"Sesungguhnya ketika Nabi mereka meninggal, penduduk Persia ditipu oleh Iblis dan agama mereka menjadi agama majusi."
Kutipan ini berasal dari Ibnu Abbas, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW dan juga ahli tafsir terkemuka dalam sejarah Islam. Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa setelah Nabi Zoroaster (Zarathustra) wafat, Iblis mengganti agama yang diajarkan Nabi tersebut dengan ajaran agama majusi. Namun, perlu diingat bahwa kutipan ini tidak secara langsung terkait dengan agama Islam.Â
Sebaliknya, ini berkaitan dengan agama majusi yang berkembang di Persia pada masa lalu yang berkembang di Persia (sekarang Iran) sebelum masuknya Islam ke wilayah tersebut. Majusi adalah sebutan untuk pengikut ajaran Zoroastrianisme, agama yang didirikan oleh Nabi Zoroaster (Zarathustra) pada abad ke-6 SM.
Menurut sejarah, agama Zoroastrianisme merupakan agama resmi di Persia selama ratusan tahun sebelum masuknya Islam. Namun, pada masa itu, agama majusi telah terdistorsi dan dipengaruhi oleh ajaran dan praktik lain yang bertentangan dengan aslinya. Kutipan Ibnu Abbas mengindikasikan bahwa Iblis memanfaatkan situasi ini dan memperdaya penduduk Persia untuk mengikuti ajaran agama majusi yang terdistorsi itu.
Perlu dicatat bahwa dalam agama Islam, Iblis dianggap sebagai musuh manusia dan sering disebut dalam Al-Quran sebagai penggoda dan pemfitnah. Oleh karena itu, kutipan Ibnu Abbas ini memberikan pesan moral untuk waspada terhadap pengaruh dan tipuan setan dalam mengikuti ajaran agama dan kepercayaan. Kutipan Ibnu Abbas tersebut memberikan gambaran tentang sejarah agama di Persia dan bagaimana agama majusi terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal sehingga menyimpang dari ajaran aslinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam sejarah, agama dan kepercayaan seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya, politik, dan sosial di sekitarnya.
Terkait dengan agama majusi, sebelumnya disebutkan bahwa agama ini didirikan oleh Nabi Zoroaster (Zarathustra) pada abad ke-6 SM di Persia. Agama ini mengajarkan keyakinan pada Tuhan yang tunggal, Ahura Mazda, yang dianggap sebagai sumber kebaikan dan kebenaran. Selain itu, agama Zoroastrianisme juga mengajarkan tentang kebebasan berpikir, perbuatan baik, serta keadilan dan kebenaran sebagai nilai-nilai fundamental.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan terdistorsi. Pengaruh dari agama lain, seperti paganisme dan budaya Persia kuno, turut mempengaruhi ajaran majusi. Misalnya, praktik penyembahan api dan cahaya, serta kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib seperti jin dan peri, mulai bercampur aduk dengan ajaran Zoroastrianisme.
Selain itu, pada masa kekuasaan dinasti Sassanid di Persia (224-651 M), agama Zoroastrianisme menjadi agama resmi dan dijadikan alat politik oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, ajaran agama majusi menjadi terbatas pada kalangan elit dan tidak berkembang secara luas di masyarakat.
Ketika Islam masuk ke Persia pada abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia memeluk agama Islam dan ajaran majusi perlahan-lahan mulai menghilang. Namun, ada beberapa praktik dan kepercayaan majusi yang masih bertahan hingga saat ini, terutama di kalangan Zoroastrianisme yang masih eksis di Iran.
Dalam Islam, sejarah agama dan kepercayaan di masa lalu memiliki banyak pelajaran dan pesan moral yang dapat diambil. Salah satunya adalah pentingnya menjaga ajaran agama agar tidak bercampur aduk dengan praktik dan kepercayaan lain yang bertentangan dengan ajaran aslinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengaruh budaya dan politik dapat memengaruhi perkembangan ajaran agama, sehingga penting untuk mengetahui dan memahami sejarah agama secara utuh dan komprehensif.
