Malam gerimis yang basahi kota dan kepala, sentak beta membuka handphone, beralih ke aplikasi WhatsApp, beta melihat ada beberapa panggilan itu di lalukan berulang, ini ada apa pinta beta dalam hati, Pasti ada sesuatu. Dan ketika beta menelepon balik. Kata yang di ucapkan bahwa caca indah su seng ada lai. Pada jam 22:41. Kabar itu menusuk, Tak sanggup mendengar bulu nyawa berdiri tak pakai kursi dan juga air mata bergenang seperti danau. Entahlah sesak angin dalam tubuh  ini harus hembuskan kemana dan memakai cara apa.
Teringat beta saat ada pinta dari seseorang perempuan yang paling beta sayang. Dan kini kembali kata itu sendiri beta ucapkan kepada diri. Entah tuhan bermain dengan liar pada takdir. Bapak sudah seng ada lai, jang inda pergi kasi tinggal beta lai. Beta kembali memangku semangat yang patah bagaikan gelombang yang tak menyatu pada ombak.
Tak ada nais bambu, kue bolu, dan nasi kelapa, pisang goreng yang tersedia di atas meja sebagai jamuan minum teh. Pinta indah yang paling tegas dalam bahasa Tial. Dade pamariki e ia, inda. Sekarang semua itu tak adalagi. Semua hanyalah rindu-rindu dan kenangan melintas seperti bayangan, fatamorgana di atas lautan. Indah mari harumkan nasi bambu dalam rumah ini lagi, kepadamu caca inda beta sayang caca. Caca tenang deng bapa di alam sana amin.
Sumber penulis: M. Abdul rolobessy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H