Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara serentak untuk menyinkronkan pembangunan nasional dan daerah. Pergelaran pilkada yang telah dilaksanakan selama ini dianggap tidak cukup mampu untuk mengakselerasi potensi setiap daerah dikarenakan bertabrakan dengan kepentingan nasional atau minimal tidak sejalan.
Persoalan ini menjadi krusial dikarenakan kompleksitas permasalahan yang ada mulai dari jumlah daerah penyelenggara, hingga kesiapan pemerintahan pusat yang baru dilantik pada oktober 2024. Jauh dari pada itu, sengkarut sistem pemilu mulai dari profesionalisme penyelenggara pemilu hingga penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi yang sampai hari ini masih menyisakan pelbagai problema.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan di 545 daerah yang terbagi dalam 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada serentak ini merupakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terbesar sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Tak ayal, kompleksitas dan tantangan yang akan dihadapi akan menyita waktu dan tenaga, khususnya bagi penyelenggara pemilihan umum.
Hanya menyisakan waktu kurang lebih 6 (enam) bulan pilkada serentak harus segera dilaksanakan. Penulis akan mengungkap beberapa persoalan yang harus disikapi secara tegas. Pertama, pergantian kepemimpinan nasional kepada Presiden terpilih hasil pemilu 2024 tidak bisa dipandang sebelah mata. Persoalannya, apakah presiden yang baru memimpin selama satu bulan (sejak oktober 2024) mampu beradaptasi guna mencegah potensi huru-hara saat pilkada dilangsungkan.
Kepemimpinan nasional menjadi faktor terpenting untuk menjawab tantangan pilkada serentak 2024 pada 545 daerah di seluruh Indonesia. Fitur daerah yang beragam mengharuskan penyelesaian konflik disetiap wilayah dilakukan secara berbeda-beda dan tak bisa diseragamkan. Penyeragaman konflik mengakibatkan keadilan pilkada tidak dapat tercapai pada setiap daerah bilamana kepemimpinan nasional masih menggunakan cara pandang homogenitas.
Penyelesaian konflik pilkada secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak bisa diandalkan sepenuhnya dikarenakan penyelesaian itu hanyalah muara dari tahapan penyelesaian konflik. Ruang hukum yang dijadikan instrumen perselisihan pilkada oleh negara, sejauh ini hanya mampu mengentas permasalahan secara parsial. Padahal pilkada serentak memiliki segudang problem yang tidak hanya menuntut ruang hukum sebagai ruang penyelesaian melainkan ruang lain seperti sosial, budaya, politik harus dimaksimalkan sedemikian rupa, salah satunya lewat kepemimpinan nasional.
Persoalan kepemimpinan nasional ini harus dilihat sebagai conditio sine qua non bahwa pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada November 2024 membutuhkan sosok figur nasional yang mampu melihat persoalan secara makro. Cara pandang makroskopis itu memungkinkan seorang pemimpin berfikir visioner tanpa dipengaruhi kepentingan komunal apalagi patrimonial. Kepentingan yang dilihatnya hanya semata-mata untuk menghadirkan penyelenggaraan pilkada yang jujur dan adil.
Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2024 dimana kepemimpinan nasional justru mengintervensi penyelenggaraan pemilu, sehingga menyebabkan terjadinya praktik demokrasi tanpa nilai (anomi). Praktik seperti itu bukanlah kelaziman dalam negara yang demokrasinya sudah maju. Rakyat melihat bahwa proses pemilu 2024 berlangsung dengan ketiadaan etika dan hukum yang dipermainkan.
Proses semacam itu dikecam oleh banyak orang karena menjauhkan harapan akan kontestasi demokrasi yang bersukma keadilan dan kejujuran. Contoh buruk semacam itu harusnya disiasati oleh pemimpin nasional yang baru terpilih melalui komitmen perihal tegaknya pilkada serentak 2024 berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Pola semacam perilaku mengintervensi penyelenggara pemilu, kepemihakan terhadap salah satu calon kepala daerah, mobilisasi perangkat negara, politik dinasti tidak boleh lagi terjadi pada pilkada yang akan berlangsung.
Apabila langgam semacam itu masih dipertontonkan oleh Pemerintah maka jangan berharap demokrasi akan bertumbuh. Demokrasi mensyaratkan jalannya kontestasi secara adil tanpa pengecualian. Pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara bermartabat lewat perilaku seorang pemipin yang menjamin tegaknya supremasi demokrasi (supremacy of democracy).
Persoalan kedua, komitmen kepala daerah terpilih untuk menyingkronkan visi dan misinya dengan prospek pembangunan nasional. Program kerja kepala daerah terpilih harus selaras dengan program nasional baik rencana jangka panjang (25 tahun), rencana jangka menengah (5 tahun), maupun rencana jangka pendek (1 tahun atau kurang). Logika ini mengikuti cara berfikir dari tujuan diselenggarakannya pilkada serentak secara nasional yang tertuang dalam Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada.