Mohon tunggu...
Muhammad Shofa
Muhammad Shofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Iqra'... Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengembalikan Peran Kyai dan Pesantren

26 Oktober 2014   12:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:42 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414275558486926890

RESENSI INI DIMUAT DI KOLOM HORIZON KORAN HARIAN RADAR SURABAYA, MINGGU 26 OKTOBER 2014

Judul Buku : Rethinking Pesantren
Penulis : Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, MA
Penerbit : Penerbit Quanta
Cetakan : I, 2014
Tebal : 141 hal.

Sebagai subsistem dan subkultur pendidikan, pesantren adalah salah satu pilar penting tegaknya kemerdekaan di Indonesia. Dari rahim pesantren lahir tokoh-tokoh kemerdekaan yang menanamkan benih-benih nasionalisme untuk kemudian menggelorakan semangat perlawanan pada penjajah kolonial. Bisa dikatakan bahwa pesantren, dulunya tidak hanya menjadi tempat untuk belajar agama an sich, tapi juga menjadi tempat dan basis para relawan serta pejuang untuk berkumpul menyusun strategi dan taktik demi merebut kemerdekaan.

Wajah suci pesantren ini beberapa dekade kemudian tercoreng akibat ulah kelompok Islam radikal fundamentalis yang mencoba menampilkan wajah Islam menjadi terkesan sangar. Islam menjadi tersudutkan pasca terjadinya tragedi 11 September, dan pesantren dianggap menjadi ladang berseminya paham terorisme, pusara kedengkian dan anti Barat. Pesantren pada akhirnya mendapat citra negatif karena ulah segelintir orang yang mengusung paham radikalisme Islam.

Dengan latar belakang itulah, Nasaruddin Umar mencoba menghadirkan kembali wajah pesantren yang sebenarnya. Melalui buku ini, penulis yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Agama ini menguliti dan menjlentrehkan peran dan fungsi pesantren sebagai basis pendidikan bagi umat. Dimulai dengan menjelaskan sejarah pesantren, asal muasal kata santri serta sistem pengajaran di dalamnya, Nasaruddin Umar menyuguhkan pada pembaca pergulatan Islam di berbagai bidang, terutama di bidang politik.

Pada bidang politik inilah umat Islam kerap mengalami kekalahan demi kekalahan yang berujung pada hilangnya marwah Kyai dan pesantren yang diampunya. Politik kebangsaan dan keumatan yang seharusnya menjadi titik tolak pergerakan kyai, menjadi tergeser ke arah politik pragmatis. Pergeseran ini mengakibatkan pesantren menjadi tak terurus, tak terawat dan terabaikan.

Menurut Nasaruddin Umar, ada lima efek negatif yang akan timbul bila kyai mulai lupa akan tugasnya dalam merawat dan meramut pesantren serta cenderung menyibukkan diri dalam wilayah politik praktis. Pertama, saat kyai terjun dalam dunia politik praktis, otomatis ia akan mengorbankan jam pembelajaran yang seharusnya diberikan pada santrinya. Kesibukan di luar pesantren seperti konsolidasi partai, kampanye serta rapat-rapat resmi lainnya adalah seabrek kegiatan yang sedikit banyak akan melalaikan kyai terhadap pesantrennya.

Kedua, terjadinya politisasi agama. Kerap saat kyai terjun dalam dunia politik, ia akan menggunakan segala kemampuannya untuk mengabsahkan tindakannya dengan menggunakan dalil-dalil agama. Slogan keagamaan biasanya akan meluncur deras melalui janji-janji politik untuk menggaet dan menggeret massa.
Ketiga, hilangnya independensi kyai. Jamak diketahui ruang lingkup dakwah kyai sangatlah luas. Namun saat ia terjun dan menjadi anggota partai, sudah tentu suara dan kritik yang disampaikannya membawa pesan dari partai di mana ia berkecimpung di dalamnya. Kritiknya tak lagi murni demi kemaslahatan umat secara penuh.

Pada posisi inilah kyai akan terjerembab pada efek negatif yang keempat, yaitu terjadinya penyempitan otoritas sang kyai. Fatwa dan petuah yang dikeluarkannya akan cenderung mendukung partainya hingga membuat masyarakat yang tak setuju dengannya akan melepas ketertundukannya pada kyai tersebut.

Kelima, tumbuhnya fanatisme ekstrem para pengikut kyai. Bagi kalangan santri, kyai adalah sosok yang suci dan terjaga dari kesalahan. Tak mereka sadari bahwa di alam demokrasi, kritik adalah bunga-bunga demokrasi. Bagi mereka, kalangan santri, kritik yang diarahkan pada kyai sama saja menyerang otoritas penuh pemangku pesantren, dan itu sama saja menyerang mereka. Dengan demikian, alih-alih sikap mereka itu akan melahirkan kemapanan demokratisasi, yang terjadi malah otoritarianisme belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun