Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Guru - Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Suka membaca dan menulis. Suka mengajak orang baca buku dan menulis. Suka jualan buku. Menulis banyak tulisan di media massa cetak ataupun online. Telah menulis belasan buku antologi dan satu buku solo kumpulan puisi "Kita Adalah Cinta."

Lahir di Bondowoso. Tepatnya 3 Januari 1991. Saat ini banyak menulis resensi buku, dan menerima permintaan menulis resensi/ review buku dari penerbit atau penulis. Email: penulispembelajar@gmail.com Blog Buku: ridhodanbukunya.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Hanya Butuh Satu Kata: Bersatu

5 September 2015   08:41 Diperbarui: 5 September 2015   08:51 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber facebook Ahmad Ishlahuddin Dhuha"][/caption]

Banyaknya artis dan public figure yang mencapai titik balik dan kemudian mempelajari agama, merupakan angin segar bagi negeri ini. Tentu saja, dengan begitu mereka tidak hanya dikagumi dengan bekal tampang dan skillnya (akting, menyanyi dll), tetapi semoga juga menginspirasi masyarakat untuk juga kembali pada agama.

Namun, tentu saja tidak semua suka dengan keputusan sang artis untuk kembali pada agama. Dari penggemar garis keras hingga sesama Islam tetapi berbeda pandangan menyayangkan sang artis menjadi aneh juga semakin jarang terlihat di dunia hiburan dan mengapa memilih Islam yang ‘itu’ yang dipelajari.

Saya pribadi senang dan suka, jika para artis itu kemudian mendekat pada agama dan mempelajarinya, tanpa memedulikan mereka belajar ke mana yang penting sesama ahlus Sunnah wal jama’ah atau sunni. Seperti Dedy Mizwar (yang sepertinya) belajar agama di Tarbiyah, Teuku Wisnu belajar kepada Salafi, Caesar belajar kepada Salafi, Arumi Bachsin belajar kepada Nahdhatul Ulama (Fatayat), Sakti ex Sheila On 7 yang belajar agama kepada Jama’ah Tabligh dan lain-lain.

Sekali lagi, ini seharusnya membuat kita senang, bahagia dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa  Ta’ala. Jika mereka membuat kesalahan-kesalahan yang mungkin belum mereka ketahui, maka nasehatilah mereka. Jangan cemooh, jangan ejek, jangan menjelekkan mereka. Nasehatilah mereka dengan sebaik-baik nasehat.

Kasus yang lagi ramai saat ini adalah tentang Teuku Wisnu yang dalam acaranya (Beriman-Trans TV) menyatakan bahwa bacaan Al-Fatihah tidak akan sampai (kepada siapapun), begitulah intinya. Maka, ramailah dunia (nyata) maya. Kalangan Nahdhiyin tentu tersinggung dengan ucapan Teuku Wisnu. Ada kalangan Nahdhiyyin atau juga yang tidak sependapat dengannya yang menasehati dengan lembut tetapi juga tak jarang (banyak) yang membully Teuku Wisnu habis-habisan.

Bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini? Bolehlah kiranya saya yang faqir ilmu ini sedikit berkomentar.

Teuku Wisnu sebagai pembawa acara Beriman Trans TV dan sebenarnya menyatakan hal tersebut tidaklah mengherankan. Teuku Wisnu mempelajari Islam kepada Salafi dan Trans TV adalah sebagai TV Swasta yang sering mengakomodir ustadz-ustadz kalangan Salafi, artis yang belajar di Jama’ah Tabligh (Derry Sulaiman) dan jarang mengakomodir dari kalangan Nahdhiyin. Beberapa kali Trans Tv membuat berang warga Nahdhiyin dan seharusnya itu dijadikan pelajaran. Trans Tv dan ustadz-ustadz Salafi di dalamnya  sebaiknya tidak terlalu mempermasalahkan khilafiyah tetapi menginfokan hal-hal yang akan menyatukan umat. Akomodir dong semua ahlussunnah wal jama’ah di Trans TV, itu baru jempol, menyejukkan.

Karena apa?

Kita hanya butuh satu kata: Bersatu.

Selain permintaan kepada ustadz-ustadz Salafi dn Trans 7, bolehlah faqir ilmu seperti saya ini meminta Bang Teuku Wisnu untuk belajar agama lagi, terus dan terus. Lanjutkan saja belajar kepada ustadz-ustadz yang ada di Salafi, tetapi mohon baca juga kitab-kitab saudara Nahdhiyin yang cukup banyak berbeda pendapat dengan saudara Salafi. Agar apa? Agar, kita memahami di mana akar masalahnya, tidak mempermasalahkan khilafiyah dan lebih bijak memahami perbedaan dalam kalangan ahlussunnah, dan sering menggaungkan persatuan umat Islam. Tentu ini lebih jempol, bang barakallah J

Lalu bagaimana dengan kita, yang lebih banyak menjadi penonton tetapi lebih sering menjadi yang paling ramai? Betul tidak ya?hehe

Saya kira sikap kita adalah seperti yang sudah saya sebutkan di atas, menasehati Bang Teuku dengan baik, tanpa menjelekkan dia. Itulah lebih baik bagi kita, bukankah sebaiknya kita berkata yang baik atau diam saja? Pilihlah dua dari itu saudaraku. Itulah kebaikan bagi kita, ya bukan hanya bagi Anda sendiri, tetapi kita semua.

Bukankah sikap Bang Teuku Wisnu sudah hebat ketika meminta maaf via twitter dan insya Allah akan meminta maaf pada acara Beriman pula? Semoga sikap baik ini ditiru oleh ustadz-ustadz saudara seiman kita di Salafi untuk lebih berhati-hati dalam berucap apalagi masalah khilafiyah. Cukup sudah, sengketa kita (umat) yang tiada habisnya ini. Cukup, kita doakan Bang Teuku semakin baik pemahamam keislamannya dan kita semua istiqamah di jalan-Nya.

Sekali lagi, kita hanya butuh satu kata: Bersatu.

Saya adalah keturunan Muhammadiyah, tetapi saudara-saudara saya berkultur NU. Orangtua saya Muhammadiyah, Mbah-Mbah saya Nu juga Muhammadiyah. Pakde, om, saudara-saudara saya yang lain lebih banyak yang NU. Saya mondok di Pondok Pesantren yang punya cita-cita menyatukan umat, sehingga salah satu kalimat yang sering diucapkan Kiai adalah, “NU Persis Muhammadiyah.” Dari pandangan ini saya pun mendambakan persatuan Islam. 

Di kampus saya berteman dengan aktivis berbagai kalangan, Tarbiyah, Muhammadiyah, NU, dan HT. Karena saya tak ingin terkotak-kotakkan sehingga umat tidak bersatu. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya sangat bersimpati kepada saudara-saudara seiman di Tarbiyah yang saya tahu aktivisnya rajin shalat di Masjid, menjaga adab pergaulan islami, dll. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya bersimpati kepada saudara-saudara seiman di HT, yang menyeru bahwa akan ada saatnya Khilafah Islamiyah hadir kembali di muka bumi dan aktivisnya mirip dengan aktivis Tarbiyah yang rajin shalat di masjid dll. Meski keluarga saya Muhammadiyah saya juga simpati kepada saudara-saudara seiman saya di NU, mereka membumi dan sifat jama’ahnya kuat. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya saat ini mungkin bukan Muhammadiyah tetapi ‘Muhammadiyah’ dengan arti pengikut Nabi Muhammad.

Saya sangat ingin umat ini bersatu. Saya sangat ingin melihat persatuan ahlussunnah, sehingga musuh-musuh pun keder. Perbedaan pandangan Mazhab, itu biasa dalam ahlussunnah, sejak dulu ulama masyhur sudah ada perbedaan pendapat. Perhatian kita seharusnya adalah persatuan. Pertengkaran dan permusuhan hanya karena khilafiyah hanya membuat musuh kita yang sebenarnya tepuk tangan dan tertawa.

Meski saya hanyalah seorang faqir ilmu, bolehlah saya berkata: Bersatulah wahai umat! Bersatulah ahlus Sunnah!

Sekali lagi, Sekali lagi, kita hanya butuh satu kata: Bersatu.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun