Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lastri tak mau mimpinya buyar karena lelaki bernama Roy Codet. Ia berlari keluar rumah dengan wajah marah. Diman khawatir sekali. Darto disuruhnya menyusul emaknya.

Di antara suara radio, televisi, dan tangisan bayi yang berasal dari puluhan rumah yang saling berhimpit itu Darto mendengar emaknya dan Roy Codet adu mulut di depan rumah gundik Roy Codet yang terletak dekat sungai.

Dibantu beberapa tetangganya dengan takut-takut Darto mencoba menghentikan Lastri. Namun perempuan itu seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Suaranya lantang menantang. Pembaca yang santai..

Pada bagian klimaks cerita kita menyaksikan betapa mirisnya nasib sang tokoh utama, berikut ini ilustrasinya:

Saking marahnya, tiba-tiba tangan berotot Roy Codet terangkat dan mendarat di pipi Lastri. Perempuan itu terpental ke belakang dan mengaduh panjang. Darto mencoba melindungi emaknya.

Roy Codet mendekat dan menarik paksa tubuh Darto yang telungkup di atas tubuh emaknya. Dengan sekuat tenaga Roy Codet melempar tubuh kurus itu ke samping. Terdengar suara benturan keras. Kepala Darto menghantam batu besar yang biasa dipakai duduk-duduk anak-anak kecil sehabis bermain-main di sungai.

Suasana berubah senyap. Tubuh Darto tergeletak tidak bergerak. Lastri merangkak mendekati tubuh Darto. Dilihatnya darah segar mengalir dari bawah kepala anaknya dan pelan-pelan merembes ke tanah. Lastri melolong panjang dan pilu, gemanya terbawa aliran sungai hingga ke ujung kampung.

Pengarang menarik perhatian kita dengan melukiskan resiko yang diterima Lastri dengan tindakan impulsifnya yang dipengaruhi emosi dan ketakutan kehilangan impian muluknya. Protagonis tidak saja mengalami kekerasan secara langsung dari tindakan ala premanisme, tetapi ia juga mesti nelangsa kehilangan anak sulungnya yang tewas mengenaskan di tempat kejadian yang disaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Selain daripada gambaran konsekuensi yang diterima tokoh utama, kita juga dapat melihat secara tersirat ada gambaran tumpulnya hukum melalui tindakan anti-sosial yang dilakonkan antagonis. Betapa merajalelanya gejala premanisme ketika pudarnya pengaruh hukum positif melalui kewenangan resmi di masyarakat. Betapa ketidakadilan sosial akan menjadi momok menakutkan bagi kaum yang lemah, karena setiap waktu menjadi objek penindasan tangan-tangan besi yang ringan menggunakan kekerasan. Di sini pengarang memaparkan secara apa adanya tentang premanisme dan pungutan liar menggejala sebagai salah satu patologis sosial akibat hukum yang tidak tegas memberantasnya.

Cerpen realistik ini akhirnya ditutup dengan resolusi yang menyajikan sebuah ironi dramatis.

Wajah Lastri membeku. Pipinya lebam biru. Dengan sorot penuh duka matanya tak berkedip memandangi lubang satu kali dua meter, sedalam sekitar dua meter, yang tengah ditimbun tanah oleh para tetangganya yang mengubur jenazah Darto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun