Lima efek negatif yang dipaparkan oleh Nasaruddin Umar dalam buku ini selayaknya menjadi renungan bagi segenap stakeholder yang hidup di dunia pesantren. Idealnya, memang seorang kyai seharusnya kembali ke basic untuk menjadi kyai kultural saja. Dengan demikian, ia bisa lebih bebas dan objektif dalam menyampaikan kritik pada pemerintahan yang korup tanpa terbelenggu oleh aturan-aturan partai yang akan mengikatnya. Ke bawah, ia bisa menjadi pengayom bagi segenap umat yang tersebar di segala arah.
Dengan mengangkat kisah dua tokoh ulama’, yaitu Teungku Fakinah dan Kyai Syam’un, penulis kelahiran Bone Sulawesi Selatan ini mengajak segenap kalangan pesantren untuk belajar pada keduanya. Dari kedua tokoh yang diangkat dalam buku inilah kita semua bisa belajar, bahwa politik yang paling tidak berisiko adalah politik pendidikan. Lewat jalur ini, keduanya bisa mendidik, mengajarkan dan menanam benih nasionalisme yang bisa bertahan hingga sekarang.
Tercerabutnya kyai dari dunia pesantren malah akan memberikan peluang bagi kalangan kelompok Islam garis keras menanamkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan cita-cita luhur para kyai yang dulunya berjuang merebut kemerdekaan. Lewat buku setebal 141 halaman ini, Nasaruddin Umar mengajak kita semua untuk melihat pesantren lebih dekat lagi. Mengenalinya, memahami posisi, peran serta potensi besar yang dimilikinya.
*Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Filsafat Agama UIN Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H