Mohon tunggu...
Muhammad Raihan Dani Priatama
Muhammad Raihan Dani Priatama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kemarin Aku pintar, Aku ingin mengubah dunia. Sekarang Aku bijaksana, Aku ingin mengubah diriku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resesi Ekonomi 2023 dari Tinjauan Ekonomi Politik Melalui Pendekatan Post Keynesian

26 Oktober 2022   23:03 Diperbarui: 26 Oktober 2022   23:19 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resesi ekonomi 2023 telah menjadi isu yang hangat diperbincangkan belakangan ini. Banyak media, atau bahkan influencer yang menyampaikan akan terjadinya hal tersebut yang digadang-gadang akan terjadi pada tahun 2023. 

Namun, sebelum membahas persoalan ini lebih lanjut, apakah yang dimaksud resesi ekonomi? Bagaimana permasalahan ini dilihat dari kacamata ekonomi poitik?, serta bagaimana Indonesia menghadapi kondisi tersebut?.

Resesi ekonomi sendiri merupakan sebuah fase dimana kondisi terjadi penurunan performa kegiatan ekonomi secara makro. Merujuk pada National Bureau of Economic Research (NBER), resesi didefinisikan sebagai penurunan yang signifikan dalam aktivitas ekonomi yang terjadi di pasar, berlangsung lebih dari beberapa bulan. 

Biasanya,terlihat  dari PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir maupun eceran. 

Ciri-ciri resesi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang membentuk neraca negatif dan berlangsung selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi tersebut dipicu oleh beberapa peristiwa, seperti; krisis finansial, supply shock, maupun bencana kemanusiaan, misalnya konflik atau pandemi. 

Menurut ekonom Richard C. Koo, kondisi perekonomian yang baik harus menitik beratkan masyarakat sebagai pihak yang menabung, dan korporasi sebagai pihak yang yang meminjam, dengan anggaran pemerintah hampir seimbang, serta ekspor negara bersih mendekati nol.

Pemicu terjadinya resesi adalah penurunan perekonomian negara akibat beberapa aktivitas ekonomi yang memicu otoritas untuk mengeluarkan kebijakan fiskal tertentu, misalnya menaikkan suku bunga. 

Hal tersebut dewasa ini terjadi secara global, yakni kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Mengutip dari CNBC Indonesia, Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga sebesar lebih dari tiga persen atau setara tiga ratus poin, yang akan dilakukan secara kontinyu. 

Kenaikan suku bunga tersebut didasari oleh tingginya kondisi inflasi global yang disebabkan oleh kenaikan biaya energi. Tingginya harga energi tersebut sangat erat kaitannya dengan konflik bersenjata di Ukraina sehingga pasokan suplai bahan bakar gas alam terganggu secara signifikan.

Suku bunga yang melambung tinggi kemudian menyebabkan dunia usaha menjadi terhambat dan daya beli masyarakat akan menurun, saat inilah resesi terjadi secara teknis. Meski resesi merupakan hal yang "wajar" terjadi, namun pada tahun 2023 tingkat keparahannya dinilai sudah membahayakan. 

Ketika tingkat inflasi semakin tinggi dan PDB semakin melambat, maka secara perlahan kondisi perekonomian kian memburuk. Saat ekonomi memburuk, serangkaian permasalahan sosial pun bermunculan, seperti dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kriminalitas yang tinggi. 

Dilansir dari Reuters, per Juli 2022, sudah banyak negara-negara yang rentan terhadap resiko terkena resesi tahun depan, kebanyakan merupakan negara yang menurut terminology Rostow merupakan Pra tinggal landas, serta negara pasca konflik. Negara-negara tersebut dinilai memiliki survivability rate yang cukup rendah terhadap badai ekonomi semacam ini.

Sebenarnya, resesi parah pernah pula terjadi secara global pada tahun 1970an. Akan tetapi, hal tersebut dapat diatasi oleh sebuah paradigma baru yang diusung oleh seorang ilmuwan ekonomi politik, yaitu John Maynard Keynes. 

Kemudian, untuk "mengobati" resesi parah tersebut, Keynes mengusung konsep campur tangan pemerintah dalam kebijakan fiscal dan moneter, hingga berhasil memulihkan Kembali perekonomian.  

Kemudian, untuk memperbaiki cacat yang ada pada paradigma tersebut, para ekonom seperti David Romer dan Stiglitz memperkenalkan paradigma Keynesian baru atau Post Keynesian. Post Keynesian meyakini bahwa pengangguran tidak sukarela dan menetap atau persisten, serta fluktuasi ekonomi adalah inti dari permasalahan ekonomi secara keseluruhan. 

Karena upah ditetapkan pada tingkat nominal, otoritas moneter dapat mengontrol upah riil (nilai upah disesuaikan dengan inflasi) dengan mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi seberapa banyak tenaga kerja yang dipekerjakan. 

Mereka melihat resesi sebagai manifestasi kegagalan mekanisme pasar. Perhatian nya terhadap ekonomi dituangkan pada ekonomi mikro, yakni pendekatan yang didasari oleh penguatan sektor ekonomi mikro sebagai tulang punggung ekonomi negara oleh pemerintah.

Beberapa tindakan tingkat ekonomi mikro yang rasional secara individual seperti tidak menginvestasikan tabungan dalam barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian, jika diambil secara kolektif oleh sebagian besar individu dan perusahaan, dapat menyebabkan hasil di mana perekonomian beroperasi di bawah potensi output dan tingkat pertumbuhannya.

Otoritas lalu dapat memberi stimulus atau suntikan dana kepada korporasi swasta untuk tetap dapat menjalankan roda usaha nya.

Pada dasarnya, pendekatan ekonomi politik post Keynesian dinilai cukup relevan diterapkan pada kondisi resesi ekonomi, seperti yang diperkirakan akan terjadi pada 2023 mendatang.

Dengan konsep tersebut, bank masih dapat memberi pinjaman, maka korporasi tetap mendapatkan modal, lalu aktivitas produksi tetap berjalan, kemudian penyerapan tenaga kerja secara optimal, serta mekanisme pasar tetap terjaga. 

Akan tetapi, pasti terdapat gap antara sebuah ide atau konsep dan aksiologi atau implementasi sehingga belum dapat dipastikan dapat berjalan dengan sempurna sesuai hasil pemikiran dan riset para ekonom tersebut.  

Kondisi global yang dibayangi resesi tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia siap menghadapi kondisi demikian?. Melansir dari Tirto.id, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki fundamental ekonomi yang kuat untuk menghadapi resesi karena kebijakan konsolidasi fiskal pada 2023. 

Hal tersebut didukung pula oleh laju inflasi yang masih berada di angka kurang dari lima persen, serta pertumbuhan ekonomi yang sudah berada di atas lima persen. Kemudian, usaha sektor riil dan UMKM juga diklaim menjadi tulang punggung perputaran uang di Indonesia. 

Walaupun dirasa masih aman, dampak resesi global tetap wajib diwaspadai. Pemerintah Indonesia dapat membuat regulasi yang mengawasi peredaran uang di masyarakat dan juga meningkatkan daya beli dengan stimulus dan pemberlakuan restrukturisasi harga pasar.  

Diperlukan penyesuaikan harga komoditas dalam negeri terhadap harga komoditas dunia agar daya beli masyarakat dalam negeri tidak menurun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun