Dimuat di Harakatuna, 30 Juli 2018Â
Ekstrimisme dalam beragama dewasa ini masih dan bahkan semakin mewabah pada diri sebagian umat Islam di dunia, termasuk umat Islam Indonesia. Kelompok ekstrim dan radikal tersebut, menumbuhkan pemahaman beragama dan bernegara yang menentang ideologi kebangsaan dan nasionalisme yang sudah ada. Mereka ingin menggusur ideologi pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain, karena dirasa tidak cocok. Bahkan, secara gamblang mereka ingin mendirikan negara khilafah di Indonesia.
Anehnya kelompok ekstrim tersebut merupakan orang-orang yang berpendidikan, bahkan berada dalam lingkungan institusi pendidikan. Bagaimana tidak, kelompok radikal tersebut sudah mulai tumbuh di sebagian institusi pendidikan di Indonesia. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama kita juga mengatakan hal yang sama bahwa perkembangan kelompok ekstrim ini telah mencapai level mengkhawatirkan. Sebab isu ekstrimisme ini sudah merambah dunia pendidikan Islam, yang tentu dapat mengancam keutuhan keberagamaan dan nasionalisme bangsa.
Penyebab kelompok ini muncul, menurutnya, disebabkan oleh oknum dan kelompok Islam yang memahami nilai-nilai Islam secara konservatif, tertutup. Mereka mengabaikan konteks dalam memahami dalil-dalil yang bersifat tekstual. Dalam artian, mereka cenderung tidak menerima penafsiran yang kontekstual, dan lebih suka dengan pemahaman yang tekstual.
Melalui fenomena inilah segenap elemen bangsa harus menjadi agen penjaga moderasi, terutama para pendidik agama Islam, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ekstrimisme sudah merambah wilayah pendidikan Islam. Semua harus turut menjaga, merawat, dan membangun cara beragama yang khas Islam Indonesia. Dan begitu juga, harus waspada dan menolak regulasi keberagamaan yang secara esensial telah masuk dalam kategori ekstrimisme yang menentang kebangsaan dan nasionalisme.
Esensi Beragama
Dari fakta tersebut pula, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka belum mengerti esensi beragama. Perlu diketahui, bahwa agama dan beragama merupakan dua dimensi yang saling terintegrasi antara satu dan yang lain. Prof. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa agama merupakan seperangkat keyakinan dan amalan yang bersumber dari wahyu, dipilih dengan kesadaran untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan beragama berarti mengintrodusir nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan pribadi sehari-hari, keluarga dan masyarakat.
Keyakinan dan amalan tersebut tentu saja bukan sesuatu yang buruk, karena bersumber dari wahyu yang keotentikannya sangat terjaga. Nah, apabila ada kelompok ekstrem yang mengatakan bahwa perbuatan dan amalan yang dilakukan berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits, namun perbuatan itu menyimpang, berarti mereka telah salah menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut. Karena sejatinya tidak ada teks keagamaan yang salah, melainkan pemahaman yang salah dalam memahaminya.
Agama sendiri dalam bahasa Sansekerta memiliki arti keteraturan, berasal dari dua kata, "a" yang berarti tidak dan "gama" yang berarti tidak teratur. Jadi, agama itu adalah teratur atau keteraturan. Sedangkan dalam literatur Islam dikenal kata "ad-dn" yang sering dimaknai sebagai agama. Kata ad-dn berasal dari kata dna, yadnu, dainan, yang berarti hutang, kontrak. Dalam Kamus al-I'jaz wa al-jaz, ad-dn berarti perjanjian dan persiapan yang dilandasi sebuah ketaatan.
Jadi kelompok radikal yang mengatasnamakan agama, artinya mereka belum mengerti esensi dalam beragama. Sebab, orang yang sudah menyatakan kontrak, maka akan terikat, dan wajib memenuhi kontraknya. Implikasi dari kontrak adalah tunduk dan ketaatan, yang jika sudah diikat dengan kuat maka akan melahirkan sikap komitmen. Dan komitmen beragama terdiri atas dua macam, yakni pertama, kontrak manusia dengan Tuhan (dnun, dnan), dan kedua, kontrak manusia dengan manusia (dainun-madnatun).
Agama Perdamaian
Di dalam salah satu ayat al-Qur'an (Surat Ali Imran ayat 19), disebutkan kata ad-dn yang bersandingan dengan kata Islam. Kata ad-dn berarti agama yang muaranya pada komitmen itu sendiri, sedangkan Islam, yang berasal dari kata aslama yang berarti berserah diri, dan kata derivasinya salm yang berarti damai. Jadi Islam itu merupakan agama perdamaian. Bahkan, dalam salah satu ayat pula Allah memerintahkan manusia untuk masuk ke dalam perdamaian secara total. Dan memang, komitmen berIslam harus seperti itu, jika sudah berIslam maka harus sesuai dengan ajaran Islam, yakni mengajak pada perdamaian, bukan justru menebar pemahaman-pemahaman yang salah terhadap al-Qur'an.
Karena itu, gerakan-gerakan keagamaan yang berbau radikal, yang tidak menyeru pada perdamaian, alias yang memperkeruh Islam yang sebenarnya agama perdamaian menjadi seolah agama penuh dengan teror dan radikal, harus dibumihanguskan. Sebab, bila gerakan melawan kelompok ekstrim tersebut tidak ditekankan kepada segenap elemen bangsa, negeri yang damai menjadi hanya sekadar cita-cita dan angan yang tak kunjung terealisasikan.
Dan selanjutnya, agama terutama Islam harus dijadikan setiap umat sebagai spirit bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia, dari sekarang hingga di masa mendatang. Karena dulu telah banyak juga peradaban besar dalam sejarah manusia yang berkembang berkat peran yang besar dari agama. Kita harus mampu membawa Islam sebagai agama yang benar-benar rahmatan li al-'alamin, dan perihal pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah memerangi gerakan radikal dan teror, agar negara ini selalu aman dan tentram. Wallahu a'lam.
Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H