan yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti iman Nabi, atau pada tingkat lokal, oleh para ulama yang fanatik….”6 Fanatisme di sini hendaklah ditafsirkan sebagai refleksi logis dari kecintaan mereka terhadap kemerdekaan serta kebencian mereka terhadap kekuasaan dan dominasi asing. Asing dalam perspektif ini tidak saja asing dalam arti agama, tetapi juga asing dalam arti bangsa. Terlihat di sini semangat agama telah menyatu dengan semangat bangsa, sekalipun pengertian bangsa pada waktu itu sama maknanya dengan suku bangsa, seperti bangsa Jawa, bangsa Aceh, bangsa Minang, bangsa Menado, bangsa Bugis. 

Perlawanan terhadap sistem kolonial dalam skala besar terjadi pada abad ke-19. Perang Padri (1821-1837), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1872-1912), dan banyak yang lain, adalah di antara bentuk perlawanan yang berskala besar itu dengan korban yang sangat besar pula pada pihak-pihak yang bertarung. Melihat tahun-tahun perlawanan di atas dapatlah dipahami mengapa misalnya sejarawan T. Ibrahim Alfian menolak mitos yang sering kita dengar bahwa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun karena tidak cukup alasan untuk menerimanya.7 

Tokoh bangsa Mohammad Natsir (1908-1993) juga menolak angka siluman 350 tahun itu sebab itu hanya berlaku bagi sebagian kecil wilayah nusantara, khususnya pada daerah-daerah tertentu di Jawa.8 Aceh sendiri seperti terlihat pada angka di atas hanyalah sempat dijajah Belanda selama 30 tahun (1912-1942), daerah tersingkat yang pernah berada di bawah sistem penjajahan. Orang Aceh pantas punya kebanggaan sejarah untuk kenangan heroik yang luar biasa itu. 

Setelah menyadari panasnya bumi panasnya bumi permusuhan Muslim terhadap kolonialisme Belanda, C. Snouck Hurgronye sering mengungkapkan: “… sebuah pemerintahan di kafir pada hakekatnya adalah ilegal di mata Islam.”9 Oleh sebab itu, bagi seorang Muslim, berjuang melawan setiap tipe kolonialisme sama artinya dengan berjuang di jalan Allah, sebagaimana alQur’an memang mewajibkan untuk itu. Strategi jangka panjang mereka adalah kekuatan Belanda harus terusir dari nusantara dan kemerdekaan penuh harus direbut kembali! Gagasan inilah yang tertanam dalam diri umat Islam, sekalipun mereka selalu gagal mewujudkannya sampai bulan Agustus 1945. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun