Mohon tunggu...
Muhammad Ahdi
Muhammad Ahdi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Jember

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Faktor-faktor Pengaruh Turunnya Nilai Tukar

15 Maret 2023   09:09 Diperbarui: 15 Maret 2023   09:15 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nilai tukar adalah perkara yang sangat penting karena menjadi sebuah tumpuan antara negara saat masalah internasional dan otoritas moneter hal yang fundamental untuk mengatur kestabilan nilai tukar. Perbedaan mata uang tiap negara bisa menjadi keuntungan atau bahkan kerugian untuk sebuah negara pada waktu menyelenggarakan aktivitas internasional, semacam pembiayaan, operasional serta kontruksi lainnya. Apabila nilai tukar di negara tertentu terus stabil, maka perekonomian negara tersebut bisa dikategorikan sedang baik. 

Sebailknya, apabila nilai tukarnya tidak berjalan stabil (depresiasi) maka resiko yang akan didapatkan adalah negara tersebut akan mengalami yang namanya infalasi. Inflasi terjadi karena pengaruh permintaan mata uang di dalam negeri juga turun dengan seiringnya terjadi kenaikan harga barang dan jasa di negara itu. Sehingga berimbas turunnya permintaan barang dan jasa yang nantinya disertai turunnya juga permintaan mata uang sebagai pembayaran internasional dan berpengaruh juga pada stabilnya ekonomi di negara itu.

(Aghion et al. 2009) mengungkapkan perubahan nilai tukar berpengaruh luas pada harga, upah, kesempatan kerja, suku bunga, serta produksi yang nanti akan menjadi konsekuensinya. Lebih-lebih variabilitas jangka pendek yang meningkat drastic diikuti dengan pergeseran nilai tukar awalnya tetap menjadi fleksibel di tahun 1970. 

Kecenderungan perubahan yang tinggi dan perubahan nilai tukar yang tiba-tiba adalah salah satu gangguan untuk berhasilnya sebuah kebijakan ekonomi makro. Meramalkan nilai tukar merupakan hal yang bisa dikatakan mustahil apalagi dalam mengatur nilai tukar supaya fleksibel. (Saeed et al. 2012) menyatakan bahwa aspek-aspek yang memiliki pengaruh pada nilai tukar bisa berkarakter politik, ekonomi, dan lain-lain juga jangka panjang pendeknya. Otoritas meneter wajib membuat kebijakan yang tepat guan mengontrol fluktuasi nilai tukar. Ada 2 golongan pemikiran fundamentalis untuk mengatasi perkara penentuan dan perkiraan nilai tukar. 

Di antaranya berpendapat bahwa permintaan dan penawaran beserta konsep aliran adalah penentu nilai keseimbangan mata uang. Aliran ini menggunakan neraca pembayaran sebagai informasi  untuk menetukan permintaan dan penawaran mata uang. Sementara itu aliran lain berpendapat bahwa perilaku nilai tukar ditentukan oleh nilai keseimbangan stok relative asset keuangan. Maksudnya nilai tukar ekuilibirum ditentukan oleh rasio asset keuangan yang dimiliki tiap negara. Fluktuasi nilai tukar bersumber dari perubahan stok asset keuangan. Sedangkan Stancik dan Cerge-Ei (2006) berpandangan bahwa ada beberapa aspek yang mempunyai pengaruh pada instabilitas nilai tukar diantaranya yaitu ketersediaan mata uang domestic juga mata uang asing, suku bunga, rezim nilai tukar, pendapatan, independesi bank sentral, inflasi, serta kondisi diluar dugaan yang sebelumnya tidak bisa diprediksi.

(Ghosh et al. 1997) berpendapat bahwa apabila sebuah negara memungut rezim nilai tukar yang sudah ditentukan, maka inflasi domestiknya diperkirakan rendah dan stabil. Dalam Giovanni and Shambaugh (2008) disebutkan jika system nilai tukar tetap diambil, maka suku bunga luar negeri akan mengalami kenaikan yang berdampak pasif pada pertumbuhan ekonomi. 

Terkait efektivitas kebijakan Mehrotra (2007) menyebutkan bahwa inflasi di Jepang dan Hong Kong dipengaruhi oleh nilai tukar, akan tetapi tingkat harga China tidak terpengaruh oleh suku bunga domestic dan nilai tukar mata uang asing. Benigno berpendapat bahwa bank sentral tidak perlu merespons pada nilai tukar nominal, akan tetapi harus lebih peduli terhadap inflasi domestic.

Beberapa negara lebih memilih untuk mempertahankan cadangan devisa untuk mengatur nilai tukar mereka supaya stabil juga mengurangi dana yang berhubungan dengan fluktuasi pembayaran internasional. Cadangan devisa yang tinggi ditanamkan guna menangani instabilitas global, keuangan juga ekonomi. Krisis yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara pada tahun 1997 bisa menjadi sebuah pengalaman dalam mempertahankan cadangan devisa yang tinggi. Tingginya cadangan devisa bisa menjadi alat untuk mempertahankan nilai tukar yang lebih rendah untu mempromosikan perdagangan dan daya saing internasional, motif merkantilis, selain itu cadangan devisa yang tinggi juga bisa meningkatkan kepercayaan investor sehingga akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Nilai tukar bisa ditingkatkan dengan menumbuhkan cadangan devisa maksudnya adalah jika sebuah negara memiliki cadangan devisa yang tinggi maka nilai mata uang negara itu akan tinggi juga dikarenakan negara itu dinilai dapat utnuk membeli valuta asing yang bisa digunakan untuk menyeimbangkan nilai tukar mata uang domestic. Selain itu, masalah lain ketika cadangan devisa menurun maka nantinya nilai tukar mata uang negara itu cepat atau lambat akan terdepresiasi. Hal ini disebabkan karena saat cadangan devisa turun maka negara itu akan kesulitan untuk melakukan intervensi guna membeli valuta asing yang bisa digunakan untuk menyeimbangkan nilai mata uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun