Pendahuluan
Setelah berakhirnya perang dunia ke-2, muncul negara adikuasa baru yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, secara ekonomi Amerika Serikat lebih berpengaruh. Hal ini karena perekonomian Amerika Serikat lebih besar serta pengaruh mata uangnya lebih dominan. Mata uang Amerika Serikat (Dolar Amerika Serikat (USD)) telah mendominasi sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional, cadangan devisa, dan investasi global. Dengan dominasi tersebut, tentunya Amerika Serikat memiliki keuntungan lebih dibandingkan negara-negara lain. Misalnya dalam hal perdagangan Internasional, perusahaan asal Amerika Serikat tidak perlu khawatir mengenai risiko nilai tukar yang dapat mengubah biaya ekspor dan impor. Hal ini memudahkan perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat untuk mengakses pasar global, menjual produk mereka, dan melakukan investasi di luar negeri tanpa menghadapi fluktuasi nilai tukar yang signifikan.
Sejarah Dominasi Dolar Amerika Serikat
Dominasi Dolar Amerika Serikat terhadap mata uang negara-negara lain dimulai sejak diadakannya Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944. Dalam pertemuan teresebut, perwakilan dari 44 negara sepakat untuk membentuk sistem moneter internasional baru untuk menstabilkan ekonomi global pasca Perang Dunia II. Sistem ini menetapkan Dolar Amerika Serikat sebagai mata uang acuan yang terikat dengan emas (1 ons emas = 35 dolar). Karena sistem Bretton Woods, dolar menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internacional, serta penyimpanan cadangan devisa oleh Bank Sentral di seluruh dunia. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan cadangan emas terbesar saat itu, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam stabilitas ekonomi global, yang membuat posisi dólar semakin kuat.
Pada tahun 1971, Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, mengakhiri keterikatan dolar dengan emas. Hal ini menyebabkan runtuhnya sistem Bretton Woods dan transisi menuju sistem nilai tukar mengambang, dimana mata uang tidak lagi terikat pada emas. Meskipun begitu, dolar tetap mempertahankan peran dominannya, karena Amerika Serikat tetap menjadi ekonomi terbesar dan terkuat. Kemudian pada dekade yang sama, terjadi kesepakatan antara Amerika Serikat dan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah. Dalam kesepakatan tersebut, minyak diekspor dan diperdagangkan dalam denominasi dolar, yang kemudian dikenal sebagai petrodollar. Hal ini memastikan permintaan global yang tinggi terhadap dolar karena negara-negara membutuhkannya untuk membeli minyak dan komoditas lainnya.
Dengan semakin berkembangnya globalisasi dan integrasi pasar keuangan internasional, dolar tetap menjadi mata uang utama yang digunakan dalam transaksi lintas batas, investasi, dan aset cadangan. Bank sentral dari berbagai negara terus menyimpan dolar dalam jumlah besar sebagai aset yang aman dan likuid. Stabilitas politik dan ekonomi Amerika Serikat juga membuat dolar dianggap sebagai mata uang yang paling aman di masa-masa terjadinya krisis ekonomi.
Kebangkitan Ekonomi China
Perkembangan ekonomi China dimulai sejak pelaksanaan reformasi ekonomi pada akhir 1970-an di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Kebijakan ini mengakhiri isolasi ekonomi China dan membuka negara tersebut bagi investasi asing serta memperkenalkan prinsip-prinsip pasar dalam perekonomian. Melalui kebijakan open door dan penerapan Zona Ekonomi Khusus (SEZ), China berhasil menarik investasi asing dalam jumlah besar, terutama di sektor manufaktur. Seiring dengan pertumbuhan pesat industri, infrastruktur yang modern, dan tenaga kerja yang besar, China menjadi pusat produksi global, menghasilkan berbagai produk mulai dari elektronik hingga tekstil dengan harga yang kompetitif.
Bukti pesatnya perkembangan ekonomi China dapat dilihat pada gambar diatas.
Dapat dilihat dari gambar tersebut dimana pada tahun 1980, Amerika Serikat menjadi mitra dagang utama bagi hampir seluruh negara di dunia. Lalu pada tahun 2018, Amerika Serikat tidak lagi menjadi mitra dagang utama bagi mayoritas negara di dunia. Pada tahun tersebut, China smenjadi mitra dagang utama mayoritas negara-negara di dunia. Namun, walaupun Amerika Serikat bukan lagi mitra dagang utama, aktivitas perdagangan tetap menggunakan mata uang Dolar Amerika Serikat. Hal tersebut tentu dapat merugikan negara-negara selain Amerika Serikat.
Misalnya seorang pengusaha Indonesia ingin mengimpor barang dari China. Karena transaksi yang digunakan menggunakan dolar, kemudian tiba-tiba nilai dolar menguat, maka jumlah barang yang didapat bisa berkurang dengan jumlah nilai mata uang lokal yang sama. Hal inilah yang memicu beberapa negara untuk menandatangani perjanjian perdagangan menggunakan mata uang negara masing-masing tanpa menggunakan Dolar Amerika Serikat.
De-dolarisasi
Menurut JP Morgan, De-dolarisasi merupakan pengurangan penggunaan dolar dalam perdagangan dunia dan transaksi keuangan, sehingga mengurangi permintaan nasional, institusional, dan korporat terhadap dolar. Akibatnya, de-dolarisasi akan mengubah keseimbangan kekuatan antarnegara, dan hal ini dapat membentuk kembali ekonomi dan pasar global. Dampaknya akan lebih terasa di Amerika Serikat di mana de-dolarisasi kemungkinan akan menyebabkan depresiasi yang luas dan kinerja aset keuangan Amerika Serikat akan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.
Upaya de-dolarisasi telah beberapa kali dilakukan seperti perjanjian Local Currency Settlement. Selain itu, terdapat kemungkinan negara-negara yang masuk dalam anggota BRICS akan membuat mata uang sendiri dan mereka tidak lagi menggunakan dolar sebagai transaksi perdagangan mereka.
Local Currency Settlement
Menurut Bank Indonesia, Local Currency Settlement (LCS) adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara dimana penyelesaian transaksi dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan akan dólar. Untuk di Indonesia, LCS telah dilakukan ke berbagai negara. Misalnya saja pada April 2019, Indonesia beserta negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina menandatangani kesepakatan penggunaan uang lokal sebagai mata uang transaksi perdagangan bilateral, sehingga penggunaan Rupiah semakin luas di ASEAN.
Kemudian, Pada 22 September 2020 Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan China mengenai LCS, kemudian dilanjutkan kesepakatan untuk penerapan LCS atau penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan kedua negara pada pada bulan Agustus 2021 melalui Bank Indonesia dan People’s Bank of China. Hal ini disambut antusias oleh pelaku usaha dari kedua negara, perbankan serta Apindo sebagai organisasi para pengusaha (Kemendag RI, 2021).
Selain dengan China, Indonesia juga melakukan LCS dengan negara Asia lainnya seperti Jepang. Kerangka kerja dan implementasi LCS antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan Jepang dimulai pada 31 Agustus 2021. Untuk mewujudkan LCS diperlukan Appointed Cross Currency Dealer (AACD), yaitu mitra bank yang ditunjuk untuk memfasilitasi transaksi bilateral sesuai kerangka LCS. Pada kesepakatan LCS dengan Jepang, bank-bank yang menjadi AACD untuk Indonesia meliputi Bank MUFG Cabang Jakarta, Bank BTN, Bank BCA, Bank Mandiri, bank Mizuho Indonesia, Bank BNI dan Bank BRI. Sementara untuk pihak Jepang adalah Bank Mizuho, Bank MUFG cabang Tokyo, Bank BNI cabang Tokyo, Bank Resona, dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.
Selain Indonesia, banyak negara di dunia telah melakukan LCS untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap dolar. Pada tahun 2022, akibat serangan ke Ukraina, Rusia dijatuhkan sanksi oleh Amerika Serikat sehingga negara tersebut tidak bisa melakukan perdagangan dengan dolar. Akibatnya, saat ini perdagangan yang dilakukan Rusia tidak menggunakan dolar dan perekonomian Rusia masih tetap hidup hingga saat ini. Hal tersebut menambah keyakinan yang lebih besar untuk mengurangi penggunaan Dolar. Kemudian, perjanjian perdagangan bilateral antara China dan Brazil pada tahun 2023 dalam mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS sebagai mata uang perantara, telah menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan posisi dolar secara global. Hal ini karena Brazil yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat telah berani untuk mengurangi ketergantungannya akan mata uang dolar.
BRICS dan Ancamannya terhadap Dominasi Dolar Amerika Serikat
BRICS merupakan sebuah kelompok negara-negara Informal yang dibentuk pada tahun 2009. BRICS awalmya terdiri dari Brazil, China, Rusia, dan India. Kemudian pada tahun 2010, Afrika Selatan masuk ke dalam kelompok tersebut. Dan pada KTT puncaknya pada tahun 2023, BRICS menambah beberapa anggota baru yaitu Mesir, Persatuan Emirat Arab, Iran, dan Ethiopia yang membuatnya saat ini menjadi 9 anggota. BRICS merupakan rival utama dari G7, sebuah kelompok ekonomi terbesar yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Saat ini total perekonomian negara-negara BRICS telah melampaui negara-negara G7.
Pada KTT BRICS ke-14, yang diadakan pada pertengahan tahun 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa negara-negara BRICS berencana untuk menerbitkan mata uang cadangan global baru, dan siap bekerja secara terbuka dengan mitra-mitra perdagangannya. Kemudian Pada bulan April 2023, Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva, menyatakan dukungan terhadap mata uang BRICS, dengan komentarnya, “Mengapa lembaga seperti bank BRICS tidak dapat memiliki mata uang untuk membiayai hubungan perdagangan antara Brazil dan China, antara Brazil dan semua negara BRICS lainnya? Siapa yang memutuskan bahwa dolar adalah mata uang (perdagangan) setelah berakhirnya paritas emas?”
Namun, pembentukan mata uang baru untuk menyingkirkan dolar bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut membutuhkan komitmen yang kuat diantara anggotanya. Sebagai negara terbesar di kelompok tersebut, tentunya China yang akan mendapat keuntungan paling besar apabila BRICS menerbitkan mata uang baru mereka. Di dalam anggota BRICS sendiri terdapat tensi diantara anggota mereka seperti tensi mengenai hubungan antara China dan India. Tetapi, tensi tersebut bukan berkaitan dengan ekonomi maupun perdagangan, tensi tersebut berhubungan dengan perbatasan kedua negara. Tetapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut berpengaruh kepada hubungan ekonomi kedua negara. Oleh karena itu, anggota-anggota BRICS masih perlu meningkatkan kerjasama-kerjasama diantara anggota negara mereka sebelum diterbitkannya mata uang baru versi mereka.
Jika Dolar tidak lagi mendominasi, apakah digantikan Yuan?
Jika dolar tidak lagi mendominasi, maka ada mata uang yang menggantikan posisi dolar. Mata uang yang menggantikan posisi dolar kemungkinan besar adalah mata uang China, Yuan. Yuan saat ini merupakan mata uang pembayaran terbesar kelima di dunia, mata uang pembiayaan perdagangan terbesar ketiga, dan mata uang cadangan internasional terbesar kelima. Meski transaksinya telah meningkat hingga 7 persen dari pangsa pasar global, penggunaan yuan dalam perdagangan internasional belum mencerminkan posisi China sebagai negara perdagangan teratas. Untuk memperluas penggunaan yuan, Bank Rakyat China telah mendirikan 31 bank kliring di 29 negara dan mengembangkan bursa komoditas Shanghai International Energy Exchange (INE) yang menggunakan yuan dalam perdagangan minyak. Langkah ini diikuti oleh kesepakatan baru antara China dan Perancis untuk perdagangan gas alam cair menggunakan yuan.
China juga mengembangkan sistem pembayaran internasional CIPS, alternatif dari SWIFT, yang kini digunakan oleh bank di Rusia dan Brasil. CIPS memungkinkan kliring transaksi dalam yuan, meskipun masih membutuhkan SWIFT untuk pengiriman pesan. Kendala utama yuan adalah kurangnya konvertibilitas dan kontrol ketat terhadap arus modal oleh otoritas China yang menghambat internasionalisasi penuh. Yuan masih bergantung pada cadangan devisa China dalam dolar AS, yang menjadi faktor penting dalam status globalnya. Tanpa dukungan tersebut, yuan berisiko kehilangan posisinya di pasar internasional.
Referensi
Bank Indonesia. (2021). "Implementasi Local Currency Settlement." Dokumen Resmi Bank Indonesia.
Eichengreen, Barry (2011). Exorbitant Privilege: The Rise and Fall of the Dollar and the Future of the International Monetary System. Oxford University Press.
Gerding, Felix, & Jonathan S. Hartley. "De-dollarization? Not so fast." Economics Letters 238 (2024): 111665.
Naughton, Barry (2007). The Chinese Economy: Transitions and Growth. MIT Press.
O'Neill, Jim (2001). "Building Better Global Economic BRICs," Goldman Sachs Report.
Prasad, Eswar S. (2016). Gaining Currency: The Rise of the Renminbi. Oxford University Press.
Saaida, M. (2024). BRICS Plus: de-dollarization and global power shifts in new economic landscape. BRICS Journal of Economics, 5(1), 13-33.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H