Dikutip dari website MKRI, statetment Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan hasil penelitian terkait pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pada 2018, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 59 putusan PUU atau sebesar 54,12% telah dipatuhi seluruhnya oleh lembaga negara; sebanyak 6 putusan (5.5%) dipatuhi sebagian; sebanyak 24 putusan (22.01%) tidak dipatuhi; serta sebanyak 20 putusan (18.34%) dengan status belum diketahui. "Belum diketahui dalam hal ini adalah belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya," ujarnya.
Wahiduddin pun mengungkapkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dipatuhi, antara lain Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 telah dipatuhi oleh KPU dengan diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang materi perubahan PKPU a quo mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan yang begitu besar pada putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan, yaitu sifat final and binding. Dengan adanya sifat ini bahwa putusan berdasarkan tingkat pertama dan terakhir adalah final dan mengikat. Terlebih tidak ada ruang yang perlu di uji lagi. Tentunya kalau dipikir secara logika bagaimana kalau suatu putusan yang bersifat final itu merugikan rakyat atau bertentangan dengan ideologi negara Pancasila, Padahal putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding. Secara preseden pasti banyak yang menolak sehingga mengakibatkan tidak patuhnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan asumsi sedemikian rupa.
Selanjutnya adalah sebuah konsep berpikir masyarakat pasti akan menanyakan. Undang-Undang mana yang akan dipakai. Secara fenomena real masyarakat banyak tidak tahu. Ketidaktahuan Undang-Undang mana yang dipakai dikarenakan pergulatan putusan antara lembaga masing-masing karena terlalu banyak aturan yang mengatur. "Ini kayak sudah menjadi kuasa mana yang harus dipakai, padahal poin pentingnya adalah sinergitas antara lembaga".
Dilihat Berdasarkan data yang dikumpulkan. Mahkamah Konstitusi bisa dianggap sebagai anak tiri dalam lembaga negara pemerintah, padahal tugasnya tidak kalah penting dengan peranan membawa kemaslahatan rakyat. Sifatnya yang final harus diikatkan kepada masyarakat dan lembaga pemerintahan.
Ketidakadaan kepatuhan ini terjadi biasa adanya; Perbedaan interpretasi hukum antara lembaga dan praktisi hukum, setelah itu perubahan komposisi hakim MK yang berubah ubah dan tentu saja hakim yang baru mungkin memiliki pendekatan atau sudut pandang yang berbeda dalam penyelesaian gugatan yang diajukan, perubahan arus politik yang memungkinkan untuk merubah hasil putusan oleh Mahkamah Konstitusi. Sidang yang terlalalu terburu-buru dalam memutus, terakhir kuasa mana yang akan dipakai dalam lembaga pemerintahan, dalam artian Undang-Undang mana yang menjadi pegangan. Beserta gengsi antara lembaga masih kuat.
Akibat hukum yang akan dialami masyarakat adalah bimbang, keresahan, bahkan ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi akan terus bertambah. Dilihat dari tinjauan tentang supremasi lembaga masing-masing dan tidak sinergi dalam menjalankan hukum itu sendiri menjadikan hukum dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Sinergi Demokrasi, Salah Satu Harapan Membawa Suatu Interpretasi Konstitusi
Perlu penulis sampaikan catatan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa penerapan yang mampu menggaet hati masyarakat terhadap hukum itu sendiri adalah tentang transparansi pada saat uji materil atau formil dengan konsep entah daring maupun luring. Untuk luring kalau bisa dilibatkan praktisi dan masyarakat dengan keinginan mereka. ditambah Mahkamah Konstitusi jangan menunggu bola pada saat gugatan, Artinya Mahkamah Konstitusi perlu juga turun untuk mengkaji dilapangan apa keresahan masyarakat dan keinginan mereka.
Kedua tentang transparansi saat persidangan bahkan saat putusan jangan lakukan terburu terburu dengan durasi 2 minggu pada saat pengujian Undang-undang, hal itu terkesan akan menambah asumsi masyarakat dan tentu saja fungsi yang sebagaimana mestinya final masih bisa diajukan gugatan. Tentunya gugatan akan terus terjadi kembali karena efektivitas dalam pengkajian Undang-Undang tidak stabil. Jadi harus diterapkan fungsional sidang dengan waktu yang lambat supaya bisa memberikan efek jangka panjang.
Ketiga sangat diperlukan sinergitas antara lembaga pemerintah untuk support satu sama lain dalam penegakan Undang-Undang, dengan hal itu kepatuhan masyarakat terhadap Undang-Undang dicerminkan berdasarkan dari lembaga pemerintah yang patuh dan akan diikuti oleh masyarakat.