Abstraksi
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia merupakan salah satu konsekuensi dari sistem negara hukum yang demokratis, di mana pemimpin daerah dipilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Frasa "dipilih secara demokratis" dalam pasal tersebut dimaknai sebagai pemilihan langsung oleh rakyat, yang diatur lebih lanjut dalam UU No. 8 Tahun 2015. Undang-undang ini menegaskan bahwa pilkada adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi, kabupaten, atau kota untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya secara langsung. Pilkada langsung mencerminkan kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk memilih pemimpin mereka secara bebas, rahasia, dan tanpa intervensi. Sistem ini memberikan rakyat kesempatan untuk menentukan pemimpin yang mampu membentuk pemerintahan yang melayani dan mengurus masyarakat secara adil. Akan tetapi, kebijakan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung dianggap tidak efektif mulai dari ongkos, rendahnya pemahaman politik di Indonesia, hingga partisipasi pemilih yang rendah, sehingga kepala daerah yang terpilih dianggap kurang terseleksi dan terlegitimasi. Pemilihan terwakil melalui DPRD dirasa  menjadi solusi yang efektif disebabkan minimnya ongkos politik serta dianggap demokratis karena mengandung unsur keterwakilan. Berkaca pada tahun 1999, ternyata  pemilihan  kepala  daerah  oleh  DPRD  digunakan sebagai  sarana  politik  uang.  Praktik  pemilihan  kepala  daerah  oleh  DPRD  tersebut ternyata  digunakan  untuk  jual-beli  jabatan  oleh  DPRD  pada masa  itu.  Hal  tersebut membuat  masyrakat  tidak  lagi  percaya  pada  lembaga  negara  untuk  mewakili  suara rakyat, sehingga masyarakat mengusulkan agar meletakkan pemilihan kepala daerah secara  langsung  kepada  rakyat. Ini  adalah  salah  satu  hal  yang  melatarbelakangi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur agar pemilihan  kepala  daerah dilakukan secara  langsung oleh  masyarakat.
Kata kunci: Pemilihan kepala daerah, Demokratis, Pemilihan langsung, Pemilihan terwakil
Pendahuluan
Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan elemen penting dalam konsolidasi demokrasi lokal, bertujuan membentuk pemerintahan daerah yang representatif, efektif, dan pro-publik. Namun, kualitas pilkada sangat dipengaruhi oleh kerangka hukum yang mengaturnya. Problematika yang sering muncul dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kerangka hukum yang cenderung menjadi produk politik transaksional, sehingga tidak sepenuhnya mendukung sistem pilkada yang demokratis.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tanpa menentukan metode spesifik. Interpretasi ini membuka kemungkinan dua mekanisme, yakni pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Pasca reformasi, regulasi tentang pilkada telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengadopsi sistem pemilihan oleh DPRD, sebelum digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur pemilihan langsung oleh rakyat, berlaku hingga saat ini.
Sejak diterapkannya sistem pemilihan langsung pada 2005, demokrasi di tingkat lokal mengalami dinamika signifikan. Rakyat di berbagai daerah aktif memilih pemimpin mereka, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Meskipun sistem ini meningkatkan partisipasi publik, biaya yang dikeluarkan dari APBD mencapai triliunan rupiah. Dalam perjalanannya, muncul pertanyaan di masyarakat tentang relevansi pemilihan langsung dengan tujuan demokrasi, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah. Biaya yang dianggap membengkak ini menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya pemilihan langsung melalui pilkada ini dianggap relevan? Mengingat biaya yang dikeluarkan dan segala dinamikanya dianggap belum menjamin partisipasi aktif yang tinggi di masyarakat.
Kritik terhadap sistem ini mendorong pemerintah mengusulkan perubahan melalui Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), yang mengusulkan pemilihan gubernur oleh DPRD. Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), yang mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan gubernur dari langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD. Usulan ini memicu perdebatan serius karena berpotensi bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD 1945.
Pelaksanaan pilkada 2024 di Jawa Barat berlangsung dengan adanya 4 pasangan calon yaitu Dedi Mulyadi dengan Erwan Setiawan dari Kim plus, Ahmad Syaikhu dengan Ilham Akbar Habibie dari PKS, Acep Adang Ruhiat dengan Gitalis Dwi Natarina dari PKB dan Jeje Wiradinata dengan Ronal Surapradja yang dimenangkan oleh pasangan Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan dari KIM Plus. Akan tetapi, proses politik yang terjadi dalam Pilkada Jawa Barat kemarin tidak membuat partisipasi aktif atau partisipasi pemilih meningkat. Persentase suara pemilih yang masuk di Pilkada Jawa Barat hanya menyentuh angka 68 persen. Tentunya, ini menjadi sebuah pertanyaan mengenai apakah dengan diadakannya pilkada langsung merupakan hal yang relevan dengan peningkatan demokrasi di Indonesia.Â
Pembahasan
Dalam sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Kedaulatan ini diwujudkan melalui mekanisme pemilu, yang menjadi sarana utama pelaksanaan hak politik rakyat untuk memilih wakil-wakilnya. Pemilu tidak hanya mencerminkan kebebasan politik, tetapi juga menjadi momentum evaluasi dan pembentukan kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah. Pemilu adalah syarat esensial bagi demokrasi, karena memberikan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan negara. Prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan, keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan menjadi indikator pemilu yang demokratis. Dalam konteks ini, wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu bertindak atas nama rakyat, menentukan corak pemerintahan, dan menetapkan tujuan negara. Oleh karena itu, kehadiran pemilu yang demokratis menjadi ciri penting negara demokrasi.