Ilustrasi, Jokowi-JK (kompas.com)
Penegak hukum kebakaran hutan dan lahan bergerak cepat. Sampai Kamis minggu lalu penyidik polisi menetapkan 140 tersangka, tujuh diantaranya petinggi perusahaan pada tingkat manajer dan direksi. Saat bersamaan, penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyidik kasus di Sumatera dan Kalimantan.
"Wah, hebat Presiden..." demikian pikir saya. Saya sungguh tidak menyangka gebrakannya akan sampai sejauh itu, karena selama ini kasus pembakaran hutan itu ditutup-tutupi seolah-olah kebakaran biasa saja. Baru di era Presiden Joko Widodo yang sarjana kehutanan itulah tindakan tegas benar-benar dilakukan.
Betapa tidak, karena beberapa waktu yang lalu saya menerima pesan berantai yang isinya mempertanyakan keberadaan Jokowi di lokasi kebakaran hutan. Kehadirannya dikatakan tidak berguna, karena hanya sekedar pencitraan saja....., tidak ada manfaatnya sama sekali. Dikatakan bahwa sebaiknya seorang presiden itu tugasnya memberikan instruksi saja dari istana agar dilaksanakan bawahannya. Tidak perlu sampai "blusukan" ke lokasi kebakaran. Saat ketika saya membaca pesan berantai itu, saya merasa bahwa sebagai seorang sarjana kehutanan tentunya Jokowi tahu persis seluk beluk hutan dan permasalahannya. Nah..., disitulah orang kecele. Orang lupa, bahwa Jokowi itu ahli dalam masalah hutan.
Tapi yang sangat mencengangkan  banyak orang termasuk saya adalah tindakannya yang tegas. Meringkus pelaku pembakaran hutan tanpa kompromi, penegakan hukum yang tegas dan berefek jera. Dari mulai ancaman kurungan 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp. 10 milyar, sampai mencabut ijin konsesi. Pemiliknya, Direksi serta Komisaris nya akan dimasukkan daftar hitam dan tidak akan diberi konsesi lagi.
Langkah Presiden Joko Widodo ini patut diapresiasi karena langkah tersebut sekaligus membuktikan bahwa selama ini sepertinya pemerintah tidak pernah tuntas dalam melakukan penanggulangan masalah kebakaran hutan tersebut. Ternyata "blusukan" Jokowi menuntaskannya.
Â
DWELLING TIME
Presiden Jokowi marah ketika melakukan kunjungan ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Juni lalu. Kemarahan ini dipicu beberapa masalah, seperti belum adanya perubahan yang signifikan dari proses waktu bongkar muat (dwelling time) yang masih memakan waktu 6 hari, padahal dirinya menginginkan agar dwelling time dipangkas menjadi 4,7 hari agar dapat bersaing dengan negara ASEAN lainnya.
Hal lainnya yang memicu kemarahan Presiden adalah tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan terkait siapa yang masih menyumbang lamanya proses dwelling time dari salah satu petugas yang sebelumnya dianggap petugas operator pelabuhan dalam hal ini PT Pelindo II (Persero).
Sekali lagi, orang lupa bahwa Jokowi itu punya pengalaman sebagai eksportir, jadi sangat kaya pengalaman di pelabuhan.
Dari marahnya Presiden Joko Widodo di Pelabuhan Tanjung Priok itu mengakibatkan terbongkarnya kasus korupsi di Kementerian Perdagangan. Lagi-lagi orang terkejut. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan ketika itu kedapatan menyimpan uang ratusan juta rupiah dalam bentuk dolar AS dan Singapura dan berujung ditangkapnya pejabat tersebut.
Pada 12 Agustus 2015 lalu Presiden Joko Widodo melantik DR. Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Maritim. Kemudian ruang lingkupnya diperluas sehingga menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, dimana tujuh Kementerian berada dibawah koordinasinya.
Nah, setelah Rizal Ramli masuk kedalam Kabinet Kerja ternyata Rizal Ramli (RR) memperagakan jurus "Rajawali Ngepret". Kepretan RR ini membuat publik terkesiap dan menimbulkan pro-kontra. Banyak orang bertanya kenapa RR berani seperti itu? Sebuah pertanyaan yang pada awalnya sulit dijawab, namun bagi pemerhati politik yang jeli sebenarnya tidak sulit untuk menjawabnya.
Ketika saya hadir mengikuti acara ILC yang di pandu Karni Ilyas di TV One hari Selasa lalu (15/9) Prof. Tjipta Lesmana menegaskan bahwa sebenarnya Jokowi sedang memainkan jurus yang mengandung risiko tinggi karena "membiarkan" Rizal Ramli melakukan kepretannya. Memang pada mulanya, kepretan Rizal Ramli menimbulkan dugaan telah terjadi keretakan internal dalam tubuh pemerintah. Tapi, seiring dengan perjalanan waktu sebagian masyarakat bersimpati terhadap kepretan RR. Publik menjadi tahu apa yang terjadi dibalik rencana pembelian pesawat Garuda, masalah listrik, Dwelling Time di Pelabuhan dan sebagainya.
Ada yang menarik ketika hari Jumat siang pekan lalu saya menghadiri suatu diskusi terbatas khusus untuk membicarakan masalah DWELLING TIME, dimana para peserta diskusi itu terdiri dari orang-orang yang faham tentang Dwelling Time (DT). Ternyata masalah DT ini adalah masalah lama dan bahkan orang-orang sudah pada teriak "TURUNKAN DWELLING TIME!". Hal itu salah satunya terbukti dari Cover majalah INDONESIA SHIPPING TIMES Edisi 64-V- Oktober Tahun 2013 yang saya muat gambarnya dibawah tulisan ini.
Ini, lagi-lagi bukti bahwa apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan kemudian di gebrak oleh POLRI dan di kepret oleh Rizal Ramli selaku Menko Maritim dan Sumber Daya adalah TEPAT SASARAN. Rizal Ramli selaku Menko Maritim dan Sumber Daya telah membuat Task-Force untuk menurunkan Dwelling Time (DT) pada tgl. 25 Agustus 2015, hanya 13 hari setelah pelantikannya. Hari ini DT sudah turun menjadi 4,6 hari saja.
Kalaulah sekarang ini ada pihak-pihak yang melakukan pembangkangan terhadap Rizal Ramli, maka itu ARTINYA pihak-pihak atau orang-orang tersebut sebenarnya melakukan pembangkangan bahkan MENANTANG Presiden Republik Indonesia. Kita tunggu apa tindakan Presiden terhadap mereka.
[caption caption="2013"]
[caption caption="Terbit 2013"]
 [caption caption="OKTOBER 2013"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H