Mohon tunggu...
Shahan Shah Muhammad Fahd
Shahan Shah Muhammad Fahd Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

hobi saya menulis dan meresume

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Gerakan Pemikiran Politik Islam Kartosuwiryo dan Menyikapinya pada Masa Kini

4 Juli 2022   12:46 Diperbarui: 4 Juli 2022   12:51 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemikiran politik Kartosuwiryo merupakan salah satu pemikiran yang berkembang di masa awal kemerdekaan Indonesia.Kartosuwiryo menginginkan negara Indonesia yang baru merdeka kala itu menjadi negara yang menganut ideologi Islam dan menjadikan syariat islam menjadi hukum yang dianut di Indonesia. 

Pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 7 Agustus, diproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia” oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya,Jawa Barat. Selain sebagai tanggapan terhadap kecenderungan republik ke arah sekuler, juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis Negara Islam. 

Pergerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap  serangkaian peristiwa-peristiwa politik di masa itu. Seperti misalnya, diberlakukan sistem demokrasi terpimpin (1957-1865), lalu adanya kecenderungan negara kearah sekuler, dan juga ketidaksetujuan Kartosuwiryo terhadap adanya KMB dan perjanjian Renville yang menurut mereka merugikan Indonesia dan mereka memandang itu merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam melakukan diplomasi.. 

Sejak awal, Kartosuwiryo  meyakini bahwa bentuk negara Indonesia yang paling ideal adalah Negara Islam. Kelompok ini juga memandang  pancasila merupakan produk non-tuhan karena tidak mengakui wahyu tuhan sebagai sumbernya dan lebih bersifat sekularisme. 

Mereka juga merasa semenjak digagas Manipol-usdek, lebih banyak hal yang merugikan kelompok islam, terutama di bidang politik. Apalagi dengan munculnya NASAKOM yang makin memperuncing masalah yang dihadapi kelompok Islam kala itu untuk mendominasi perpolitikan nasional.

Dalam pandangan saya pribadi, munculnya gagasan yang direalisasikan dalam bentuk pergerakan yang dinamakan kelompok DI/TII merupakan bentuk kegagalan presiden Soekarno dalam kancah politik domestik. 

Kegagalan bung besar dapat dilihat dari banyaknya pergolakan politik di dalam negeri dalam perebutan pengaruh politik dan bahkan banyak peristiwa pemberontakan di berbagai daerah seperti DI/TII, PKI Madiun 1948, PRRI, Permesta, RMS hingga Andi Aziz dan lain-lain. 

Kekacauan yang terjadi pada masa awal kemerdekaan ini dapat dipahami karena kita sebagai negara Kesatuan yang menganut prinsip demokrasi baru belajar bagaimana cara membangun bangsa ini setelah sekian lama dijajah oleh negara lain. 

Jika kita amati lebih dalam, gagasan ini sebetulnya tidaklah sepenuhnya salah karena asas dan tujuan utamanya adalah mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, selain itu bangsa ini juga mayoritas penduduk Indonesia menganut agama islam. 

Selain itu, Sebagai negara yang menganut demokrasi hak untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan pemikiran adalah hal yang lazim dan tak boleh dilarang. Sebetulnya upaya kelompok agama terutama islam untuk mendominasi kancah politik nasional sudah ada sejak didirikannya Masyumi sebagai wadah politik kelompok islam. 

Namun dalam perjalanannya, Masyumi tidak mampu menjawab keinginan seluruh kelompok islam dalam prakteknya. Secara perlahan Masyumi mengalami perpecahan Internal yang membelah kelompok islam menjadi 2 bagian utama yaitu islam tradisional dan islam modernisme tak terkecuali DI/TII.

Namun cara yang ditempuh oleh sahabat indekos Bung Karno ini dalam mewujudkan cita-citanya tidaklah dapat dibenarkan. Meski memiliki tujuan yang baik, bila tidak dijalankan dengan proses yang baik maka hasil yang didapat juga tidak baik dan justru mengorbankan semangat persatuan itu sendiri. 

Argumen bahwa mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim bukan berarti kita harus sepakat menjadikan islam sebagai ideologi negara, karena secara kultural kita diwariskan kultur yang beragam dan juga keyakinan yang berbeda-beda seperti di wilayah Indonesia Timur dan Bali, apalagi saat itu Indonesia sedang memperjuangkan Papua untuk kembali kepangkuan ibu Pertiwi. 

Jadi bila kita menghendaki islam sebagai ideologi akan membuat masyarakat lain merasa terdiskriminasi dan membuat mereka ingin memisahkan diri dengan NKRI. 

Penumpasan DI/TII yang dilakukan oleh militer pada saat itu saya rasa, sudah cukup tepat karena sebelum dilakukan operasi pagar betis, pihak pemerintah sudah berupaya melakukan upaya dialog namun selalu menemui kegagalan dan karena DI/TII membentuk angkatan bersenjata maka tindakan militer diperlukan untuk menumpas pemberontakan DI/TII agar sebagai upaya menjaga persatuan NKRI. Pemberontakan dalam bentuk fisik sudah sewajarnya dimusnahkan karena kita sudah menjadi negara yang merdeka dan kita sudah lelah bila harus terus berperang apalagi dengan saudara sendiri. 

Seperti yang pernah disampaikan bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!”

Bisa disimpulkan munculnya DI/TII merupakan contoh aktivitas politik dalam memperoleh status dan kekuasaan yang dilandaskan pada suatu ideologi tertentu dalam hal DI/TII ialah negara yang berdasarkan pada hukum islam, namun jalan yang ditempuh merupakan tindakan yang salah dan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan makar dan merongrong kesatuan bangsa Indonesia. 

Suatu hal yang bisa kita pelajari dalam kasus ini adalah bahwasanya Indonesia sebagai negara yang luas dan plural ini pasti memiliki keunggulan dan juga kelemahan yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan. 

Sejarah ini membuka mata kita bahwa dengan adanya keberagaman yang ditakdirkan oleh tuhan harus dimaknai sebagai rahmat yang patut disyukuri. Toleransi mestilah dibina dan ditumbuhkan dan usaha untuk beragam tidak harus seagama dan seideologi, karena hakikatnya, kesatuan merupakan wujud untuk hidup bersama untuk mencapai tujuan bersama. 

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia sangat tepat bagi bangsa ini. Karena nilai yang tercantum adalah semangat kolektivitas dan keadilan yang merupakan tujuan seluruh masyarakat yang ada di Indonesia. 

Maka dengan ini saya ingin mengakhiri dengan realitas Indonesia yang merupakan negara multikultural membutuhkan peran kita sebagai anak bangsa untuk merawat kebhinekaan ini,rasa nasionalisme harus dimiliki setiap insan sebagai wujud cinta dan komitmen kepada bangsa ini sesuai cita-cita para founding fathers kita dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun