Mohon tunggu...
Muhammad syarif
Muhammad syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - kata adalah senjata

banyak baca lalu tuangkan dengan menulis untuk menghasilkan sebuah karya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Dialektika Gubuk) Akses Jalan di Kerkampungan Pelosok Kurang Dilirik

1 Juni 2021   00:55 Diperbarui: 1 Juni 2021   01:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu saya mudik ke Tolitoli. Seperti biasa, saya memikirkan bahwa desa, masa lalu, ketenangan, akan baik untuk memulai menulis sesuatu yang baru.Sebab, tempat kembali yang baik adalah rumah kita. Tapi, seperti biasanya juga, hal itu selalu sulit saya lakukan, Alih alih menulis, saya malah hanya menghabiskan waktu untuk nongkrong di gubuk di ujung perkampungan, tepatnya di atas puncak pegunungan, tidak lain hanya mencari sinyal agar bisa online. Namun saat saya masuk dalam perbatasan dusun tepatnya di jembatan, arus sungai sampai sampai tak tahu ingin keman lagi sampai-samai ingin memutuskan jalan kami, tak hanya itu dari dulu hingga saat ini jalan kami tak kunjung berubah menjadi lebih baik, malah semakin hancur.Tidak lain di sebabkan karena curah hujan dikala deras. konsekuensi tinggal di pelosok ya itu jalanan rusak sinyal tak ada,,! untung listrik sudah masuk.

saya pun tiba di rumah dengan keadaan lemas, mungkin karena puasa dalam perjalan jauh. tanpa melepas ransel dan helm saya, saya pun lalu masuk ke kamar dan mencium tangan ibu dan tiba tiba tangan saya di tarik dan langsung memeluk saya, serta bapa yang baru saja selesai sholat luhur di samping tempat tidur ibu saya, mungkin mereka khawatir, dengan kejauhan 2 hari 2 malam saya sendiri dalam perjalanan. usainya salaman saya pun bergegas membersihkan diri, lalu tidur. 

Di hari biasa untuk melihat updetan story' baru dari teman WA, kami berkumpul di gubuk itu dengan asyik melihat layar hp masing masing. selang beberapa waktu tiba tiba sinyal menghilang, sontak teman saya berteriak dengan suara lantang "Asyuuuu". 

dengan khas logat kami di perkampungan sontak saya bertanya, " wih bahaya sekali ple itu jalan di dekat jembatan, sedikit pi itu baru putus ii. Kapan itu mulai begitu,? kata teman saya " waktunya banjir sekali, seandainya tidak ki simpangkan  ii buronjong (penghalang air) putus mi itu jalan,! dengan suara agak kesal teman saya yang satu itu tiba tiba memotong pembicaraan kami " pai, kalau saya tidak setujuka' nabuatkan itu buronjong, biarkan mi putus jalanan supaya di lihat ki pemerintah,! iya mori (iya betul) ; kata saya. 

saya pun melanjutkan percakapan dengan bertanya" apa visi dari bupati sekarang,? salah satunya gotong royong. kata teman saya,! kalau saya boleh memakai salah satu sudut pandang, merupakan suatu kewajiban yang perlu kita laksanakan bersama, Di desa pun apalagi tempat saya tinggal dari sejarah asal mulanya desa ini di dirikan itu atas asas gotong royong. makanya benak saya berasumsi bahwa visi itu berfokus hanya di perkotaan, makanya jalan disini tidak akan ada perubahan yang baik jikalau tidak ada korban. Bagaimana pun hancurnya jalan, pemerintah melihat bahwa sikap gotong royong di pedesaan itu sangat tinggi.Makanya, masyarakatnya akan turun langsung. Shukur, dengan melihat postingan foto dari masyarakat, kepala desa kamipun turun tangan membantu dengan membawa skapator dengan waktu kurang lebih 2 jam. Makanya, dengan waktu 2 jam saja terpaksa masyarakat pun tidak bisa tinggal diam juga, melihat arus sungai bertambah deras masyarakatpun tetap harus meninggalkan pekerjaannya, dengan mengangkat batu di sungai. ''Sekitaran jam satu siang sinyal pun kembali membaik dan kami pun melanjutkan aktifitas di layar hp kami. 

Dalam budaya kami dan mungkin semua masyarakat indonesia itu mengajarkan tentang cara menghormati, sehingga bagi saya, orang orang yang dianggap baik dan di hormati oleh dunia adalah para pembohong serta menipu. Beberapa tahun yang lalu, para pencari suara rakyat itu datang ke kampung kami, dengan membawa suatu janji, agar mendapatkan kursi yang kosong di istana sana. dengan dalih, jalanan di kampung kami akan di renovasi. makanya Prinsip, cita-cita, tata tertib, ketulusan, kebenaran, bahkan keadilan itu semua omong kosong. Di sana, disini takkan menjumpai apa yang di sebut tentang kemanusiaan. Tak ada yang baik di kursi ajaib sana, hanya para idiot, orang keji, orang kikir, anjing rabies, pembual dengan omong mulu, serta mengencingi dari ketinggian..! 

Melihat mentari mulai meredup di ufuk barat, di iring lantunan sholawatan di radio masjid,. Kami pun bergegas balik ke rumah masing masing, dengan sepeda motor yang kami gunakan. dengan wajah serius teman saya mengatakan " wee buka mi" kami pun cepat cepat keluar dari gubuk itu. sontak teman saya hampir jatuh . "belum pi, aii ceh masi mengaji masjid. kata teman saya yang satu. sambil menertawakannya, " ternyata ketika berbohong orang selalu memasang wajah serius. Seperti keseriusan para pemimpin kita hari ini."  'kentut.! 

Namun ini sebatas sudut pandang subjektif yang di dapatkan dalam dialektika di gubuk itu. karena bisa jadi hanya akan memolarisasi pelaku debat pada posisi "fitnah" di satu pihak, dan di sisi "Apriori" di pihak lain. Namun, bolehlah ia di bahas sekedar sebagai bahan berlatih memahami mozaik probabilitas dunia politik. Sebab, Sunah tuhan yang bernama dialektika memang unik dan membuat manusia kecele dan terjebak. 

~pallabulu, 09-Mei-2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun