Akhir-akhir ini publik tengah ramai memperbincangkan sebuah peraturan yang telah diteken oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim per 31 Agustus 2021 lalu.Â
Peraturan tersebut berupa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.Â
Peraturan Menteri (Permen) ini menuai pro-kontra di kalangan masyarakat, baik itu pihak akademisi, organisasi kemasyarakatan, politisi maupun masyarakat secara luas.
Pihak yang pro mengatan, bahwa Permen ini merupakan angin segar bagi penyintas kekerasan seksual, di mana tujuan utamanya yakni mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga Perguruan Tinggi. Hal tersebut tertuang dalam pasal 2 Permen ini.Â
Tujuannya, Pertama, sebagai acuan bagi Perguruan Tinggi dalam menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan maupun penindakan kekerasan seksual dalam pelaksanaan Tridharma baik di dalam kampus ataupun diluar kampus. Kedua, untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa adanya kekerasan seksual di lingkungan kampus baik diantara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, maupun warga kampus.
Sedangkan pihak yang kontra berpendapat, bahwa Permen ini melegalkan zina (kekerasan seksual), karena ketentuan pada pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m Permen ini terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban', sehingga dimaknai bahwa perbuatan seksual dapat dibenarkan jika ada persetujuan korban (consent). Hal inilah yang membuat polemik di masyarakat, di mana Permen ini menimbulkan multitafsir sehingga terkesan melegalkan kekerasan seksual.
Apabila kita lihat secara objektif, disatu sisi Permen ini mengandung kemaslahatan, karena merupakan sebuah terobosan hukum serta sebagai payung hukum atas maraknya kekerasan seksual yang ada di Negeri ini khususnya pada lembaga Perguruan Tinggi. Sehingga perlu kita apresiasi atas lahirnya Permen ini karena belum adanya regulasi tentang penanganan kekerasan seksual, dengan sembari menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun dilain sisi, Permen ini juga terdapat mudharatnya yakni dapat berpotensi menimbulkan kejahatan baru jika frasa 'tanpa persetujuan korban' masih tetap dipertahankan, kejahatan tersebut misalnya pelaku mengancam korban agar menyatakan untuk memberikan persetujuan dengan tujuan agar tidak terkena pasal dalam Permen tersebut. Sehingga daripada itu yang awalnya niat Permen ini baik yakni untuk membasmi predator seksual justru malah menimbulkan kejahatan seksual baru dengan dalih persetujuan.
Dengan kata lain muatan materi Permen tersebut saling berbenturan antara menghilangkan mudharat dengan mendatangkan mudharat baru lagi, sehingga tidak sesuai dengan kaidah fiqih "Adhararu la yuzalu bidharar" (kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi). Dalam hal ini Permen tersebut ingin menghilangkan kemudharatan yakni mencegah dan menindak para pelaku kejahatan seksual namun Permen ini juga berpotensi menciptakan kejahatan seksual lainnya lewat persetujuan korban dengan cara pemaksaan.
Setelah melihat dua perspektif diatas dapat disimpulkan, bahwa tidaklah ada produk hukum manusia yang sempurna, tentu terdapat sisi positif dan negatifnya. Maka dari itu Permen ini sebaiknya perlu direvisi agar lebih sempurna, yakni dengan mempertimbangkan norma-norma yang hidup di masyarakat (religiusitas) serta menyerap aspirasi berbagai pihak dalam pembentukannya, sehingga dapat tercipta produk hukum yang memberikan kemaslahatan bagi para pihak.Â