Lalu bagaimana dengan kita, yang lebih banyak menjadi penonton tetapi lebih sering menjadi yang paling ramai? Betul tidak ya?hehe
Saya kira sikap kita adalah seperti yang sudah saya sebutkan di atas, menasehati Bang Teuku dengan baik, tanpa menjelekkan dia. Itulah lebih baik bagi kita, bukankah sebaiknya kita berkata yang baik atau diam saja? Pilihlah dua dari itu saudaraku. Itulah kebaikan bagi kita, ya bukan hanya bagi Anda sendiri, tetapi kita semua.
Bukankah sikap Bang Teuku Wisnu sudah hebat ketika meminta maaf via twitter dan insya Allah akan meminta maaf pada acara Beriman pula? Semoga sikap baik ini ditiru oleh ustadz-ustadz saudara seiman kita di Salafi untuk lebih berhati-hati dalam berucap apalagi masalah khilafiyah. Cukup sudah, sengketa kita (umat) yang tiada habisnya ini. Cukup, kita doakan Bang Teuku semakin baik pemahamam keislamannya dan kita semua istiqamah di jalan-Nya.
Sekali lagi, kita hanya butuh satu kata: Bersatu.
Saya adalah keturunan Muhammadiyah, tetapi saudara-saudara saya berkultur NU. Orangtua saya Muhammadiyah, Mbah-Mbah saya Nu juga Muhammadiyah. Pakde, om, saudara-saudara saya yang lain lebih banyak yang NU. Saya mondok di Pondok Pesantren yang punya cita-cita menyatukan umat, sehingga salah satu kalimat yang sering diucapkan Kiai adalah, “NU Persis Muhammadiyah.” Dari pandangan ini saya pun mendambakan persatuan Islam.
Di kampus saya berteman dengan aktivis berbagai kalangan, Tarbiyah, Muhammadiyah, NU, dan HT. Karena saya tak ingin terkotak-kotakkan sehingga umat tidak bersatu. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya sangat bersimpati kepada saudara-saudara seiman di Tarbiyah yang saya tahu aktivisnya rajin shalat di Masjid, menjaga adab pergaulan islami, dll. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya bersimpati kepada saudara-saudara seiman di HT, yang menyeru bahwa akan ada saatnya Khilafah Islamiyah hadir kembali di muka bumi dan aktivisnya mirip dengan aktivis Tarbiyah yang rajin shalat di masjid dll. Meski keluarga saya Muhammadiyah saya juga simpati kepada saudara-saudara seiman saya di NU, mereka membumi dan sifat jama’ahnya kuat. Meski keluarga saya Muhammadiyah, saya saat ini mungkin bukan Muhammadiyah tetapi ‘Muhammadiyah’ dengan arti pengikut Nabi Muhammad.
Saya sangat ingin umat ini bersatu. Saya sangat ingin melihat persatuan ahlussunnah, sehingga musuh-musuh pun keder. Perbedaan pandangan Mazhab, itu biasa dalam ahlussunnah, sejak dulu ulama masyhur sudah ada perbedaan pendapat. Perhatian kita seharusnya adalah persatuan. Pertengkaran dan permusuhan hanya karena khilafiyah hanya membuat musuh kita yang sebenarnya tepuk tangan dan tertawa.
Meski saya hanyalah seorang faqir ilmu, bolehlah saya berkata: Bersatulah wahai umat! Bersatulah ahlus Sunnah!
Sekali lagi, Sekali lagi, kita hanya butuh satu kata: Bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H