Perasaan kekaguman masih terasa dalam bait ketiga ini. Subjek-Lirik mengimajikan sosok kekasihnya yang menarik dengan kelincahan yang selalu memikat hatinya kapan juga.
//ya, teruslah berdansa di sana/ //bila senjaku tiba/ //tetaplah berdandan/
Inilah menjadi alasan akan keputusan Subjek-Lirik untuk setia menanti sosok kekasih idaman yang dirindunya //aku menantimu/.
Ia lalu mempersepsikan loyaitasnya itu dengan fenomena alam – laut yang luas tempat bersemayam kesenduan rindunya itu.
//aku menantimu/ //seperti laut/ //rumah, tempat senja lahir dan lelap/
Sengatan Romantisme
Mari kita berasumsi bahwa Christian Dari Timor adalah seorang individu yang romantis. Mari kita bayangkan manakala ia menyuarakan hasrat cintanya kepada seorang kekasih niscaya kekasihnya itu akan melambung tinggi ke udara dan tersangkut di lengkung langit, lupa bagaimana caranya turun ke bumi lagi. Mengapa demikian? Karena hanya orang yang memiliki gairah mencintai yang besar mampu bersikap sedemikian romantis, bukan? Dan hanya orang yang romantis pula yang bisa menumpahkan suatu kerinduan yang amat membuncah dalam karya seni puisi.
Romantisme memang menyengat kesadaran. Ia ingin melaju terbang ke alam ideal untuk apapun yang dihasratkan. Ia cenderung menolak suatu keadaan yang biasa-biasa saja. Ada idealisasi dalam romantisme. Ada tarikan kontradiktif yang amat kuat antara kondisi riil dengan alam romantik. Sehingga secara psikologis membentuk kompleksitas dunia batin individual.
Dari sudut pandang filsafat eksistensialisme, manusia adalah subjek yang menghidupi sekaligus menghayati dunianya. Segala hal dalam dirinya adalah buah keputusan bebas yang secara mandiri ia tetapkan. Keromantisan berada pada tataran sikap reflektif, melihat berbagai pengalaman berkesan dan memilih secara bebas mana saja yang akan dijadikan sebuah nostalgia. Hal ini dilakukan seorang individu dalam rangka memaknai apa sesungguhnya cinta itu, apa rasanya mencintai dan apa sebenarnya keberadaan manusia sebagai subjek yang mencintai.
Sengatan romantisme akan makna eksistensial tentang cinta berikut segenap rasa yang melibatkannya jelas tergambar dalam puisi Dermaga Biru. Di dalamnya berbagai kerumitan perasaan rindu (tak tertanggungkan) amat kental dirasakan pembaca.
Namun, saya kira Christian Dari Timor hanyalah seorang penyair yang berhak menyampaikan pesan suara hatinya tentang rindu dan cinta yang romantis. Ia tentu juga ingin menggugah pembaca bahwa buah dari mencintai dengan tulus adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Apalagi di tengah perubahan zaman yang serba cepat dan pragmatis seperti saat ini. Keromantisan dan kebahagian dalam bercinta menjadi barang langka karena pergeseran makna cinta itu sendiri. Di era digital ini, cinta adalah ’klik yang genit’, ia semata petualangan sensasional yang bisa saja berubah kapanpun tergantung kebutuhan menikmati sensasi itu sendiri. Inilah kiranya pelajaran moral dari hidangan ruhani puisi romantis Dermaga Biru. Salam sastra. [M.I]