Realisme Ala Endah Raharjo : Ironi Mimpi “Wong Cilik” (Apresiasi dan Ulasan Cerpen SATU KALI DUA METER)
Pembaca yang santai..
Jauh ke belakang berabad-abad yang lalu Sebelum Masehi seorang pemain drama masa Romawi Kuno Titus Maccius Plautus (c. 254–184 BC) pernah mengungkapkan keadaan carut-marut dalam realitas sosial melalui aforismanya: Homo Homini Lupus Est (Man Is a Wolf to [his fellow] man.).
Aforisma ini terbukti kebenarannya sampai kini. Juga mengisyaratkan bahwa demi kelangsungan hidup dan eksistensi dirinya; sungguh manusia tak akan sungkan mengorbankan manusia yang lain walaupun berada dalam ruang hidup yang sama: masyarakat. Seperti refleksi hukum alam yang menyeleksi bahwa yang kuat akan merasa dirinya berhak merampas hidup yang lemah; demi perebutan posisi teratas dalam suatu rantai makanan ─ survival the fittest.
Mengapa kiranya seorang manusia menjadi serigala bagi sesamanya yang bisa dilihat dalam kenyataan hidup sehari-hari? Bagaimana prilaku saling menindas, melibas dan gragas demi mewujudkan kepentingan pribadi ini tetap ada di masyarakat dalam berbagai manifestasinya? Mengapa pertentangan antara kaum lemah yang tertindas dengan kaum pemegang kekuasaan yang jumawa tetap berlangsung sampai hari ini? Mari kita cari jawabannya dalam konteks realitas sosial masyarakat ”pinggiran kota” yang ada di negeri ini melalui pemikiran realisme ala pengarang Endah Raharjo di dalam cerpennya: Satu Kali Dua Meter.
Sebelum terlalu jauh membahasnya, tentu baik bagi kita untuk sekedar menyegarkan ingatan kembali sehubungan dengan realisme dalam kesusasteraan. Setidaknya kita tahu tentang apa maksud yang ingin disampaikan sebuah hasil cipta sastra ketika membuat suatu pencerminan kembali realitas sosial melalui perangkat khas yang dimilikinya, yakni unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsiknya, realitas serba-mungkin hasil daya kreativitas penulis sastra. Realisme dalam Sastra
Pembaca yang santai..
Sastra melalui caranya yang khas dan tidak menggurui tetapi menghibur sembari mengungkapkan apa yang terjadi secara estetis, berupaya mencerahkan masyarakat dengan membuka mata─inilah yang kita semua lakukan dan demikianlah adanya diri kita. Artinya, sastra adalah panduan yang memiliki nilai-nilai keindahan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, mengarahkan masyarakat untuk mengenal diri lebih jujur lagi dan perlahan-lahan menuntun pada suatu jalan yang sesuai fitrahnya sendiri, yakni manusia adalah mahluk berbudi-pekerti bukan hanya mahluk hewani yang ”bernafsu hidup”. Sastra memberikan tuntunan yang bisa digunakan oleh manusia agar dapat berada dalam cahaya kebenaran selama masa hidupnya, supaya tidak tersesat sebelum matanya menutup rapat.
Mengapa sastra bermaksud demikian? Sudah jelas sekali karena manusia memiliki dua kekuatan utama dalam dirinya, yakni kekuatan akal-budi dan kekuatan nafsu. Ketika manusia cenderung menjalani hidupnya hanya untuk memuaskan hawa nafsu, maka ia bisa sebuas serigala yang melahap habis sesamanya walaupun berada di dalam equilibirium sosial yang sama. Sebaliknya, manakala manusia cenderung menggunakan akal-budinya; ia akan bijaksana dan bisa menahan diri, menunjukkan sikap toleransi terhadap sesama bukan menjadi pemangsa. Pengarang sastra melihat hal ini dengan ketajaman mata batiniahnya. Melalui karya sastranya yang merefleksikan kembali kenyataan yang ditemui sehari-hari (realisme), pengarang berusaha menyentuh bagian terdalam jiwa manusia untuk memberitahukan: mana yang layak dan mana yang tak layak dilakukan manusia baik secara individual maupun kolektif.
Sastra memberdayakan nurani di dalam diri manusia dengan memberikan ”cermin kebenaran” untuk mengintrospeksi diri dari kekhilafan yang dilakukan. Inilah tujuan realisme dalam kesusasteraan, yaitu untuk mengungkapkan kenyataan sehari-hari yang mengandung nilai-nilai kebenaran universal, direfleksikan kembali sehingga membuka mata dan berupaya memperbaiki demi kemaslahatan bersama. Literature is the reflection of its society.
”Sastra memang karya tulis, akan tetapi yang penting bukanlah tulisannya, melainkan yang ada di dalamnya (Budi Darma dalam bukunya Solilokui, 1984 : 51).”