Tidak dapat dipungkiri sektor perkebunan kelapa sawit memang menyerap tenaga kerja yang banyak dan mendorong perekonomian nasional.
Hal tersebut disebabkan karena permintaan minyak kelapa sawit yang terus meningkatkan yang disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) and the Food and Agriculture Organization (FAO)Â mencatatkan permintaan minyak kelapa sawit akan sebanyak 218,3 juta ton pada tahun 2025. Data tersebut cukup siginifikan jika dilihat pada tahun 2014 permintaan minyak kelapa sawit hanya sebanyak 167,5 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Areal perkebunan Kelapa Sawit menyentuh 14,6 juta Ha pada tahun 2021 dengan produktivitas Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 45,1 juta ton.
Dengan begitu, Indonesia memenuhi permintaan minyak kelapa sawit dunia sebesar 20%. Selain itu, kehadiran kelapa sawit juga membantu trade-off fuel-food yang dialami negara maju.
Hal tersebut terkonfirmasi pasalnya negara maju menggunakan 38% Â impor menyak kelapa sawitt untuk energi baik biodiesel maupun listrik.
Tetapi meski minyak sawit menjadi andalan komoditas ekspor di Indonesia, tata kelola sawit berkelanjutan belum berjalan dengan baik. Banyak persoalan yang harus segera dibenahi pemerintah dengan membenahi regulasi.Â
Problematika Kelapa Sawit
Sejak tahun 1970, industri kelapa sawit memang sudah diterpa berbagai isu seperti isu pembangunan desa, isu sosial, isu lingkungan dan keberlanjutan.
Hal tersebut terjadi karena perkebunan kelapa sawit hampir selalu mengorbankan hutan. Tidak hanya itu, paradigma pembangunan industri kelapa sawit menerapkan common property yaitu milik pribadi. Hal tersebut membuat orang melakukan eksploitasi secara besar-besaran tanpa rasa bersalah.Â