Pendapat Ibnu Abbas mengenai pengaruh Iblis terhadap agama Persia setelah kematian Nabi mereka, mengacu pada perubahan-perubahan dan distorsi yang terjadi pada ajaran Zoroastrianisme, agama yang didirikan oleh Nabi Zoroaster (Zarathustra) pada abad ke-6 SM di Persia. Pada awalnya, agama Zoroastrianisme mengajarkan keyakinan pada Tuhan yang tunggal, Ahura Mazda, yang dianggap sebagai sumber kebaikan dan kebenaran. Selain itu, agama Zoroastrianisme juga mengajarkan tentang kebebasan berpikir, perbuatan baik, serta keadilan dan kebenaran sebagai nilai-nilai fundamental. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan terdistorsi.
Menurut legenda, Nabi Zoroaster menerima wahyu dari Ahura Mazda dalam bentuk suara atau cahaya, dan ia kemudian menyampaikan wahyu tersebut kepada pengikutnya. Ajaran Zoroastrianisme memandang Ahura Mazda sebagai Tuhan yang menciptakan dunia dan menguasai seluruh alam semesta. Ahura Mazda dipercayai sebagai Tuhan yang baik dan karenanya, hanya melakukan perbuatan baik, serta menolak segala bentuk kejahatan. Selain itu, ajaran Zoroastrianisme juga memperhatikan perbuatan manusia, dan mengajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan baik dan buruknya, serta memilih kebaikan dan kebenaran.
Dalam ajaran Zoroastrianisme, terdapat tiga nilai dasar yaitu, "Humata" yang artinya perbuatan baik, "Hukhta" yang artinya ucapan benar dan "Hvarshta" yang artinya pikiran benar. Nilai-nilai dasar ini digunakan untuk mengatur perilaku manusia dan menciptakan masyarakat yang baik dan benar. Ajaran Zoroastrianisme juga mengajarkan tentang pentingnya menghormati alam dan binatang, serta mencintai sesama manusia.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan terdistorsi. Pengaruh dari agama lain, seperti paganisme dan budaya Persia kuno, turut mempengaruhi ajaran majusi. Misalnya, praktik penyembahan api dan cahaya, serta kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib seperti jin dan peri, mulai bercampur aduk dengan ajaran Zoroastrianisme. Beberapa sumber menyebutkan bahwa agama Zoroastrianisme telah bercampur aduk dengan beberapa ajaran agama lain, seperti agama Mithraisme, yang kemudian mempengaruhi kepercayaan dan praktik ajaran Zoroastrianisme.
Ketika Dinasti Sassanid menguasai Persia pada abad ke-3 Masehi, Zoroastrianisme menjadi agama resmi di Persia. Hal ini berdampak pada perubahan ajaran agama Zoroastrianisme. Beberapa pandangan dan praktik yang semula bertentangan dengan ajaran Zoroastrianisme, mulai dianggap sebagai bagian dari ajaran tersebut, dan bahkan menjadi penting dalam upacara keagamaan. Misalnya, penggunaan minyak atau bunga-bungaan dalam upacara keagamaan, yang semula tidak ada dalam ajaran Zoroastrianisme, kemudian diadopsi dan dianggap penting.
Menurut beberapa sumber, pengaruh agama lain pada Zoroastrianisme dapat dilihat pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesusilaan, moralitas, dan filosofi. Beberapa pengaruh tersebut dapat dilihat pada praktik-praktik keagamaan, seperti upacara peringatan kematian, yang diadopsi dari agama Hindu dan Buddhisme. Selain itu, beberapa praktik seperti penggunaan mantra atau mantra magis, juga ditemukan dalam ajaran Zoroastrianisme, meskipun tidak dikenal dalam ajaran awal.
Namun, meskipun ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan distorsi, pengaruh dari ajaran awal masih dapat dilihat pada beberapa praktik dan keyakinan Zoroastrianisme modern. Misalnya, penghormatan pada api sebagai simbol kehadiran Tuhan, masih dipraktikkan oleh Zoroastrianisme modern. Selain itu, penghormatan pada alam dan lingkungan hidup, serta nilai-nilai dasar seperti kebenaran dan keadilan, masih dipegang teguh oleh Zoroastrianisme modern.
Dalam hubungannya dengan Ibnu Abbas dan pernyataannya tentang Iblis yang mengubah agama Persia setelah kematian Nabi mereka, terdapat kemungkinan bahwa Ibnu Abbas merujuk pada perubahan-perubahan dan distorsi yang terjadi pada ajaran Zoroastrianisme setelah berabad-abad berlalu. Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tentang pengaruh Iblis atau setan dalam perubahan ajaran Zoroastrianisme.
Dalam literatur dan tradisi Persia, Zarathustra sering dianggap sebagai nabi pertama yang menyerukan monoteisme. Namun, beberapa sumber sejarah menunjukkan bahwa konsep monoteisme sebenarnya telah ada sebelum kedatangan Zarathustra, dan bahkan terdapat kemiripan antara konsep Tuhan dalam agama Zoroastrianisme dengan konsep Tuhan dalam agama-agama Semitik kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Zoroastrianisme bukanlah hasil dari pengaruh dari satu nabi atau satu agama saja, tetapi terbentuk melalui pengaruh dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada pada saat itu.
Dalam literatur dan tradisi Persia, terdapat banyak legenda dan cerita mengenai kehidupan Zarathustra, yang menunjukkan betapa pentingnya tokoh ini dalam sejarah dan kebudayaan Persia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan distorsi, dan bahkan terdapat perdebatan di antara para ahli sejarah mengenai ajaran awal Zoroastrianisme.
Dalam upaya untuk memahami ajaran awal Zoroastrianisme, para ahli telah mengumpulkan dan menganalisis berbagai sumber, termasuk naskah-naskah kuno seperti Avesta, kitab suci Zoroastrianisme. Namun, sulit untuk mengetahui dengan pasti bagaimana ajaran Zoroastrianisme pada masa awalnya karena naskah-naskah tersebut juga mengalami perubahan dan penyuntingan dalam berabad-abad setelahnya.
Meskipun demikian, eksistensi Zarathustra sebagai tokoh penting dalam sejarah agama masih dapat dilihat hingga saat ini. Konsep-konsep yang diajarkan oleh Zarathustra, seperti kebenaran, keadilan, dan penghormatan pada alam, masih menjadi dasar keyakinan dalam Zoroastrianisme modern. Selain itu, penghormatan pada api sebagai simbol kehadiran Tuhan juga masih dipraktikkan hingga saat ini.
Kesimpulannya, pengaruh agama lain pada Zoroastrianisme memang terjadi, namun ajaran awal Zoroastrianisme juga memiliki eksistensi yang kuat dalam sejarah dan kebudayaan Persia. Zarathustra sebagai tokoh penting dalam sejarah agama masih dihormati dan dianggap sebagai nabi yang menyerukan konsep monoteisme. Meskipun ajaran Zoroastrianisme mengalami perubahan dan distorsi, nilai-nilai dasar seperti kebenaran, keadilan, dan penghormatan pada alam masih dipegang teguh oleh Zoroastrianisme modern. Terkait dengan pernyataan Ibnu Abbas tentang Iblis yang mengubah agama Persia setelah kematian Nabi mereka, perlu dicatat bahwa tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tentang pengaruh Iblis atau setan dalam perubahan ajaran Zoroastrianisme. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan analisis yang lebih lanjut untuk memahami dengan lebih baik sejarah dan perkembangan ajaran Zoroastrianisme.
Referensi:
- Ibn Kathir. "Al-Bidayah wa al-Nihayah." Dar al-Fikr al-`Arabi, n.d.
- Ibn Abi Hatim. "Tafsir Ibn Abi Hatim." Dar al-Wafa, n.d.
- Boyce, Mary. "Zoroastrians: Their Religious Beliefs and Practices." Routledge, 2001.
- Choksy, Jamsheed K. "Zoroastrianism." Encyclopdia Britannica, Inc., 2017.
- Encyclopdia Iranica. "Zoroastrianism i. Historical Review." Accessed April 17, 2023. https://iranicaonline.org/articles/zoroastrianism-i-historical-review.
- Encyclopdia Iranica. "Zoroastrianism ii. Historical Development." Accessed April 17, 2023. https://iranicaonline.org/articles/zoroastrianism-ii-historical-development.
- Farrokh, Kaveh. "Shadows in the Desert: Ancient Persia at War." Osprey Publishing, 2007.
- Gnoli, Gherardo. "Zoroaster's Time and Homeland." Naples: Istituto Universitario Orientale, 1980.
- Jackson, A. V. Williams. "Zoroaster, the Prophet of Ancient Iran." New York: Columbia University Press, 1899.
- Lincoln, Bruce. "Theorizing Myth: Narrative, Ideology, and Scholarship." University of Chicago Press, 1999.
- Pettazzoni, Raffaele. "The All-Knowing God: Researches into Early Religion and Culture." New York: Biblo and Tannen Publishers, 1956.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H