Dimuat di Tribun Jateng, 6 Juli 2018
Oleh : Muhammad Ali Fuadi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang
Momentum Pilkada serentak yang dihelat pada 27 Juni 2018 kemarin tentu menyita banyak perhatian publik. Sebab ini soal kepemimpinan untuk lima tahun mendatang di setiap daerah. Hal ini penting mengingat selama ini telah banyak harapan publik yang hilang, karena para pemimpinnya tidak mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Bahkan mereka diselimuti rasa kecewa yang berkepanjangan karena tidak sedikit pemimpin yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, juga nepotisme.
Pada pilkada serentak jilid ketiga ini, tentu diharapkan akan muncul pemimpin yang benar-benar mampu memperjuangkan hak rakyat. Pemimpin yang jauh dari sifat munafik seperti melakukan korupsi dan sebagainya itu. Pemimpin yang memiliki kemampuan mumpuni dalam menata setiap daerah di segala bidang demi terciptanya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah Swt.
Salah satu hal penting yang terjadi pada setiap pelaksanaan Pemilu atau Pilkada adalah soal perebutan kekuasaan yang bisa melahirkan persaudaraan, dan bahkan juga biasanya menimbulkan permusuhan. Keduanya mudah terjadi, lantaran dalam demokrasi ada yang namanya kawan dan lawan politik---dan ini juga berlaku untuk para pendukung setiap calon---, sekalipun sebenarnya dalam politik tidak ada baik kawan maupun musuh yang abadi. Semuanya bisa terjadi tergantung permainan waktu. Dalam artian, banyak politisi yang semula lawan menjadi kawan politik, dan begitu juga sebaliknya.
Ironi Pasca Pemilihan
Saat selesai kampanye dan pemilihan, ada hal paling ironis di dalam lingkungan masyarakat, baik tingkat elit maupun awam sekalipun, yaitu pada saat menunggu hasil penghitungan suara. Hari pemungutan suara yang diharapkan mampu menjadi penyejuk dan kedamaian di hati masyarakat justru setelahnya menjadi hari-hari penuh dengan pertikaian sampai hasil resmi penghitungan suara diumumkan, bahkan sampai setelahnya masih tercium bau pertikaian tersebut.
Menengok Pemilu dan Pilkada sebelum-sebelumnya, banyak terjadi adu opini tentang siapa yang menang dalam bentuk quick count, terutama bagi pasangan yang dalam quick count terdapat sedikit selisih perbedaan berapa persen suara yang didapat. Adu opini dalam hal ini justru lebih parah dibandingkan ketika masa kampanye, sehingga menyebabkan permusuhan antara satu dengan yang lain semakin masif.
Lebih miris, perang opini quick count ini didukung oleh banyaknya lembaga survei pesanan yang tentunya semakin menambah keruh suasana demokrasi Indonesia. Antara satu dengan yang lain, saling claim kemenangan pasangan calon, sehingga masyarakat semakin bingung dan sekaligus geram. Tak pelak terdapat tidak sedikit masyarakat yang terbawa suasana tersebut, sehingga cekcok dalam masyarakat dan utamanya melalui sarana media semakin tak terbendung.
Media sosial ramai dengan jari-jari netizen yang sensitivitas emosionalnya sangat tinggi. Semua mengeluarkan fatwa dari berbagai media yang menayangkan kemenangan pasangannya, dan bahkan tak jarang mereka beropini pribadi untuk menguatkan fatwa tersebut. Walhasil, demokrasi yang diharapkan menjadi penyejuk masyarakat dengan datangnya pemimpin baru, justru menjadi malapetaka dan perusak persaudaraan di dalam masyarakat.
Menomorsatukan Persaudaran