Mohon tunggu...
Muhammad Aziz
Muhammad Aziz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Jalmi Alit

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kebijakan Pemilihan Kepala Daerah: Analisis Kebijakan Pilkada Melalui Pemilihan Langsung Dan Pemilihan Terwakil Terhadap Pemerintahan yang Demokratis

27 Desember 2024   14:47 Diperbarui: 27 Desember 2024   14:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konstitusi menggariskan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil), sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Pemilu menjadi mekanisme yang memastikan keterwakilan rakyat secara demokratis, memungkinkan rakyat memilih pemimpin dan wakil yang diharapkan dapat menjalankan kehendak rakyat. Dengan demikian, pemilu menjadi perwujudan nyata kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pasca reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan signifikan, terutama dalam mekanisme pemilihan pejabat publik. Pemilihan kepala daerah (pilkada), yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, mengharuskan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Namun, makna "dipilih secara demokratis" menimbulkan perdebatan. Ada dua pandangan utama: satu mengusulkan pilkada langsung oleh rakyat, sementara yang lain menghendaki pilkada melalui sistem perwakilan oleh DPRD.

Pemilihan langsung adalah proses di mana masyarakat secara langsung memilih kepala daerah melalui pemungutan suara. Mekanisme ini memberikan kendali langsung kepada warga negara terhadap siapa yang akan memimpin mereka. Pemilihan langsung memiliki beberapa kelebihan. Pertama, partisipasi politik masyarakat cenderung meningkat karena mereka dilibatkan secara langsung dalam proses pemilihan. Kedua, kepala daerah yang terpilih langsung memiliki legitimasi yang kuat karena didukung oleh mayoritas suara rakyat. Ketiga, mekanisme ini meningkatkan akuntabilitas publik karena kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada masyarakat yang memilihnya. Namun demikian, pemilihan langsung juga memiliki kelemahan, seperti biaya pelaksanaan yang tinggi, potensi konflik horizontal, terutama di wilayah dengan keberagaman yang tinggi, serta risiko praktik politik uang yang meningkat.

Sebaliknya, pemilihan terwakil adalah proses di mana kepala daerah dipilih oleh anggota legislatif daerah atau melalui mekanisme perwakilan lainnya. Sistem ini dirancang untuk menghemat biaya dan mengurangi potensi konflik di masyarakat. Pemilihan terwakil memiliki kelebihan, termasuk efisiensi biaya karena tidak memerlukan pengeluaran besar seperti halnya pemilihan langsung. Selain itu, keterlibatan legislatif dapat membantu menjaga stabilitas politik dan meminimalisasi potensi konflik antar masyarakat. Kepala daerah yang dipilih melalui sistem ini juga cenderung dipilih berdasarkan kriteria kemampuan dan pengalaman, bukan semata-mata popularitas. Namun, pemilihan terwakil juga memiliki kekurangan, seperti minimnya partisipasi publik dalam proses pemilihan. Hal ini dapat menyebabkan kepala daerah yang terpilih dianggap kurang representatif dan legitimasi kepemimpinannya menjadi lemah. Selain itu, proses pemilihan oleh legislatif dapat membuka peluang terjadinya transaksi politik yang merugikan.

Dampak kedua model ini terhadap demokrasi cukup signifikan. Pemilihan langsung memperkuat prinsip demokrasi partisipatif, sementara pemilihan terwakil lebih mendekati model demokrasi perwakilan. Dalam hal keseimbangan efisiensi dan legitimasi, pemilihan langsung memberikan legitimasi yang lebih kuat tetapi dengan biaya yang tinggi, sementara pemilihan terwakil menawarkan efisiensi yang lebih baik namun berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan. Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, kepala daerah yang dipilih langsung cenderung lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sedangkan kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme perwakilan memiliki peluang lebih besar untuk fokus pada agenda jangka panjang tanpa tekanan populisme.

Penelitian dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah lebih cenderung sebagai demokrasi perwakilan, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. UU ini mengadopsi asas-asas demokrasi langsung, yaitu pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu langsung ini dianggap sebagai bentuk sistem rekrutmen kepala daerah yang demokratis. Dengan dasar hukum yang kuat, seperti Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, pilkada langsung menjadi mekanisme yang memungkinkan rotasi kekuasaan, transparansi, dan keterlibatan rakyat secara aktif. Peraturan ini mencerminkan prinsip demokrasi, memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Pilkada langsung melalui pemilu direkomendasikan untuk tetap dipertahankan guna menjaga prinsip demokrasi yang konstitusional dan stabilitas politik. Secara konstitusional, Indonesia sebagai negara Republik menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dalam konteks ini, pengisian jabatan kepala daerah harus dilakukan langsung oleh rakyat, sesuai dengan prinsip sistem pemerintahan presidensial yang menegaskan pemilihan eksekutif secara langsung. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat menimbulkan konflik politik, mengurangi legitimasi kepala daerah, dan menggeser sistem pemerintahan ke arah parlementer, yang bertentangan dengan konstitusi.

Secara politik, pilkada langsung membangun legitimasi yang setara antara kepala daerah dan DPRD, menjaga stabilitas politik, serta menghindari konflik berkepanjangan. Kepala daerah yang dipilih DPRD cenderung kehilangan independensi dan dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Selain itu, gubernur yang tidak dipilih langsung akan kehilangan legitimasi di hadapan bupati/wali kota yang dipilih langsung, menghambat koordinasi pemerintahan. Meskipun pilkada langsung mendapat kritik terkait biaya tinggi, politik uang, dan kekerasan, solusi untuk mengatasi masalah tersebut telah diusulkan. Biaya pemilukada dapat ditekan melalui pemilu lokal serentak, mengurangi frekuensi pemilu dan biaya kampanye. Masalah penyalahgunaan jabatan oleh petahana untuk kepentingan kampanye dapat diatasi dengan pengaturan lebih ketat terkait bantuan sosial dan anggaran pembangunan. Sementara itu, kekerasan yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh pilkada, melainkan karena kurang efektifnya saluran aspirasi masyarakat dan lemahnya pelembagaan konflik.

  1. Simpulan

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan elemen penting dalam memperkuat demokrasi di tingkat lokal, mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah terpilih, meningkatkan partisipasi politik masyarakat, dan memperkuat akuntabilitas publik. Namun, mekanisme ini juga menghadapi tantangan, seperti biaya pelaksanaan yang tinggi, risiko konflik horizontal, dan politik uang. Alternatif berupa pilkada tidak langsung melalui DPRD menawarkan efisiensi biaya dan stabilitas politik, tetapi mengurangi keterlibatan rakyat dalam proses pemilihan, melemahkan legitimasi kepala daerah, dan membuka peluang praktik politik transaksional. Perdebatan antara dua mekanisme ini mencerminkan upaya mencari keseimbangan antara efisiensi dan partisipasi demokratis.

Meskipun ada kritik terhadap pilkada langsung, mekanisme ini lebih sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional Indonesia, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karena itu, pilkada langsung direkomendasikan untuk tetap dipertahankan, dengan perbaikan dalam tata kelola, pengaturan biaya, dan pengawasan pelaksanaannya. Langkah-langkah seperti pemilu lokal serentak, pengawasan ketat terhadap penyalahgunaan jabatan, dan penguatan pelembagaan konflik menjadi solusi untuk mengatasi kendala yang ada, sehingga demokrasi lokal dapat berkembang lebih matang dan inklusif. Jika partisipasi masyarakat cenderung menurun atau dianggap apatis terhadap kandidat, tentu akan berdampak pada pemerintahan pasca pemilu. Pemilu hanyalah instrumen dari pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan pasca pemilu bisa berjalan efektif melalui kinerja pemimpin terpilih.

References

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun