Selain itu, merelokasi para pekerja seks ke daerah-daerah yang jauh dari keramaian penduduk juga langkah alternatif yang harus dipikirkan. Dengan sistem masuk dan keluarnya hanya satu pintu disertai dengan pemeriksaan kesehatan yang ketat saat keluar dan masuknya, sedikit banyak akan meminimalisir dampak penyebaran virus HIV/AIDS. Langkah yang demikian, melokalisir para pekerja seks, pernah diterapkan oleh Solon pada abad ke-6 SM dengan mendirikan lokalisasi pertama di Athena. Maksud pembangunan lokalisasi ini, sebagaimana dipaparkan oleh Nikolaos A. Vrissimtzis, ialah dimaksudkan untuk menolong membebaskan anak remaja yang telah mencapai usia reproduksi dan menjaga mereka agar tidak melakukan perselingkuhan dengan wanita terhormat.
Tulisan ini tidaklah hendak berada dalam posisi mendukung ataupun menolak penutupan lokalisasi yang didirikan oleh perempuan keturunan Belanda, Dolly Van Der Mart. Tulisan ini hanyalah sebentuk pemikiran penulis yang berusaha memberikan sumbang saran bagi segenap pemangku kepentingan, agar memikirkan segala aspek yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan kaidah ushul fiqh yang berbunyi, mencegah kerusakan itu harus diutamakan daripada melaksanakan kebaikan, seharusnya menjadi titik tolak dalam mengambil sebuah kebijakan. Keputusan pemkot dan pemprov untuk menutup lokalisasi Dolly adalah niat baik dan tulus yang harus didukung oleh segenap pihak. Tetapi efek lainnya juga harus dipikirkan secara matang-matang. Janganlah sampai, imbas penutupan ini bukannya malah membuat Surabaya bersih dari prostitusi. Tapi malah mengakibatkan melubernya prostitusi di jalan-jalan kota Surabaya. Tentu kita tidak menginginkan hal itu terjadi bukan?
Muhammad Shofa
(*Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Filsafat Agama UIN Sunan Ampel Surabaya, bergiat di Bengkel Menulis Bibliopolis Surabaya.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H