Kita akan mendapati suatu jalan pikiran rasional yang menerangkan tentang konsekuensi / akibat dari sebab yang dinarasikan dalam baris-baris pada bait pertama puisi. Lebih jauh lagi, ada upaya penjelasan bernuansa filosofis tentang eksistensi diri.
Siapakah ”Aku”? Dalam filsafat beraliran eksistensi, ”Aku” menunjuk pada ”diri yang utuh” dengan kesadaran. ”Aku” adalah diri jasmani dan ruhani, mengada karena diadakan dari Yang Lebih Dulu Ada. ”Aku” adalah seorang diri (sendiri) yang mampir di dunia dengan ”batas waktu mengada” (merebah) yang ditentukan-Nya. Tetapi, bisakah ”aku” ada dan mengada tanpa ”aku yang utama / ruh”? Jawabannya tentu saja tak bisa. Karena ”aku yang utama” adalah penggerak ”aku yang jasmani sebagai wadahnya”, dan ketika dikeluarkan sebagai kembalinya ”aku yang utama” kepada ”Yang Lebih Dulu Ada”, yang menciptakan diri jasmani dan ruhaniku, maka itulah masaku kembali ke asal mula (berpulang pada tanah – ajaran Islam menyatakan bahwa awal mula manusia diciptakan dari segumpal tanah lempung).
Mengenai kata-kata yang memiliki pengertian konotatif ada pada bait kedua ini, yakni ”merebah” dengan rima yang sama dalam bunyi akhir kata ”tanah.” Konotasi kata ”merebah” merujuk pada gambaran peristiwa dramatis kematian yang dialami setiap insan seorang diri. Hal ini diperkuat dengan kata pasangannya: sendiri.
Sedangkan konotasi kata ”tanah” merujuk pada pengertian yang menggambarkan tempat kembalinya manusia ke asal-mula. Gambaran tentang ini terang dikemukakan dengan kata pasangannya ”berpulang” yang dihubungkan preposisi ”pada”menuntun arah – berpulang pada tanah.
Setelah kita menggali puisi karya penyair Lailatul Kiptiyah yang sarat nilai filosofi relijius ini, kita pun dapat memahami bahwa suatu pokok persoalan ketika dikemukakan melalui puisi ternyata lebih padat kandungan maknanya. Melalui kontemplasi pemahaman tentang tema pokok yang ingin disajikan kepada khalayak pembaca, penyair sampai pada pematangan konsepsi untuk selanjutnya dituangkan ke dalam karya puisi yang utuh. Hal penting lainnya berhubungan dengan cara menimbulkan daya gugah puitik ke hadapan pembaca adalah melalui penyajian kesan-kesan misterius sarat ketegangan (suspense), baik dengan upaya cermat pemilihan tema pokok puisi, maupun kepekaan penentuan diksi, pelukisan suasana dengan imaji dramatis yang hidup dan bangunan logika puitik yang runtut.
Demikian yang bisa saya uraikan. Saya tahu ulasan sederhana ini masihlah dangkal maka kehadiran Anda untuk memberikan tambahan penjelasan melalui kritik dan masukannya; itu sungguh menjadi air sejuk mengalir yang menghapus dahaga penasaran saya yang baru belajar mengapresiasi karya sastra. Salam sastra dan kreativitas dari saya.
* Rujukan:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/12/yang-tertinggal-pada-suatu-musim/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H