Mohon tunggu...
Muh. Idris
Muh. Idris Mohon Tunggu... Insinyur - Belajar untuk mencurahkan ide, cerita dan gagasan dan menuliskannya

Hidup di Jakarta, tinggal di rumah mertua

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kemewahan Sepak Bola Anak Milenial

25 Maret 2021   15:01 Diperbarui: 25 Maret 2021   17:45 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sih yang tidak suka dengan sepakbola? Banyak sih! Tapi, tidak dipungkiri lagi, sepak bola adalah permainan atau olahraga yang paling populer dan banyak disukai oleh segala lapisan masyarakat dunia. Memang, ada sebagian masyarakat yang tidak suka, bahkan ada yang sangat membencinya. Benci karena adanya hegemoni dan euforia sepakbola yang terlalu riuh dan berisik, khususnya dalam momen seperti Piala Dunia, Piala Eropa atau kejuaraan yang sedang diikuti oleh Tim Nasional Indonesia. Bagi mereka, itulah momen-momen yang paling merasa terasing dan berharap segera berlalu. “22 people running around in the grass for 1 ball with their IQ printed on their back”, begitu celoteh dari mereka yang merasa Anti-Soccer Society.

Sepakbola hadir di segala lapisan dan tidak ada status sosial yang menyekatnya, tak terkecuali pada anak-anak. Membaur dalam kebersamaan. Meskipun hampir semua olahraga pada dasarnya juga tidak tersekat status sosial, tapi setidaknya sepakbola menjadi olahraga yang bisa dimainkan tanpa perlu bermahal-mahal ria untuk menyiapkan peralatan dan perlengkapannya. Beberapa olahraga lainnya yang hanya diikuti dan digeluti oleh sebagian kecil orang-orang yang berkelebihan uang karena terkait tempat, peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

Sepakbola? Hanya perlu mengumpulkan beberapa teman untuk membagi menjadi 2 tim, tim pakai baju dan tim telanjang dada. Butuh lapangan? Di jalanan kosong pun jadi. Butuh bola? Pakai bola plastik yang dibeli di warung dengan harga sangat terjangkau. Butuh gawang? Ada sandal atau batu. Peraturan? diatur sambil berjalan. Yang penting main!

Karena merakyatnya olahraga ini dan sangat layak untuk dijalankan dengan skema low budget dan terjangkau bagi kaum-kaum terpinggirkan, momen-momen ini menjadi sangat mengasyikkan. Setidaknya saat saya masih kecil. Tidak perlu menyiapkan uang banyak. Tidak ada pamer gear, jersey mahal. Hanya butuh berkumpul di petak lahan terbuka dan tentunya, bola untuk kita tendang! Melupakan tugas sekolah sejenak. Beristirahat dari pekik omelan emak di rumah. Tanpa banyak cakap dan kata-kata, permainan bisa berjalan dengan sebegitu luwesnya. Setiap hari.

Biasanya diawali dari seorang yang juggling-juggling bola, kemudian saling oper-operan dan kemudian membagi menjadi 2 tim. Ya, begitulah adanya tanpa dibuat-buat. Ibaratnya, jika dua bocah yang tidak saling kenal saja, jika diberikan bola pada mereka, niscaya akan berlagak sok kenal dan akrab. Saya ingat betul saat anak saya pertama kali masuk SD. Perkenalan dengan teman pertamanya. Dia melihat ada bola di pinggir lapangan, lalu dengan isengnya dia menendang bola itu ke dalam lapangan. Lalu datang satu anak lainnya, menendang bola yang menghampirinya. Tidak lama, mereka saling bermain, menendang bola, saling merebut, bergantian menjadi penjaga gawang dan penendang. Usai bermain, saya bertanya, “Tadi, kamu main sama siapa?” “Gak tau!”, bagitu jawabnya. 

Meski jawabannya seperti itu, saya justu melihat mereka seperti sudah saling mengenal dan memahami. Begitu tidak canggunggnya bahasa tubuh mereka. Sangat menikmati permainannya. Disinilah saya mengerti bahwa sepakbola menjadi bahasa universal bagi mereka untuk sama-sama mencari kebahagiannya, bermain sepakbola. Tanpa banyak aturan dan tidak ada yang mengatur, bak dua sahabat yang saling bekerja sama, mereka bergembira bersama dengan media bola yang mereka tendang. Sepakbola memperkanalkan mereka menjadi sahabat di hari-hari berikutnya.

Dalam pergaulan yang lebih luas lagi, sepakbola menjadi lokus kebersamaan dalam lintas perkawanan. Istilah “untuk cari keringat”, paling banter itu yang menjadi alasan bagi orang-orang berumur yang sudah mulai menyadari bahaya kolestrol dan kawan-kawannya, dimana perut mulai buncit dan lemak bergelambir disetiap bagian tubuh. Itu hanya alasan nomor sekian. Bagi bocah-bocah, sepakbola sebagai ajang pencarian kebahagiaan, kebersamaan. Tertawa bersama. Sesekali bertengkar. Baku pukul. Biasalah, setelah itu salaman tanpa baperan. 

Bagi bocah zaman sekarang ini, agaknya kepingan-kepingan momori itu mulai sulit kita jumpai. Teknologi sudah begitu mendominasi dan merenggut sebagian besar waktu bermain di luar mereka karena beralih ke tatap muka dengan layar gawainya. Lebih lagi, permainan sepakbola yang senang-senang ini bergeser kepada yang lebih serius dengan kemasan industri Sekolah Sepakbola. 

Dikemas dengan professional untuk menjadikan mereka terampil dalam bermain sepakbola. Orang tua lebih cenderung mencarikan sekolah sepakbola dibandingkan membiarkan bocah-bocah bermain sepakbola sebebas-bebasnya di luar. Tidak semua anak juga mau menjadi atlit. Belum tentu juga mereka menikmati sesi latihan. Tapi bagi mereka yang dibutuhkan adalah bermain, kumpul dan senang-senang.

Permainan sepakbola yang informal itu seharusnya bisa tetap terjaga untuk setiap generasi, jangan sampai semua itu dibuat sangat formal dan rigid dalam format latihan yang kaku dan terstruktur. Bukan berarti jelek sih. Baik juga untuk anak yang memiliki minat, bakat dan ingin fokus berlatih untuk mengasah keterampilannya dalam bermain sepakbola. Ceruk-ceruk itu memang harus ada untuk pembinaan kedepannya. Tapi itu tidak mungkin diadopsi untuk sebagian banyak bocah-bocah. 

Sebagian besar bocah-bocah hanya membutuhkan fasilitas (lapangan, bola) hanya untuk bermain, berkumpul, tertawa dan gembira. Sehingga, di masa yang penuh dengan invasi teknologi ini, mereka masih tetap waras menghadapi hidup. Setidaknya mereka tertawa bersama teman-temannya bukan tertawa sendiri di depan layar gawainya. Bagi saya, kemewahan sepakbola bagi anak zaman sekarang itu bukan berada pada sekolahnya, permainannya, sepatunya atau bahkan jersey-nya. Kemewahan itu justru ada pada kesederhanaan yang pernah dulu saya dapatkan katika kecil yaitu kebersamaan bersama teman-teman, baik di saat sebelum atau sesudah bermain bersama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun