Pada tahun 1996, Azhari mengikuti Upgrading Nilai Identitas Kader (NIK) di Yogyakarta, sekarang Nilai Dasar Perjuangandan (NDP)-peny. Kemudian menjadi pembicara materi Nilai Dasar Perjuangan HMI di setiap jenjang training-training HMI. Di samping itu, aktif juga menghadiri forum-forum ilmiah, Seminar, Loka Karya dan lain-lain.
Sampai hari ini, Azhari aktif di Harian Waspada. Dari kegigihannya menulis, telah lahir beberapa karya seperti Etika Bisnis Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Hijri tahun 2000. Bersama Dr. Nur Ahmad Fadil Lubis (w. 2016) dengan judul Ekonomi Islam Pada Millinium Ketiga : Belajar Dari Pengalaman Sumatera Utara (IAIN Press dan FKEBI, Medan, 2002), sebagai kontributor dan editor Percikan Pemikiran Ekonomi Islam (Citapustaka Media Bandung tahun 2002).
Untuk HMI, dia telah menuliskan buku yang sangat spektakuler dan banyak digunakan oleh kader-kader HMI. Judul bukunya adalah Islam Mazhab HMI. Buku tersebut tentang Tafsir Tema Besar NDP HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari, dan Sakieb Mahmud. Selain tulisannya yang telah dibukukan, masih banyak lagi tulisannya yang berserakan diberbagai tempat.
Amiur Nuruddin
Amiur dari sebuah kampong bernama Cingkaring (Cingkariang) sebuah kampong yang berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Amiur yang sebenarnya sudah sangat terkenal di kancah perjuangan kemerdekaan Negara Indonesia, yaitu Bukit Tinggi. Bahkan Bukit Tinggi sebenarnya saksi bisu bahwa ia pernah menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia. Setelah menceritakan tentang Bukit Tinggi, barulah dimunculkan seorang anak manusia yang bernama Amiur Nuruddin yang lahir di Cingkaring, Bukit Tinggi, 11 Agustus 1951. Amiur merupakan orang yang sangat cinta pada ilmu, setelah tamat dari SR, ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Bukit Tinggi. Keinginannya melanjutkan ke pendidikan agama karena arahan ibunya yang menginginkan putranya untuk mendalami ilmu agama. Pilihan yang diberikan ibunya juga merupakan pilihan dirinya karena memang sejak kecil ia sudah sangat dekat dengan pendidikan agama.
Kisah tentang Amiur berlanjut sampai ia belajar ke perguruan tinggi di Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Cabang Bukit Tinggi, dan berhasil menamatkan sarjana muda (BA) dan ia melanjutkan kuliah ke tingkat doktoral di Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang, namun karena pikirannya terbagi antara kuliah dan tanggungjawab membantu ibunya di kampung, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke Jakarta yaitu ke Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Singkat cerita akhirnya ia dapat menamatkan kuliah S1nya, ia lalu melanjutkan studi S2 nya ke IAIN Yogyakarta walaupun terlebih dahulu ia harus berani untuk meminang mantan muridnya yang diajarkannya pada saat di kampung, yang sekarang sudah menjadi guru di salah satu sekolah negeri di Medan. Perjalanan hidupnya bersama orang yang ia cintai Yemmestri Enita ia lalui dengan berbagai pengalaman hidup, apalagi mereka hidup di rantau yaitu di Medan.
Deskripsi Singkat Buku
Buku inii pada mulanya merupakan catatan-catatan lepas dan bahan-bahan kuliah yang penulis siapkan untuk disampaikan dalam mata kuliah “Hukum Perdata Islam dua Indonesia” bagi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN SU Medan. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut kembali dikumpulkan dengan Topik Inti Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam tahun 1998.
Sebenarnya buku yang membahas hukum perkawinan islam cukup banyak, namun buku-buku tersevut belum ditemukan satu kajian serius yang membahas bagaimana sebenarnya perkembangan konseptual Hukum Perdata Islam di Indonesia mulai dari fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19774 sampai Kompilasi Hukum Indonesia (KHI). Buku ini tampil dengan fokus kajian yang berbeda untuk melihat perkembangan atau lebih tepatnya pergeseran hukum Islam. Mengingat persoalan ini cukup serius sekaligus menantang, maka kritik dan saran sangat diperlukan untuk kebaikan buku ini.
Perkembangan Hukum Islam dari fikih, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Islam adalah agama rahmatalilalamin. Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. ak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Peranan dan fungsi pemeliharaan agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, Pemerintah
RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: ?? Tahun ???? juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya. Pada tahun 1961 tanggal 6 Mei, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.
Maqashid Syariah UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tertulis dalam Pembukaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan setelah judul ungkapan “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” juga “Presiden Republik Indonesia” dengan huruf kavital (huruf besar), hal ini menunjukkan bahwa lahirnya UU ini tidak terlepas dari campur tangan Allah sebagai penguasa alam semesta, sekaligus indikasi adanya nilai-nilai maqashid syariah dalam UU tersebut, kendatipun UU ini berlaku umum untuk semua warga Negara Indonesia, tapi juga digunakan sebagai hukum formil umat Islam, yang kemudian ditafsirkan dengan Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Pernikahan (perkawinan).
Selanjutnya ungkapan “Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang- undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara” dan Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945:2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR 1983” juga “Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Hal ini juga mengindikasi bahwa UU ini adalah hasil musyawarah DPR (perwakilan para ulama kalau dalam kajian syiasah syariyah), didasarkan dengan falsafah Pancasila yang memang tidak bertentangan dengan syariat Islam, semangkin jelas bahwa UU ini mengandung nilai-nilai filosofis secara syariah, yaitu untuk kemaslahatan ummat, khususnya umat Islam, terutama kaum perempuan dan anak- anak hasil pernikahan, hal inilah yang menjadi dasar peneliti untuk membuktikan bahwa UU No 1 tahun 1974 syarat dengan nilai-nilai maqashid syariah. Lalu bagaimana sebenarnya tinjauan maqashid syariah UU No 1 tahun 1974 tersebut, jika dikaji Bab demi Bab juga Pasal demi Pasal serta Ayat demi Ayat yang terdiri dari 14 bab 67.
Maqashid syariah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan memuat tiga subtansi yaitu: 1). Maqashid al-Ammah: Tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia (samara) berdasar Ketuhanan Maha Esa (Allah) dan perlunya pencatatan maqashidnya li hifzu al-Din wa al-Nasl wa al-Kitabah wa al-Mashlahah (memlihara agama, keturunan dan tercacat demi kemaslahatan). 2). Maqashid al-Khassah: Fungsinya li al-Bayan al-Shahah fi al-Aqdi fi syiasyah al-Dauliyah (penegasan legalitas akad perkawinan secara hukum kenegaraan). 3). Maqashid al-Juziyah: Keadilanya li al-Adalati wa al-Hukmi baina al-Nas wa al-Khusus fi al-Muslim (keadilan semua umat khususnya muslim). Maqashid Kulliyah li hifzi al-Din (agama) wa al-Nafsi (jiwa) wa al-Aqli (akal) wa al-Nasl (keturunan) wa al-Mall (harta) wa al-’ardh (harga diri) dan al-’adl (keadilan) disempurnakan dengan al-kitabah (tertulis atau tercatat) supaya al-Ikhtiyari (sukarela), al- Amanah (menepati janji), al-Ikhtiyati (kehati-hatian), al-Luzum (tidak berubah), al-Taswiyah (kesetaraan), transparaansi, al-Taysir (kemudahan) dan iktikad baik dalam akad perkawinan serta konsensualisme, tujuan akhirnya untuk ibadahdan kemaslahatan yaitu Jalbul al-Mashalih wa Dar’ul al-Mafasid (menegakkan kemaslahatan dan menolak kemudratan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H