Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Guru - Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Suka membaca dan menulis. Suka mengajak orang baca buku dan menulis. Suka jualan buku. Menulis banyak tulisan di media massa cetak ataupun online. Telah menulis belasan buku antologi dan satu buku solo kumpulan puisi "Kita Adalah Cinta."

Lahir di Bondowoso. Tepatnya 3 Januari 1991. Saat ini banyak menulis resensi buku, dan menerima permintaan menulis resensi/ review buku dari penerbit atau penulis. Email: penulispembelajar@gmail.com Blog Buku: ridhodanbukunya.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ampuhnya Mantra Man Jadda Wajada

19 Juni 2010   18:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul : Negeri Lima Menara Penulis : Ahmad Fuadi Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2009 Jumlah Halaman : 420 Halaman Pesantren seringkali di pandang sebelah mata. Banyak menyangka kehidupan dan pendidikan di dalamnya katrok alias jadul banget. Ya, itu memang benar jika hanya melihat dari luarnya saja, coba ketika telah masuk ke dalam kehidupan di dalamnya. Pasti akan menemukan aura yang beda dengan kehidupan luar pesantren. Seperti kisah dalam novel karya Ahmad Fuadi ini, Negeri Lima Menara. Sebuah novel yang terinspirasi dari kisah nyata penulis, yang juga alumni dari Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur, yang terkenal itu. Fuadi bercerita tentang Alif tokoh utama yang berasal dari Maninjau. Bukittinggi, Sumatera Barat, dan kelima teman yang berbeda daerah dengannya. Atang dari Bandung, Raja dari pinggiran Kota Medan, Baso dari Sulawesi, Said dari Surabaya, dan Dul Majid dari Madura. Mereka menjalin persahabatan di sebuah Pondok Pesantren Modern di daerah Ponorogo Jawa Timur yang oleh Fuadi dinamakan Pondok Madani. Meskipun tidak ada hubungan saudara, mereka yang berasal dari beda tempat bisa menjadi bak saudara yang ada hubungan darah. Itu semua terjalin karena keadaan pondok yang mengkondisikan untuk mandiri dan hidup sederhana. Jadi, memang harus di sadari hidup itu bersosial, tidak bisa hidup sendiri. Dan mereka berenam adalah santri yang selalu bersama, kapan pun dan di mana pun. Dari awal masuk ke pondok, saat pertama kali mendapatkan iqob (hukuman) dari Mudabbir (pengurus), hingga hari-hari di Pondok Madani yang sarat dengan konskwensi hukuman yang bertujuan sebagai pendidikan. Sampai pada suatu saat mereka mendapatkan tempat berkumpul yang nyaman, santai, serta tak bising jika di gunakan juga sebagai tempat belajar, bisa sambil tidur-tiduran dan terlentang yaitu di bawah menara di depan masjid Pondok Madani yang besar. Oleh karena mereka sering berkumpul di bawah menara, akhirnya mereka mendapatkan julukan Sahibul Manara (Orang yang punya Menara). Mereka merasakan suka duka di Pondok Madani, kemudian saling mencurhatinya di bawah menara itu, tak hanya itu di bawah menara itu mereka pun menyampaikan mimpi dan cita-cita mereka masing-masing. Suatu saat Sahibul Menara berkumpul, Alif mengimajinasikan awan-awan yang di atas yang ia lihat adalah awan yang menunjukkan peta Amerika, beda dengan Alif, Raja yang mengimajinasikan awan-awan itu membentuk peta Eropa, Baso dan Atang beda pula mengimajinasikannya,mereka melihat awan-awan itu membentuk peta Asia dan Timur Tengah, sedangkan Said dan Dulmajid tidak menggambarkan imajinasi mereka, mereka hanya menganggap awan-awan itu adalah Indonesia. Begitulah mimipi-mimpi mereka, namun ternyata tidak mudah menjadi santri yang menuntut ilmu jauh dari orang-orang tercinta dan kampong halaman. Alif misalnya sebagai tokoh utama sekaligus pencerita, harus berusaha sekuat tenaga menahan keinginannya keluar dari pondok Madani, karena memang sejak awal tidak ada niatan untuk masuk Pondok Pesantren. Masuk ke pondok Madani adalah pilihannya ketika ia harus masuk MA (Madrasah Aliyah) setelah lulus dari sekolah agama (MTS) padahal keinginannya adalah masuk SMA, karena ia merasa cukup ilmu agama yang ia dapat, dan sekarang adalah waktunya mencari ilmu dunia, untuk mengejar citanya yaitu ingin menjadi The Next Habibi. Tapi, impian itu harus musnah, ketika Amak dan bapaknya menyuruhnya masuk sekolah agama lagi, akan tetapi ia memilih alternatif lain yaitu merantau jauh ke tanah jawa, tepatnya Ponorogo Jawa Timur, untuk menuntut ilmu. Jadi, intinya ia masuk Pondok Madani karena keterpaksaan. Ketika tengah-tengah perjalanan hidup di Pondok Madani, Baso harus gugur dahulu. Karena ia harus mengurus neneknya yang tinggal sendiri. Tinggal berlima sahibul menara, di saat itu pula Alif harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri untuk tidak terpengaruh Baso untuk keluar dari Pondok Madani. Dan inilah ujian yang paling besar ketika Alif mendapatkan surat dari sahabat karibnya, Randai yang terlebih dahulu kuliah Universitas terkenal, ia kembali harus menahan diri agar tak berhenti di sini perjuangannya di Pondok Madani ini, karena waktu ia sudah mendekati finish kehidupan di Pondok Madani. Ia kembali menguatkan diri dengan mengingat betul kalimat yang perttama kali di pelajari saat masuk di Pondok Madani Man Jadda Wajada, yang kemudian ia beri nama Mantra Man Jadda Wa Jadda (Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan). Maka ia pun memutuskan, untuk berjuang di Pondok Madani sampai hari kelulusan. Tekadnya telah bulat, dan akhirnya setelah lulus dari Pondok Madani ia mencapai cita-citanya untuk menginjakkan kaki di bumi Amerika. Begitupun teman-temannya Sahibul Manara pun mendapatkan cita-cita mereka. Selamat membuktikan ampuhnya mantra Man Jadda Wa Jadda. 16.03.10, Desa Reformasi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun